PADA awalnya, pengertian literasi hanya terfokus pada kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Menurut Bhattacharya (2012), literasi digambarkan sebagai kemampuan membaca dan menulis.
Seorang yang terpelajar mampu memahami semua bentuk komunikasi. Dampak utama yang dimiliki oleh literasi adalah pada pikiran seorang individu. Pemikiran kritis dan kemampuan yang menentukan sangat ditingkatkan.
Keaksaraan melibatkan berbagai fondasi bahasa yang kompleks seperti fonologi (melibatkan kemampuan untuk mendengar dan menafsirkan suara), arti kata, tata bahasa dan kelancaran dalam setidaknya satu bahasa komunikasi. Keterampilan ini menentukan tingkat literasi yang dicapai oleh seorang individu.
Seiring perkembangan zaman, cakupan literasi pun berkembang. Di era revolusi industri ke empat ini pun literasi berhubungan dengan visual. Keterampilan literasi merambah pada kemampuan memahami visual, seperti video dan gambar.
Literasi bukan hanya membaca dan menulis, tetapi dalam segala aspek. Dalam kegiatan politik, literasi mencakup literasi politik. Menjelang pertarungan pemilihan presiden 2019, masyarakat diharapkan melek literasi politik.
Masyarakat pemilih nantinya akan lebih cerdas mencari dan memahami informasi yang didapat dari kedua calon presiden yang akan datang. Masyarakat dapat memilah dan memilih informasi yang benar dan sesuai berdasarkan fakta kebenarannya. Kemudian, proses sintesis perlu dilakukan agar masyarakat dengan bijak menggunakan hak pilihnya.
Politik erat kaitannya dengan media. Di era keterbukaan sekarang, media bermunculan bak cendawan di musim hujan. Apalagi media dalam jaringan (online), kehadirannya telah menggeser media cetak. Masyarakat dengan cepat menerima informasi. Ditambah lagi dengan media sosial yang sangat produktif memberikan informasi kepada masyarakat.
Hal inilah yang harus dicermati dan disikapi dengan bijak oleh masyarakat. Terkadang, informasi yang berkembang dan meluas di kalangan masyarakat belum tentu benar adanya. Untuk itulah, masyarakat juga harus paham dengan istilah literasi media.
Dalam Wikipedia dinyatakan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. Livingstone (2003) menjelaskan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk medium.
Melalui pendidikan bermedia diharapkan seseorang dapat merefleksikan nilai-nilai pribadinya, menguasai berbagai teknologi informasi, mendorong kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah dan kreatif, dan mendorong demokratisasi.
Masyarakat sebagai konsumen media seharusnya bisa membaca arah kebijakan suatu informasi yang disampaikan oleh media. Berita-berita atau informasi yang berkembang melalui media, terutama media online yang sangat banyak harus disaring dan ditelaah terlebih dahulu. Jangan sampai informasi yang diterima tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Artinya, informasi tersebut jangan ditelan ‘mentah-mentanh’. Bisa saja informasi tersebut merupakan berita bohong (hoaks).
Menyikapi berita ataupun informasi yang cepat berkembang di media massa ataupun media sosial ini, literasi media inilah yang sangat dibutuhkan. Literasi media harus dibudayakan agar masyarakat tidak dengan mudah termakan isu hoaks yang akan membuat masyarakat saling curiga dan saling membenci serta menyudutkan atau menyalahkan kelompok tertentu.[**]
Dr. Darwin Effendi, M.Pd.
Dosen Universitas PGRI Palembang