ADA yang bilang mahasiswa zaman sekarang cuma sibuk scroll TikTok dan rebutan colokan di kafe, coba deh mampir ke laboratorium Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Di sana ada segerombolan anak muda yang, ketimbang sibuk ngedit video lipsync, malah sibuk ngoprek mesin sampai tangan mereka lebih berminyak ketimbang gorengan abang-abang depan kampus.
Mereka menamai karya mereka dengan gagah Enggang Borneo, bunyinya keren, kayak superhero Marvel yang pensiun terus buka bengkel di Kalimantan. Padahal aslinya ini mobil hemat energi mobil yang bisa jalan 295 kilometer cuma dengan satu liter bensin. Bayangin, satu liter bensin di motor biasa paling cuma cukup buat muter kelurahan dua kali. Ini bisa nyampe Pontianak Singkawang pulang-pergi sambil masih ada sisa buat beli es teh.
Nah, inilah lucunya teknologi. Kadang kita suka nganggep mobil hemat energi itu urusan pabrik besar, laboratorium canggih, dan para insinyur yang rambutnya sudah ubanan karena kebanyakan mikir algoritma. Tapi ternyata, di balik mobil warna biru-kuning yang mirip odol rasa jagung bakar itu, ada segerombolan mahasiswa yang tidur di lab, ngutang ke kantin, dan tetep semangat walau baut sering jatuh ke kolong meja.
Seringkali, kita bicara teknologi kayak lagi khutbah Jumat, kaku, berat, dan penuh istilah teknis yang bikin orang biasa melongo kayak ayam lihat kalkulator. Padahal, teknologi itu bisa dibikin nyantai. Contoh, prinsip mobil hemat energi itu sebenarnya sederhana, gimana caranya ngurangin beban, ningkatin aerodinamika, dan ngirit tenaga mesin.
Ibarat bahasa gaulnya jangan jadi mobil yang rakus, jangan kayak kita kalau buka prasmanan, mata lebih gede daripada perut. Mobil hemat energi ini ngajarin kita tentang self-control. Mesin nggak perlu buang tenaga berlebihan, cukup fokus, dan hasilnya bisa bikin orang geleng kepala.
Yang lebih keren, riset beginian bukan sekadar mainan mahasiswa biar bisa mejeng di lomba. Ada mimpi besar di baliknya Indonesia suatu saat butuh kendaraan yang bener-bener irit, ramah lingkungan, dan sesuai dengan kondisi dompet rakyat. Kalau mahasiswa bisa bikin mobil sejauh itu dengan modal seadanya, bayangin kalau dapat dukungan serius dari industri dan negara. Bisa jadi, di masa depan, BBM bersubsidi nggak lagi jadi perdebatan tiap tahun, karena teknologinya sudah jalan duluan.
Dan jangan lupa, lomba-lomba semacam Shell Eco-Marathon atau KMHE itu bukan sekadar cari piala buat dipajang di rektorat. Itu ladang eksperimen. Tempat mahasiswa belajar bahwa teknologi nggak hanya soal baut dan mur, tapi juga soal manajemen tim, kreativitas, bahkan lobi ke sponsor. Sederhananya bikin mobilnya jalan itu satu hal, bikin dompet tim nggak jebol itu perjuangan lain.
Saya jadi kepikiran, kalau mesin Enggang Borneo ini bisa ngomong, mungkin dia bakal nyeletuk “Hey manusia, kalau aku bisa jalan 295 km per liter, masa kalian masih males jalan kaki ke warung sebelah?”
Ada sindiran halus di situ, teknologi hemat energi memang keren, tapi yang lebih penting adalah mental hemat energi. Jangan-jangan kita sering bikin inovasi canggih, tapi gaya hidup masih boros. Listrik di rumah nyala semua kayak diskotik, AC hidup tapi jendela kebuka, dan kalau ke minimarket jaraknya 200 meter aja masih ngegas motor.
Enggang Borneo mungkin masih prototipe, masih banyak kekurangan, dan kalau diparkir di parkiran mal bisa bikin orang nanya, “Ini mobil atau kado ulang tahun dibungkus warna-warni?” Tapi justru di situlah indahnya, dari lab kampus kecil, lahir ide besar tentang masa depan energi Indonesia.
Kita, orang-orang dewasa yang mungkin sudah lupa cara nyolder kabel, seharusnya bisa belajar satu hal teknologi nggak lahir dari gedung tinggi saja, tapi dari tangan-tangan muda yang berani ngoprek dan gagal berkali-kali.
Kalau Enggang Borneo bisa jalan jauh dengan satu liter bensin, semoga semangat mahasiswa Pontianak ini juga bisa bikin Indonesia melangkah jauh dengan satu liter harapan.[***]