SEJUKNYA pendingin ruangan Hotel Kristal Jakarta dan aroma kopi sachet yang menguar dari pojokan ruangan, 100 operator Sekolah Rakyat duduk manis, bukan untuk nonton drakor atau belajar membuat konten viral, tapi buat belajar… Dapodik dan LCMS!.
Iya, dua sistem yang kedengarannya kayak nama robot dari film sci-fi, tapi nyatanya penting banget buat masa depan anak-anak kita. Bukan anak sultan, tapi anak-anak dhuafa yang selama ini cuma bisa ngintip sekolah dari balik pagar seng.
Pelatihan yang digelar oleh Kementerian Sosial RI ini bukan sekadar acara ngumpul-ngumpul dan makan snack hotel. Ini pelatihan serius, lima hari lamanya, tapi dibungkus dengan semangat gotong royong ala rakyat, bukan gaya CEO startup.
Sekjen Kemensos Robben Rico pun langsung membuka acara ini, dengan gaya yang kalau diterjemahkan ke bahasa tongkrongan “Operator itu tulang punggung data. Kalo datanya ngaco, kebijakan bisa nyungsep kayak motor nabrak got.”
Nah, peserta dilatih cara nginput data di sistem Dapodik sistem yang isinya mulai dari data siswa, sarana prasarana, sampai status guru yang masih single atau udah double (eh, maksudnya status kepegawaian ya, bukan status percintaan). Ditambah lagi LCMS, sistem manajemen konten pembelajaran, yang intinya bikin belajar anak-anak makin seru, bukan bikin ngantuk kayak pelajaran hari Senin jam pertama.
Para pemateri juga bukan orang sembarangan. Ada Nafis Khoirul Huda, yang kalau ngomongin Dapodik udah kayak Google hidup. Ada juga Baiq Endang Dwi Handayani, Kepala Bagian TU Pusdiklatbangprof, dan Mujiastuti dari Tim Satgas Rekrutmen Guru, yang kalau dikumpulkan ilmunya bisa bikin sistem pendidikan anti-ngadat se-Indonesia.
Yang bikin acara ini beda dari pelatihan biasa adalah misinya bukan hanya transfer ilmu, tapi juga perjuangan sosial. Ini bukan proyek ecek-ecek. Robben bilang, Sekolah Rakyat adalah program asli dari Presiden Prabowo Subianto bukan program sisa kampanye, tapi mimpi besar buat memuliakan kaum yang selama ini disepilikan. Anak-anak dari keluarga tidak mampu kini punya pintu harapan, dan pintu itu harus dijaga agar engselnya gak berkarat oleh data yang ngawur.
Robben bahkan bilang, “Kita ini lagi nulis sejarah. Guru-guru di Sekolah Rakyat itu bukan figuran, mereka pemeran utama.” Nah lho! Jadi operator jangan cuma jadi pemeriksa presensi, tapi juga pejuang data, juru catat masa depan, dan penjaga akurasi, karena dari sanalah kesejahteraan guru ditentukan, bantuan disalurkan, dan kebijakan dibuat.
Pepatah bilang, “Sepandai-pandai tupai melompat, kalau datanya salah tetap bisa nyungsep”. Maka para operator Sekolah Rakyat pun diingatkan belajar yang serius, karena Dapodik bukan cuma soal klik-klik, tapi soal hidup orang banyak.
Sebelum menutup, Robben juga titip satu pesan bijak: jaga semangat, jaga integritas, dan doakan semua tim tetap sehat. Soalnya kalau tim Kemensos sakit, bisa-bisa pelatihan berikutnya diundur dan guru-guru Sekolah Rakyat kembali galau karena data belum terverifikasi.
Moral dari kisah ini? Teknologi bukan cuma buat yang punya iPhone 15. Anak-anak rakyat kecil juga berhak punya masa depan cemerlang lewat sistem yang rapi. Dan itu semua dimulai dari tangan-tangan operator sekolah yang siap berubah dari gaptek jadi teknokrat.
Jadi ingat, data itu ibarat nasi kalau gak dimasak dengan benar, bisa bikin sakit perut satu kampung!.[***]