SUMSELGLOBAL

“Songket Dijual, Dunia Menengok! Dari Tanjak ke Paris Fashion Week, Inilah Wasiat Nenek yang Tak Bisa Dicuci Dry Clean”

ist

JIKA nenekmu dulu membordir kain songket sambil mendendangkan lagu “Ayam Den Lapeh”, mungkin dia tak menyangka bahwa suatu hari cucunya bakal mengenakan hasil karya sejenis untuk mejeng di New York sambil ngopi latte. Ya, songket kini tak hanya jadi ‘seragam kondangan’ atau properti foto wisuda, tapi berpeluang naik kelas jadi fashion statement global!.

Gubernur Sumsel, Herman Deru, dalam acara Swarna Songket Nusantara 2025 dengan semangat membara, seperti semur jengkol hari ketiga, bilang ini adalah prasasti tak terlupakan, bukan prasasti batu, tapi benang-benang emas yang dijahit rapi oleh tangan-tangan emak-emak perajin yang lebih telaten dari juri MasterChef.

Oleh karena itu, Swarna Songket Nusantara bukan cuma festival budaya, tapi semacam “reuni akbar” antara benang emas, motif leluhur, dan kamera TikTok. Semua hadir, bahkan Ketua Dekranas, Selvi Ananda Gibran, juga turut mendandani panggung dengan pujian dan harapan agar songket bukan hanya dikenakan saat nikahan mantan, tapi bisa juga dipakai saat rapat zoom, ngajar di sekolah, atau nyalon ke DPR. Lho, siapa bilang kain budaya harus nunggu acara adat dulu baru boleh tampil?

Sebenarnya orang luar negeri terutama bule -bule dari benua biru atau Amerika udah lama kenal batik, Di Belanda, batik malah sempat dipatenkan sampai kita nyaris ngiler sendiri. Tapi songket? Masih banyak bule ngira itu adalah jenis sambal.

Oleh sebab itu, saatnya songket keluar dari lemari nenek dan masuk catwalk, coba bayangin jika seandainya, Angelina Jolie pakai songket sambil jalan di Paris Fashion Week, terus netizen Prancis bilang, “Magnifique! C’est du Chanel?” Nope, itu karya Mak Rosni dari “Palembang Tanggo Buntung”, cuy… Mantap yang pasti…!

Sumsel punya modal budaya yang tak bisa ditiru oleh AI, termasuk motif songket dari sembilan suku batanghari. Mulai dari Gambo Muba yang warnanya seberani cinta pertama, hingga angkinan Komering yang motifnya rumit kayak isi hati mantan. Semua itu punya nilai budaya, sejarah, dan kalau dijual bener-bener, bisa bikin devisa negeri tambah semriwing. Tapi ya itu, promosi dan branding-nya masih pakai strategi brosur warung fotokopi seadanya.

Perajin songket saat ini sedang dalam fase galau, mirip anak SMA yang saingannya bukan manusia, tapi mesin printing. Kain bermotif bisa dihasilkan semalam tanpa cucuran keringat dan air liur. Tapi, seperti kata pepatah “Apa yang dikerjakan dengan cinta tak akan kalah oleh hasil cetakan kilat”.

Sentuhan tangan perajin, aroma dapur tenun, dan suara “nyut-nyut” benang yang ditarik itu bagian dari ruh kain songket. Printing? paling cuma bikin kaku, kayak mantan ketemu mertua baru.

Lihat bagaimana Bali mem-branding kain endek, atau bagaimana Nusa Tenggara Timur jualan tenun ikat sampai tembus Milan. Bahkan Papua, dengan motif kulit kayu-nya, sudah mulai dikolaborasiin dengan sneakers. Songket, mestinya nggak mau kalah. Apalagi kalau dikemas dengan kekinian songket hoodie, songket totebag, songket mousepad, atau bahkan sarung songket instan buat anak kos. Inovasi boleh liar, asal tetap sopan.

Jack Ma – Pengusaha (Pendiri Alibaba) mengatakan “Jika kamu tidak menyerah, kamu masih punya peluang”. Kira-kira gitu menurut si mantan guru Bahasa Inggris yang sekarang punya perusahaan seharga benua kecil.

Jadi, kalau kamu masih tekun menenun songket meski order hanya datang dari tetangga sebelah yang suka ngutang, jangan kecil hati. Bisa jadi itu langkah pertama menuju London Fashion Week!

Dalam pidatonya pada Konvensi Nasional Partai Demokrat (Democratic National Convention) tahun 2012, Michelle Obama menyampaikan sebuah kalimat yang sangat menyentuh, ia menyebutkan “Success isn’t about how much money you make, it’s about the difference you make in people’s lives.”

Artinya “Kesuksesan bukan tentang seberapa banyak uang yang kamu hasilkan, tapi seberapa besar perbedaan yang kamu ciptakan dalam hidup orang lain”).

Nah, kata Mantan Ibu Negara AS, sukses itu bukan sekadar isi rekening, tapi seberapa banyak dampak baik yang kamu buat. Jadi, jika nenek-nenek yang menenun songket sambil ngajarin cucunya nilai-nilai budaya itu jauh lebih sukses daripada influencer endorse detox teh. Dan jika kamu punya songket, kamu masih punya warisan berharga yang bisa bikin dunia menoleh.

Kita tinggal perlu satu langkah kecil promosikan, bikin konten lucu, storytelling ala TikTok, bikin tantangan “7 Hari Pakai Songket” buat influencer. Kalau kucing joget bisa viral, masa songket nggak bisa?.

Memoar peradaban

Songket bukan cuma kain, ia adalah memoar peradaban. Di setiap jahitannya terselip kisah cinta masa lalu, perjuangan ekonomi emak-emak, dan semangat mempertahankan budaya dari serangan baju kekinian bertuliskan “Supreme” palsu. Kalau tak kita perjuangkan, jangan-jangan nanti nama “songket” malah jadi nama restoran sushi di Tokyo.

Dari Malam Budaya di pelataran Museum SMB II hingga harapan membumbung ke langit digital, semua pihak harus kompak. Pemerintah, Dekranas, desainer, anak muda, bahkan abang-abang ojek online. Kenapa? Karena pelestarian budaya tak bisa hanya jadi agenda setahun sekali. Ia harus jadi gaya hidup. Kalau batik bisa jadi seragam nasional, kenapa songket nggak bisa jadi jaket nasional saat musim hujan?

Oleh sebab itu yang kita kata semangat, angkat songket dari laci tua ke panggung dunia, dari tanjak di Gerbang Museum, kita kibarkan ke runway London, karena budaya bukan warisan diam. Ia harus dikisahkan, dipamerkan, dan dibanggakan, seperti kata bijak versi warung kopi “Kalau nenek bisa bikin songket, cucu harus bisa bikin dunia tahu siapa neneknya”.

Jadi, siapapun kamu, entah pemuda-pemudi TikTokers, bapak-bapak senam poco-poco, atau emak-emak pecinta arisan, mari bersatu. Songket bukan hanya kain, tapi jati diri. Dan jati diri itu bukan untuk disimpan di lemari, tapi untuk ditunjukkan pada dunia, dengan bangga!.

Seperti kata pepatah modern dari warung kopi “Kalau songket bisa ngomong, dia pasti bilang dipake dong, jangan cuma jadi alas tupperware di lemari!”[***]

Terpopuler

To Top