– Kalau dulu pepatah bilang “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”, di era sekarang bisa jadi berubah “scrolling pangkal mager, coding pangkal cuan”
HARI INI, hampir separuh Gen Z Indonesia sudah main-main sama AI. Ada yang bikin caption Instagram pakai ChatGPT, ada yang ngedit muka biar glowing kayak artis Korea pakai filter AI, ada juga yang diam-diam nyuruh AI ngerapihin skripsi biar gak kena semprot dosen. Singkatnya, Gen Z adalah konsumen AI paling aktif di negeri ini.
Tapi pertanyaannya, apa kita mau puas jadi konsumen abadi? Atau berani naik kelas jadi produsen AI yang karyanya dipakai dunia?
Karena kalau kita cuma doyan pakai tanpa bisa bikin, ya Indonesia cuma jadi pasar empuk. Ibaratnya kayak jago makan mi instan, tapi gak pernah bisa bikin mie sendiri. Lama-lama, bungkusnya impor, bumbunya impor, mie-nya impor, yang lokal cuma piring sama sendoknya.
Kabar baiknya, anak bangsa udah nunjukin kalau kita bukan sekadar tukang pakai. Ada yang udah bikin AI asli Indonesia, misalnya
Nodeflux, jagoan computer vision buat smart city, bahkan dipakai di event internasional.
Kata.ai, chatbot Bahasa Indonesia, biar kita gak kebanyakan pakai bahasa kebarat-baratan.
Prosa.ai, bikin AI pendeteksi hoaks dan suara sintetis, cocok buat negara yang doyan debat medsos.
Pythia, main di ranah generative AI, mirip ChatGPT tapi versi lokal.
Komodo-7B & Cendol LLM, model bahasa besar hasil riset kampus, bisa paham bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Senopati (ITS Surabaya), generative AI untuk pendidikan dan kesehatan.
AI PCU Surabaya, dipakai buat diagnosa penyakit kulit hewan dan analisis sentimen TikTok.
Artinya, bibit-bibit produsen AI sudah ada, masalahnya, mau kita siram sampai jadi pohon raksasa, atau kita biarkan kering kerontang kalah saing sama raksasa global?
Bayangin kalau kita berhenti di level “pemakai doang” Data jadi emas gratis buat perusahaan luar. Kita ngetik “aku lagi galau” aja bisa jadi bahan analisis pasar, pasar dikuasai asing, kita cuma jadi tempat belanja, bukan produsen, inovasi lokal tenggelam. Startup AI kita kalah promosi, kalah modal, kalah branding.
Ibarat pepatah lama “kalau tak pandai menanam, jangan harap panen.” Nah, kalau kita tak pandai bikin AI, jangan harap bisa panen cuan dari industri ini.
Coba bayangkan kalau Gen Z lompat dari konsumen ke produsen. Gak cuma bikin konten buat TikTok, tapi bikin mesin AI yang dipakai dunia. Itu baru level up. Karena AI bukan cuma alat, tapi juga mesin ekonomi baru, membuka lapangan kerja dan bisnis, senjata geopolitik, negara yang punya AI kuat bisa punya pengaruh global dan kebanggaan nasional, dunia bakal bilang, “AI ini buatan anak muda Indonesia”
Pepatah bilang, “kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Indonesia punya modal pengguna internet terbanyak keempat dunia, pasar digital aktif, dan anak muda yang adaptif. Tinggal satu yang harus dikuatkan ekosistem yang ngasih ruang berani gagal, berani coba, dan berani jual ke pasar global.
Pemerintah udah nyiapin regulasi dan infrastruktur, kampus udah lahirin AI lokal, startup juga mulai eksis. Tinggal generasi mudanya mau berhenti di level scrolling atau berani lompat ke coding? Mau puas nge-like atau berani nge-launch?
Jangan sampai Gen Z Indonesia cuma jadi “user setia” aplikasi luar. Sudah ada contoh nyata bahwa kita bisa bikin AI sendiri mulai dari Nodeflux, Kata.ai, Prosa.ai, Pythia, hingga Senopati di Surabaya.
Sekarang tinggal kita pilih mau jadi pasar yang selamanya konsumtif, atau jadi produsen yang diperhitungkan dunia?
Kalau Gen Z berani melompat, bukan mustahil suatu hari nanti dunia akan bilang “Artificial Intelligence? Oh itu, salah satunya buatan anak muda Indonesia”
Dan kalau kata pepatah kampung “lebih baik jadi ikan kecil di kolam sendiri yang bisa tumbuh besar, daripada jadi umpan gratis di samudra orang lain”.[***]