SUMSELGLOBAL

“Jangan Biarkan Punti Kayu Jadi Hutan Pinus Galau – Yuk, Jadikan Disneyland-nya Sumatera Selatan!”

ist

(Bilingual Article / Artikel Dua Bahasa: 🇮🇩 Indonesia – 🇬🇧 English Summary Below)

SAYA membaca berita di situs Palembang.go.id milik Pemkot Palembang bahwa Wakil Wali Kota, Pak Prima Salam, hadir dalam diskusi pengelolaan Wisata Alam Punti Kayu bersama Komisi IV DPR RI, dari judulnya aja udah kelihatan, ini bukan diskusi biasa, namun soal masa depan sebuah “hutan pinus galau” yang bisa jadi Disneyland Sumatera!.

Saya pun langsung nyengir “Wah, ini nih! Hutan di tengah kota yang dulu jadi tempat mojok diam-diam waktu masih jomblo, akhirnya dilirik serius,” ingatku dulu..rambut belum dipenuhi uban dan dengkul gak bunyi kayak daun pintu lapok dan rusak, [krek..krek] he..he..

Jangan salah, bro, memang potensi Punti Kayu itu gila keren! untuk ukuran hutan dalam kota, tapi sayangnya selama ini, dikelola kayak warung soto tanpa daging ada, tapi hambar gak terkenal seperti hutan-hutan lindung di Jawa dan lainnya di Sumatera. Padahal, kalau dibumbui dengan kreativitas dan semangat milenial, hutan ini bisa viral, bukan cuma lokal!.

Tapi ya…begitulah,  sudah lama juga Punti Kayu ini, seperti gadis desa cantik yang kurang gizi promosi. Cantik sih, tapi gak banyak yang tahu. Padahal, dengan make-up dan manajemen yang tepat, ia bisa tampil di pentas Miss Tourism Sumatera Selatan, bahkan bisa go internasional seperti Miss Thailand yang viral itu!

Kita harus akui, potensi Punti Kayu itu luar biasa, di tengah panasnya Kota Palembang, dia muncul seperti oase, seperti AC alami di padang savana. Tapi, ya itu tadi, pengelolaannya selama ini belum bikin pengunjung bilang “wow”, paling cuma “lumayan…”.

Kalau kata pepatah, “Kuda bagus pun kalau tidak dirawat, bisa kalah dari keledai yang dipoles”. Nah, jangan sampai Punti Kayu ini jadi kuda bagus yang kalah pamor sama taman kota dari kabupaten sebelah cuma gara-gara tak dirawat dan dikemas dengan benar.

Kalau sekarang pengelolaannya sedang ditimbang-timbang, itu artinya saatnya kota ini ambil langkah lebih berani. Jangan ragu melibatkan pihak ketiga, bahkan keempat, kelima, kalau perlu,  asal jangan sampai jatuh ke tangan pengelola yang kerja setengah hati, yang kalau bikin event cuma lomba balap karung di tengah pinus, tanpa konsep, tanpa ekraf, tanpa nyawa kreatif!

Harus profesional

Pengelolaan Punti Kayu harus profesional, bukan modal spanduk dan niat doang, harus kreatif, inovatif, dan kekinian. Harus ada rasa, bukan rasa cemburu karena lihat daerah lain punya destinasi keren, tapi rasa cinta dan bangga karena kita bisa!.

Liat tuh Malang, punya Jatim Park, Bandung punya The Lodge Maribaya, apalagi Jogja punya Kaliurang dan desa wisata bejibun. Bahkan luar negeri kayak Singapura bikin hutan buatan yang bisa ngeluarin lampu warna-warni (Gardens by the Bay), sementara kita punya hutan beneran tapi gak nyala-nyala pesonanya dan auranya.

Apa Punti Kayu gak bisa kayak gitu? Ya bisa lah! Tinggal kitanya niat apa enggak, bayangkan, kalau misalnya dikelola serius ada taman tematik ala milenial, spot instagramable buat generasi rebahan, pentas seni mingguan yang libatkan komunitas lokal, ekraf yang nyambung dari kuliner tradisional sampai kerajinan daur ulang.

Selain itu bikin jalur sepeda keluarga, dan sampai outbound edukatif buat anak-anak. [Misalnya kalau belum ada, kalau sudah ada bisa dibikin inovasi kekinian lagi lebih menarik pengunjung..].

