Tekno

“Duel Budaya di Layar Digital, Antara Pocong, Currywurst & Pepatah Lama di Gamescom”

ekraf

SEANDAINYA ini sekelompok developer game asal Bandung, dengan hoodie lusuh bertuliskan “Beta Version Forever,” mendarat di Jerman untuk ikut Gamescom. Di sana, mereka bukan hanya harus presentasiin game berisi pocong lari-lari di pematang sawah, tapi juga berhadapan dengan budaya baru mulai dari audiens bule yang bingung kenapa pocong harus loncat-loncat, sampai dompet tipis gara-gara harga currywurst seporsi €10.

Inilah yang saya sebut duel budaya di layar digital, bukan duel pedang ala film silat, tapi duel identitas bagaimana game Indonesia bisa tetep kental lokalitasnya, sambil tetap ramah di lidah global?

Di satu booth kecil, tampillah game horor buatan anak negeri, judulnya “Malam Jumat Kliwon The Revenge”. Isinya? Ya jelas kuntilanak nyanyi-nyanyi, pocong melompat, ditambah ritual desa ala film Suzanna versi digital.

Seorang bule dengan kacamata VR nyobain game itu. Baru lima menit main, dia langsung lompat dari kursi sambil teriak “What the hell is that jumping sausage???”

Developer kita cuma senyum kecut, Sausage? Ini pocong, Bosku! Kalau di kampung, bukan bikin lapar, tapi bikin orang lari ke sawah.

Tapi begitulah, yang di mata kita “horor merinding,” di mata bule kadang jadi “eksotis lucu-lucu.” Seperti pepatah bilang, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Lain negara, lain pula interpretasi hantunya.

Drama kocak lain terjadi saat makan siang, developer kita yang terbiasa makan nasi padang Rp25 ribu, tiba-tiba harus merogoh kocek €10 hanya untuk currywurst sepiring kecil.

Salah satu dari mereka nyeletuk “Kalau tahu gini, mending tadi kubawa rendang vacuum pack. Bisa sekalian buka warung Padang di sini, lebih laku dari game kita”

Bahkan ada yang iseng bikin pitch “Currywurst Simulator Level 1  Cari duit recehan buat makan”

Kocak, tapi dari situ muncul refleksi serius di kancah global, jangan cuma jadi tamu yang kagum-kagum. Indonesia harus bisa hadir bukan hanya sebagai pasar doyan jajan, tapi sebagai pencipta tren. Kalau pepatah bilang, “kalau tak pandai menari, jangan salahkan lantai yang bergelombang”. Kalau kita belum mendunia, jangan salahkan bule yang nggak paham pocong, tapi salahkan diri kita yang belum serius bikin karya yang bisa menjangkau semua pasar.

Game lokal memang punya daya tarik ada nuansa mistis, ada kearifan lokal, ada karakter yang nggak mungkin ditemukan di Jepang atau Amerika. Tapi tantangannya gimana caranya agar ini bukan cuma nostalgia warga +62, tapi juga bisa dijual di Eropa, Amerika, bahkan Afrika?

Bayangkan kalau game kita cuma bisa dijual di kios warnet kampung, sementara bule sudah main open world dengan grafis yang bikin bulu ketek kelihatan realistis.

Nah, di sinilah kita sering kepeleset, kita suka bilang “Wah, keren nih, sudah pameran di luar negeri!”. Padahal, yang lebih penting bukan sekadar mejeng, tapi menembus pasar. Jangan sampai kita puas hanya jadi “undangan kehormatan,” sementara penjualan tetap jalan di level kelurahan.

Pepatah tua sudah mengingatkan “Air beriak tanda tak dalam”, jangan kebanyakan pamer kalau belum bisa menyaingi raksasa game dunia.

Gamescom ini bukan sekadar festival, ia adalah panggung global, tempat semua negara memamerkan identitas digitalnya, Jepang hadir dengan samurai dan anime, Korea dengan K-pop visualnya, Amerika dengan superhero, Jerman dengan simulasi truk dan kereta yang presisi.

Indonesia? Ya itu tadi pocong dan kuntilanak, tapi jangan salah, kalau dikemas tepat, ini justru bisa jadi keunikan global. Orang luar negeri suka sesuatu yang autentik. Sama kayak wisatawan asing yang bela-belain ke Bali buat lihat upacara adat, bukan buat nonton Marvel.

Masalahnya, kita sering kebanyakan mikir “Ah, takut bule nggak ngerti”. Padahal, justru di situlah daya tarik kita, kalau semua game isinya mirip Call of Duty, ya buat apa?

Pepatah bilang, “tak kenal maka tak sayang”. Kalau dunia belum kenal pocong, ya tugas kita bikin mereka kenal. Bukan dengan wajah seram yang bikin trauma, tapi dengan kualitas game yang fun, interaktif, dan mendidik.

Akhirnya, kita harus tanya ke diri sendiri Mau sampai kapan kita bangga jadi pasar, bukan pencipta game global?

Kalau cuma jadi konsumen, kita cuma jadi penonton yang bayar tiket bioskop. Tapi kalau jadi kreator, kita lah yang tentukan jalan cerita.

Bayangkan suatu hari, di Gamescom, ada bule yang antre panjang bukan untuk coba game Jepang atau Amerika, tapi game Indonesia berjudul “Pocong Kart Racing” di mana pocong bisa drift, kuntilanak bisa nitip belanja, dan tuyul bisa colong power-up.

Lucu? Iya. Global? Sangat mungkin, karena seperti pepatah Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea”, segala keberhasilan butuh biaya dan usaha. Kalau kita mau serius investasi, riset, dan terus belajar, pocong bisa jadi bintang global, bukan cuma hantu kampung.

Duel budaya di layar digital bukan soal siapa paling seram, siapa paling canggih, atau siapa paling mahal currywurst-nya. Ini soal keberanian untuk menampilkan jati diri tanpa minder, sambil tetap profesional dan berkualitas.

Indonesia punya modal besar kekayaan budaya, cerita mistis, humor, dan daya imajinasi. Tinggal satu PR besar berani naik kelas dari pasar ke pencipta.

Seperti pepatah bijak bilang “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Kalau sudah melangkah ke panggung dunia, jangan sekadar bawa cerita kampung, tapi bawalah karya yang bisa dihargai oleh dunia, dan kalau ada bule masih nyebut pocong sebagai “jumping sausage”? Ya sudah, anggap saja promosi gratis.[***]

Terpopuler

To Top