SUMSELGLOBAL

BUDAYA :”Ruwatan di Tengah Derasnya Zaman, Ketika Air Batu Menolak Lupa”

ist

Artikel ini tersedia dalam dua bahasa, versi Bahasa Inggris tersedia di bawah setelah garis pemisah.

ADA yang bilang, kalau tradisi itu ibarat akar pohon. Meski batangnya tumbuh menjulang, kalau akarnya lepas dari tanah, maka siap-siaplah tumbang saat angin besar datang, dan inilah yang ditolak mentah-mentah oleh warga Air Batu, Banyuasin, ketika mereka ramai-ramai menyelenggarakan ruwatan desa dan peringatan Tahun Baru Islam 1447 H, Minggu kemarin (13/7/2025).

Tak ada panggung megah berlampu sorot apalagi bintang tamu viral TikTok. Di Latar Angkringan Devi Susanto, yang ada justru semangat warga, bunyi gamelan, aroma dupa dan tumpeng, serta senyum tulus anak-anak yatim yang mendapat santunan. Lengkaplah sudah suasana sakral, guyub, dan hangat seperti kopi tubruk pagi hari.

“Tradisi ini bukan sekadar hiasan kalender tahunan” ujar Gubernur Sumsel H. Herman Deru dengan nada bangga. Ia mengibaratkan ruwat desa sebagai ‘jamu warisan’ yang harus terus diseduh agar imun budaya lokal tak rontok dimakan modernisasi.

Di zaman yang serba cepat dan digital, ketika anak-anak lebih hafal nama karakter game ketimbang tokoh pewayangan, menjaga tradisi seperti ini sama sulitnya dengan menanam pohon kelapa di pot kecil. Tapi warga Air Batu justru membuktikan, dengan gotong royong dan semangat “urip iku urup” (hidup itu menyala), apa pun bisa hidup bahkan budaya yang nyaris padam.

Hebatnya, acara ini murni dari dana swadaya masyarakat. Tak ada spanduk bertuliskan “dipersembahkan oleh brand X” apalagi backdrop segede layar tancap. Semua dari warga, oleh warga, dan untuk warga.

Gubernur pun sampai ikut terbawa suasana, bukan cuma memberi bantuan Rp10 juta yang tentu sangat membantu pelestarian budaya beliau juga menyumbangkan suara emasnya, ditemani iringan gamelan.

Barangkali satu-satunya gubernur yang kalau kampanye tidak janji nyanyi, tapi pas di lapangan malah nyanyi beneran.

Ketua Pelaksana, Devi Susanto, menyampaikan harapan warga bukan minta bantuan buat panggung artis, tapi soal jalan rusak. Ini juga ruwatan versi lain ruwat infrastruktur, karena apa gunanya budaya lestari kalau warga harus terguncang tulang pinggang tiap lewat jalan berlubang?

Ini saatnya pemerintah meniru filosofi tumpeng semua elemen harus ada dan seimbang. Budaya iya, infrastruktur juga jangan lupa, jangan sampai yang ruwat cuma wayang, sementara jalan dibiarkan rusak sampai mirip kulit jeruk purut.

Kalau boleh kita berkaca, daerah seperti Bali sudah lama menjadikan tradisi sebagai magnet wisata. Di Jepang, festival musim semi mereka didukung penuh oleh pemerintah dan menjadi daya tarik ekonomi.

Bahkan di India, ruwatan seperti Navaratri didanai besar-besaran demi menjaga budaya tetap menyala dan generasi muda tetap melek akar mereka.

Di dalam negeri, Tengger di Jawa Timur tetap kukuh dengan Yadnya Kasada-nya, meski dunia luar sibuk dengan AI dan robot. Di Sumatera Barat, balimau sebelum Ramadhan masih terus lestari. Sementara di Kalimantan, tradisi Naik Dango pun tetap sakral dan jadi kalender budaya tahunan.

Kenapa Air Batu tak bisa meniru? Bukan tak bisa mereka malah sudah lebih dulu melakukannya. Tinggal sekarang, semua pihak mau tidak ikut nimbrung dalam gamelan perubahan.

