TIDAK semua penggiat sektor informal memiliki sumber daya terbatas dan subsistem. Pola saat ini menunjukkan kecenderungan sektor informal diminati oleh tenaga kerja terdidik. Oleh karena itu, pemberdayaan ‘sektor informal potensial’ merupakan hal yang perlu dilakukan.
Menurut ILO (2015) salah satu upaya meningkatkan usaha informal adalah dengan cara formalisasi. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan pekerjaan layak dan kesetaraan bagi setiap lapisan masyarakat seperti yang tertuang pada tujuan SDGs 2030.
Formalisasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, sebab memerlukan pendekatan yang persuasif dan humanis. Apalagi jika formalisasi yang dimaksud lebih berorientasi pada aspek hukum. Tentu saja banyak pertimbangan rasionalitas pada pengiat sektor informal untuk melakukannya, seperti beban pajak/retribusi, standar kerja dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, paradigma “Merangkul’ bukan ‘Memukul’, saya coba tawarkan untuk memandang keberadaan penggiat sektor informal. Sebuah paradigma yang bersifat ‘menghargai’ keberadaan penggiat sektor informal sebagai sebuah usaha manusia untuk bertahan hidup, mandiri, tanpa berpangku tangan.
Sampai saat ini lebih dari setengah pekerja Indonesia adalah penggiat sektor informal. Jenis pekerjaan ini meskipun termarginalkan namun selalu eksis di tengah kondisi apapun. Terlebih lagi di era krisis dan pandemi seperti sekarang ini. Ia menjadi penyangga bagi perekonomian masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
Oteng-Ababio, dkk dalam artikelnya berjudul “‘Informal Exceptionalism?’ Labour Migrants’ Creative Entrepreneurship for Sustainable Livelihoods in Acrra, Ghana” yang dipublish pada Journal of Asian and African Studies, Vol. 54, No. 1, Tahun 2019, menyatakan bahwa sektor informal merupakan salah satu cara masyarakat menengah ke bawah untuk bertahan dan keluar dari kemiskinan.
Ya, saat ini malah sektor informal bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan atau ‘batu loncatan’ bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah dengan sumber daya terbatas. Sejak diagendakanya pendidikan entrepreneurship pada skala pendidikan tinggi pasca krisis ekonomi berkepanjangan, jumlah pekerja terdidik yang masuk ke sektor informal pun mulai cenderung mengalami peningkatan.
Apalagi saat ini, bonus demografi tengah menjadi tantangan bagi para pencari kerja untuk bersaing mendapatkan pekerjaan layak. Tingginya angka pencari kerja yang tidak sebanding dengan lapangan kerja layak, merupakan salah satu alasan rasional bagi pencari kerja untuk beralih ke sektor informal.
Pada periode 2010-2020, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia meningkat sebesar 4,63 persen. Dari yang sebelumnya 66,09 persen pada 2010 menjadi 70,72 persen pada 2020 (BPS, 2021). Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah berada pada puncak bonus demografi, di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari pada penduduk usia non produktif (< 15 tahun dan 64+).
Kondisi ini membuat tantangan pemerintah untuk menyediakan pekerjaan layak untuk semua lapisan masyarakat menjadi semakin besar. Bonus demografi harus disikapi dengan tepat supaya benar-benar menjadi sebuah bonus bagi pembangunan ekonomi, baik skala mikro ataupun makro.
Berdasarkan paradigma positif, meningkatnya minat pekerja terdidik masuk di sektor informal dapat menjadi angin segar di tengah bonus demografi. Harapannya, dengan banyak pekerja terdidik di sektor informal akan membuat percepatan transformasi ekonomi digital bagi pelaku UMKM, khususnya yang masih bergerak secara informal.
Perubahan ini menyebabkan sektor informal yang selama ini bersifat tradisional menjadi lebih modern dan berpotensi untuk mejadi usaha skala menengah atau pun besar. Selain itu, dampak kemajuan teknologi di era disrupsi membuat perkembangan usaha informal menjamur pada segala bidang. Seorang ibu rumah tangga di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga dapat memperoleh penghasilan yang lumayan besar dengan memanfaatkan teknologi untuk berjualan atau menawarkan jasa.
Prosesnya berlangsung begitu cepat dan tak terlihat, sehingga tak ada yang menyadari potensi ekonomi yang dihasilkan oleh para ibu rumah tangga.
Komunitas
Melihat perkembangan sektor informal yang sedemikian masif, maka sudah sepatutnya pemerintah dan segenap pihak yang berkepentingan untuk mengubah pola pikir, yakni ‘merangkul’ bukan ‘memukul’. Ya, selama ini penggiat sektor informal seringkali mengalami tindakan yang tidak menyenangkan, mulai dari pengusiran, penggusuran, kekerasan, atapun pelecehan.
Oleh karena itu, sebagai alat menampung aspirasi dan potensi pengiat sektor informal, perlu dibentuk sebuah komunitas pengiat informal yang bertujuan sebagai wadah berbagi pengalaman, belajar dan pendataan.
Pemberdayaan
Masing-masing penggiat sektor informal memiliki tingkat atau level usaha yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Oleh sebab itu, diperlukan pemberdayaan sektor informal sebagai alat untuk meningkatkan karakteristik-karakteristik yang dinilai potensial, sehingga pengiat sektor informal dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih baik.
Insentif
Klasifikasi penggiat sektor informal yang disertai perlakuan khusus pada masing-masing tingkatan akan memiliki peluang yang lebih besar untuk berhasil (formalisasi). Penggiat sektor informal hendaknya didampingi secara optimal sehingga pada waktunya nanti dapat diusahakan menjadi sektor formal.
Sebagai upaya untuk memotivasi penggiat sektor informal, maka perlu diberikan insentif kepada pengiat sektor informal yang dinilai potensial untuk berkembang. Tentunya, proses pendampingan tidak terhenti, namun harus secara berkelanjutan.
Orientasi pembangunan saat ini harus mulai memprioritaskan aspek kependudukan, khususnya ketenagakerjaan dan sektor informal. Sebab, sampai sejauh ini sektor informal tetap menjadi strategi bertahan hidup populer di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di tengah bonus demografi dan pandemi Covid-19.[***]
Penulis,
Dr. Armansyah, S.Pd., M.Si
Dosen dan Peneliti Bidang Geografi Kependudukan pada Program Studi Pendidikan Geografi Universitas PGRI Palembang