Tekno

“Kuasai Mesinmu Sendiri”

komdigi

KECERDASAN buatan (AI) itu ibarat pesta pernikahan digital, maka selama ini Indonesia lebih sering jadi tamu undangan yang cuma dapat sisiran kue, bukan jadi empunya hajatan, duduk manis di pojokan, ikut tepuk tangan, tapi nggak punya suara soal musik apa yang diputar.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, akhirnya nyenggol kita semua untuk sadar diri jangan terus jadi penonton, ayo mulai nyusun panggung sendiri.

AI itu kayak gorengan, semua doyan, tapi nggak semua bisa bikin sendiri, di dunia, yang bisa bikin ‘gorengan AI’ level tinggi ya masih negara-negara barat.

Mereka punya minyak panasnya (komputasi), adonannya (data), sampai bumbunya (algoritma) sendiri. Kita? masih sibuk beli dari mereka, lalu dimakan rame-rame sambil nanya “Ini resepnya pakai apa ya?”.

Nezar nggak mau Indonesia cuma jadi ladang panen data buat AI luar negeri, beliau ngajak mikir, masa kita punya nikel, boron, sama segala macam mineral langka yang jadi ‘bahan baku AI’, tapi kitanya nggak punya dapur? Pepatah bilang, “Punya padi jangan cuma bikin bubur di warung orang”.

Masalahnya, selama ini kita kayak anak kos yang pengen bikin nasi goreng, tapi baru punya rice cooker dan niat doang.

Dana R&D kita baru 0,24% dari PDB, ibarat mau bikin sate kambing tapi baru punya tusuknya doang, komputasinya lemah, infrastrukturnya masih bolong-bolong, dan talenta digital kita masih kurang sekitar 2,7 juta orang. Waduh, kalau ini lomba estafet AI, kita baru ngikat sepatu.

Lucunya, walaupun AI itu ‘cerdas’, tapi tetap punya sifat ‘ikut siapa yang bikin’. Foundation model AI hari ini lahir di barat, dilatih dengan data-datanya bule, dan nilai-nilainya pun kearah situ semua, jadi jangan heran kalau AI sering ngasih jawaban bias, stereotip, bahkan kadang-kadang salah alamat.

Bayangkan kalau AI disuruh bikin skripsi tentang budaya lokal, bisa-bisa “rendang” disangkanya varian sambal Meksiko!

Nezar bilang kita harus mulai bikin regulasi sendiri, tapi regulasi yang bukan cuma copy-paste dari barat, melainkan yang ngerti “rasa” Indonesia. Kita harus punya ‘Atlas AI’ versi lokal, biar kecerdasan buatan juga paham, kearifan lokal itu bukan bug, tapi fitur.

Soal talenta? Ini nih PR besar, kalau talenta digital kita ini seperti sepakbola, Indonesia butuh pemain timnas sebanyak 12 juta orang, tapi yang sudah siap baru 9,3 juta.

Sisanya? mungkin masih nunggu dipanggil seleksi, atau masih sibuk main Mobile Legends. Nezar yakin, kalau SDM kita kuat, kita bisa akalin keterbatasan infrastruktur. Bahasa kampungnya, “Kalau otaknya encer, ember bocor pun bisa jadi gayung”.

Satu pesan penting, transformasi digital jangan dipisah-pisah kayak warteg, yang satu ambil ayam, yang satu tempe. Ini bukan lauk pauk, tapi satu rantai ekosistem.

Pendidikan, keamanan, ekonomi, hingga nilai lokal semua dan harus ikut muter roda digital bareng. Kalau satu macet, yang lain bisa oleng. Kayak motor triplek boncengan lima, kalau yang di depan ngantuk, yang di belakang bisa masuk parit.

Sudah waktunya Indonesia stop jadi konsumen pasif di meja makan AI dunia, punya bahan,  punya selera, tinggal  bangun dapurnya.

Jangan sampai anak cucu  nanti cuma bisa bilang “AI-nya pintar, tapi bukan buatan kita,”. Kata orang tua zaman dulu, “Orang bijak menanam pohon, meski tahu dia tak akan makan buahnya”.  Tanam sekarang, biar generasi mendatang bisa panen AI yang berdaulat, bermartabat, dan pakai rasa lokal!

Kalau AI itu masa depan, harus pastikan masa depan itu punya KTP Indonesia, jangan cuma numpang lewat di WhatsApp, tapi harus tumbuh dari tangan kita.

Ingat!, kecerdasan buatan itu penting, tapi yang lebih penting jangan sampai kita jadi bangsa yang kehilangan kecerdasan asli.[***]

Terpopuler

To Top