Ruwat desa ini bukan sekadar urusan mistik atau sesajen, ia adalah upaya manusia untuk menyatu dengan alam, dengan leluhur, dan dengan sesama. Ia seperti benang merah yang menyambungkan masa lalu dan masa depan agar kita tak tercerabut dari jati diri.

Air Batu mengajarkan kita satu hal penting bahwa kampung yang menjaga tradisi lebih keren dari kota yang lupa asal usul. Maka, mari kita bantu agar ruwatan ini tak hanya jadi acara tahunan, tapi jadi cermin dari siapa kita sebenarnya.

Karena seperti kata pepatah lama “Barang siapa lupa akar, siap-siap dipangkas masa”
Dan buat yang masih malu mengaku kampung halaman ingatlah, dari kampung pula presiden bisa lahir, pemimpin bisa tumbuh, dan kebudayaan bisa disulut agar tetap menyala.Jadi, ayo ruwat, sebelum kita sendiri yang diruwat zaman!.[***]

This article is bilingual. English version starts here

GB, CULTURE : “Village Rituals in the Age of Wi-Fi: When Air Batu Refuses to Forget”

SOME say tradition is like the roots of a tree. No matter how tall the trunk grows, if the roots are detached from the earth, the tree is doomed to fall when the storm hits. That’s exactly what the people of Air Batu, Banyuasin, are fighting against.

On Sunday (July 13, 2025), while many cities drown in the noise of online shopping festivals and celebrity gossip, the folks in Air Batu were busy holding their annual ruwatan desa a village purification ritual alongside the Islamic New Year 1447 H celebration. No giant LED screens, no viral TikTok influencers. Just warmth, unity, and the humble sound of traditional gamelan echoing through the Angkringan yard of Devi Susanto.

“This isn’t just a ritual,” said South Sumatra Governor H. Herman Deru with pride in his voice. “It’s a way to keep the cultural immune system strong in the face of modernization”

In an era where kids are more familiar with anime characters than shadow puppet legends, preserving tradition can feel like trying to raise a coconut tree in a flowerpot. But the people of Air Batu have proven that with unity and a bit of urip iku urup (life should give light), even fragile traditions can thrive.

What makes this event even more inspiring is that it was entirely community-funded. No corporate banners, no flashy endorsements. Just sweat, sincerity, and sambal.

The governor didn’t just show up with a speech. He brought along a Rp10 million donation and even belted out a song, backed by traditional instruments. Now that’s a governor who doesn’t just talk the talk, he sings the tune.

Chairman Devi Susanto voiced the people’s most grounded hope not for fireworks or festival drones, but for better roads. Because what’s the use of preserving culture if the road home still rattles your bones like a gamelan gone wild?

This is where cultural celebration and infrastructure must walk hand-in-hand like rice and sambal. One without the other just doesn’t cut it.

Take Bali, for example. They’ve long used tradition as a tourism superpower. In Japan, spring festivals are funded and protected as national heritage. Even in India, the Navaratri ritual receives huge support to keep it alive for future generations.

Back home, Tenggerese people in East Java still hold their Yadnya Kasada with deep reverence. In West Sumatra, the balimau tradition before Ramadan remains strong. In Kalimantan, the Dayaks celebrate Naik Dango as a regional pride.

Air Batu is already on that path. The only difference is, they’re doing it with love and community spirit, not a tourism ministry budget.

This isn’t about superstition. It’s about harmony between humans and nature, the past and the present. A ritual like ruwatan desa connects generations, builds togetherness, and reminds us where we came from.

Air Batu teaches us that a village preserving its roots is far cooler than a city that forgets its soul. Let’s not just clap from the sidelines let’s support, celebrate, and join in.

Because as the old saying goes “Those who forget their roots will be pruned by time.”
And for those ashamed of their humble beginnings—remember, every president once came from a village too.

So let’s preserve, before we ourselves are preserved… in a museum of forgotten culture.[***]

Terpopuler

To Top