FENOMENA banyaknya mahasiswi di Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang memakai cadar. Bersamaan dengan maraknya penggunaan cadar, pro-kontra pun muncul antara akademisi, agamawan, mahasiswa bahkan masyarakat luas. Keadaan ini memunculkan polemik berupa larangan bercadar di beberapa kampus di Indonesia. Salah satunya, pada bulan maret 2018, pihak UIN Sunan Kalijaga mengeluarkan surat edaran yang melarang mahasiswinya memakai cadar atas alasan pencegahan ideologi anti Pancasila.
Seorang wanita, di satu sisi merupakan makhluk yang diciptakan oleh sang pencipta dengan segala keindahannya. Mayoritas kaum wanita memiliki kecenderungan selalu ingin tampil cantik. Diantaranya mengikuti trend busana masa kini. Namun di sisi lain, terlihat sosok wanita yang berpenampilan sangat jauh berbeda dari kebanyakan wanita masa kini. Jika kebanyakan wanita masa kini berpenampilan menarik dan tampak stylish, sebagian lainnya justru jauh dari kata itu. Sebaliknya mereka selalu terlihat menggunakan jubah atau terusan yang longgar, tanpa motif dengan pilihan warna yang dominan gelap, jilbab yang besar yang menguntai ke seluruh tubuh serta selembar kain kecil yang menyembunyikan kecantikannya.
Belakangan ini fenomena wanita bercadar menjadi suatu hal yang sudah tidak asing lagi untuk ditemui. Jika dicermati dengan seksama jumlah pemakai cadar di seluruh Indonesia mengalami kenaikan yang sangat fantastis seperti yang dilansir dalam salah satu artikel pada website Kompasiana. Fenomena ini juga sudah merambah begitu cepat hingga sekarang fenomena cadar mulai memasuki ranah Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi umum maupun Perguruan Tinggi yang berbasis agama Islam.
Mengingat kampus adalah salah satu wadah strategis dalam mengembangkan keilmuan tidak heran apabila kampus yang berbasis Islam memiliki potensi adanya paham keagamaan, tak terkecuali paham fundamental. Berbagai latar belakang mahasiswa yang menuntut ilmu di Sebuah Universitas dapat memicu bermacam-macam pandangan dan pemahaman tentang agama. Sebagaimana yang dikemukakan M. Natsir, dalam pandangannya ada tiga entitas komponen utama yaitu: Pesantren, Kampus (Perguruan Tinggi), dan Masjid. Ketiga komponen inilah yang akan menjadi urat nadi dalam membangun basis keummatan dan basis intelektualitas di internal umat Islam. Kampus menjadi begitu rentan terhadap bermacam-macam pemahaman agama, hal ini menjadi perhatian bagi seluruh pihak salah satunya Perguruan Tinggi.
Cadar merupakan identitas diri bagi penggunanya, penulis melihat bahwa cadar selalu menjadi isu kontroversial di kalangan masyarakat juga dari beberapa mahasiswa yang memandangnya. Motivasi bercadar yang meliputi motivasi internal yang muncul dari diri partisipan dan motivasi eksternal yang muncul didasarkan dari lingkungan partisipan dalam mengenal cadar. Terlepas dari motivasi bercadar para penggunanya. Banyak masyarakat yang memandang negatif terhadap orang yang menggunakan cadar, dari segi sosial masyarakat cenderung melihat bahwa orang yang bercadar sulit bersosialisasi, cenderung menutup diri dari orang-orang yang bukan bagian dari kelompoknya. Perempuan yang menggunakan cadar kerap mengalami kesulitan dalam proses komunikasi untuk membangun hubungan secara personal dengan masyarakat, hal ini yang menjadikan perempuan bercadar terkesan menutup diri dan dipandang negatif oleh masyarakat.
Tetapi disisi lain masih banyak juga masyarakat memandang positif dan salut (mengapresiasi) terhadap perempuan yang menggunakan cadar. Sikap mereka sangat toleran dan menghargai satu sama lain, bagi mereka itu adalah keputusan dan hak masing-masing individu yang harus dihargai dan dihormati.
Dengan kata lain, fernomena bercadar bukan lagi sesuatu pemandangan ekstrem untuk diperdebatkan apalagi sampai berujung adanya nuansa diskriminasi. Karena bukan hanya cadar, tetapi celana jingkrang juga bukan sesuatu dianggap fundamentalis tetapi sebuah stylish masa kini. [****]
Putri Citra Hati, M.Sos
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UIN Raden Fatah Palembang