PERNAH dengar kisah kades yang mau teken surat tapi cap basahnya ilang entah ke mana?. Atau Lurah yang keliling nyari bolpoin isi ulang karena disposisi belum diteken?.
Tenang, era itu pelan-pelan mulai digeser di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan sekarang ini, misalnya ngetik di Word, teken pakai mouse, kirim lewat email, dan… cusss!, legal, sah, hingga tersimpan di server. Inilah gebrakan Desa Digital bahkan bisa bikin dunia melirik dari balik Palm Sawit.
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Musi Banyuasin (Dinkominfo Muba) tak main-main dalam urusan digitalisasi ini. Mereka gandeng Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menerbitkan Sertifikat Elektronik bagi Kepala Desa dan Lurah.
Dari total 242 orang, 207 sudah resmi bisa teken digital, sisanya? lagi di proses aktivasi, yang jelasn pelan tapi pasti, seperti menanak nasi di dandang sabar tapi pasti mateng.
“Perubahan memang tidak datang dari meja rapat, tapi dari jemari yang siap mengetuk layar demi pelayanan rakyat”- (Terinspirasi dari Thomas Friedman, penulis The World is Flat).
Kutipan di atas cocok dan tepat untuk menggambarkan proses ini, bukan hanya soal teknologi, tapi perubahan cara pikir dan budaya kerja. Yang dulunya semuanya serba manual sekarang mulai move on.
8 Kecamatan 100% digital
Delapan kecamatan telah rampung seluruhnya dalam penerbitan TTE, mereka ini kayak murid teladan yang PR-nya selalu selesai sebelum tenggat waktu, seperti di Bayung Lencir, Tungkal Jaya,Sanga Desa, Jirak Jaya, Keluang, Lais, Sungai Lilin dan Babat Supat.
Sementara yang lainnya, seperti Sekayu, Plakat Tinggi, Lawang Wetan, dan beberapa lagi masih dalam proses aktivasi. Gak papa, yang penting niatnya udah digital, tinggal tunggu jari-jemari menyentuh layar.
Dulu, anggaran habis buat ATK (Alat Tulis Kantor) beli map warna-warni, staples isi ulang, dan kertas folio yang kadang cuma dipakai setengah lembar, sekarang, dengan Tanda Tangan Elektronik, banyak kebutuhan itu bisa ditekan. Uang APBD bisa dialihkan ke yang lebih urgent, Wi-Fi kantor desa misalnya, atau pelatihan literasi digital.
Menurut Kepala Dinkominfo Muba, Herryandi Sinulingga, digitalisasi ini bukan semata-mata soal aplikasi dan sistem, tapi perubahan kultur birokrasi. “Dengan tanda tangan elektronik, proses administrasi menjadi lebih cepat, aman, dan akuntabel,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa langkah ini sejalan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 dan Perpres No. 95 Tahun 2018 tentang SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik), jadi bukan hanya inovatif, tapi juga taat regulasi.
Kalau negara mau belajar digitalisasi, biasanya orang langsung menyebut Estonia, karena di sana, 99% layanan publik bisa diakses online.
Bahkan warga bisa ngurus izin nikah, buka usaha, atau bahkan… ganti nama anak, tanpa perlu keluar rumah. Muba memang belum sampai sejauh itu, tapi ya nggak ada salahnya bermimpi. Bukankah kata pepatah, “Bermimpilah setinggi awan Google Drive, siapa tahu kamu disimpan di cloud server“?
Selain itu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Muba ikut nimbrung dalam gerakan ini lewat implementasi Aplikasi Srikandi, sistem arsip digital berbasis sah dan terstandar nasional.
Jadi, kalau dulu arsip disimpan di lemari besi dengan tulisan “jangan dibuka kecuali darurat”, kini cukup dengan klik dan login, surat lama pun bisa dibuka kapan saja.
Kepala Bidang Persandian, Jerry Rinoldy, menjelaskan alurnya sebagai berikut pengajuan data dari Kades atau Lurah, verifikasi oleh tim teknis, registrasi ke sistem BSrE BSSN dan aktivasi akun dan sosialisasi penggunaan
Targetnya, sebelum akhir tahun, semua kepala desa dan lurah sudah bisa teken surat sambil ngopi sore.
Digitalisasi desa bukan soal keren-kerenan teknologi, ini soal pelayanan, kalau surat bisa diteken dalam satu klik, waktu warga nggak habis hanya untuk bolak-balik kantor desa. Kalau arsip sudah digital, sejarah desa pun aman dari rayap dan banjir.
Muba mungkin belum Estonia, tapi langkahnya sudah jelas, dari kebun ke cloud, dari stempel ke sertifikat elektronik.
Dan siapa tahu, 10 tahun lagi, anak-anak kita akan bertanya “Pak, dulu itu tanda tangan pakai pulpen ya? Emang gak capek?”.[***]