Dan jangan lupa, storytelling!. Punti Kayu harus dikisahkan, bukan cuma dipajang, dikasih legenda, cerita, maskot lucu, QR code yang kalau discan bisa denger cerita rakyat atau lihat peta interaktif. Biar pelancong  dari Musi Rawas, Jambi, Bengkulu, bahkan dari Kuala Lumpur dan Singapura, tertarik mampir.

Sekali lagi, kalau cuma dijaga supaya gak rusak, ya itu mah taman kota biasa. Tapi kalau dibikin jadi “Wisata Rasa”, ya beda. Orang ke sana bukan cuma jalan-jalan, tapi dapet cerita, rasa, dan pengalaman.

Motivator bilang, siapa ya .. yang cocok ajalah! “Kalu nak hasilnyo bagus nian /luar biaso, jangan lakukan hal yang biaso-biaso bae.”[ Kalau mau bagus beneran atau luar biasa jangan lakukan hal yang biasa-biasa saja] “ujar motivator itu dengan logat Palembang kaku..he..he.

Nah, jangan biarkan Punti Kayu jadi taman biasa di kota luar biasa, kita bisa mulai dari hal kecil niat, konsep, dan kerja bareng. Dan satu pesan untuk pengelola masa depan Punti Kayu. “Jangan cuma pandai bikin brosur, tapi miskin atraksi!”.

Warga sekarang butuh tempat healing, bukan cuma tempat piknik. Butuh konten buat medsos, bukan cuma bangku taman. Dan yang penting, mereka perlu merasa diajak liburan ke tempat yang punya soul, bukan sekadar ruang terbuka hijau.

Kalau ingin Punti Kayu dikenal bukan cuma oleh warga Palembang tapi juga oleh tetangga se-Sumatera hingga negeri seberang, maka pengelolaannya harus all out. Serius tapi santai, kreatif tapi tetap ramah lingkungan, edukatif tapi tetap lucu-lucuan. Kita butuh Disneyland rasa durian, bukan cuma taman pinus rasa tawar.

Jangan tunggu sampai pengunjung bilang, “Ah, mending ngopi aja di kafe”
Bikin mereka bilang, “Yuk ke Punti Kayu, di sana healing-nya dapet, feed Instagram-nya penuh, dan kenangannya gak ilang”.

Kalau perlu, ganti slogan “Punti Kayu, dari hutan jadi hiburan, dari alam jadi cerita, keren gak?.[***]


🇬🇧 English Version – Revamped with Humor, Soul & South Sumatra Spice

“Don’t Let Punti Kayu Stay a Lonely Pine Forest – Let’s Make It the Disneyland of South Sumatra!”

I was scrolling through the official city website, Palembang.go.id, minding my own business when BAM! I saw a headline about Deputy Mayor Prima Salam attending a meeting with Commission IV of the House of Representatives about managing Punti Kayu Nature Park.

And my inner voice went,
“Eh… this ain’t just another boring discussion. This is about the future of our good ol’ heartbroken pine forest—one that could be South Sumatra’s own Disneyland!”

I couldn’t help but grin.
“Walah, this forest! Used to be the place for sneaky dates when I was single—before my knees started sounding like creaky closet doors [krek..krek] and my hair turned into a silver jungle. Good times!”

Now let’s get serious (well, serious-ish).
A real urban forest, bro! But up till now, it’s been managed like a soup shop without meat there’s broth, but no flavor. Not famous like the cool forests in Java, or even in other parts of Sumatra.

But give it a sprinkle of millennial magic, a spoonful of creativity, and boom it could go viral, not just local.

You see, for years, Punti Kayu’s been like a beautiful village girl without makeup or marketing. Pretty, yes but unknown. If we just give her the right “branding,” she could win Miss Tourism South Sumatra, or heck, go global like Miss Thailand!

In the middle of hot, sweaty Palembang, Punti Kayu is like an oasis, a natural air conditioner in a concrete savanna. But the way it’s managed now? It barely gets a “meh…” from visitors.

Like the old saying goes “A good horse, if not cared for, will lose to a polished donkey.”
Don’t let Punti Kayu be that good horse that loses to a tiny park in a neighboring town just because no one gave it a decent upgrade.

Right now, the management status is up in the air. That’s a sign it’s time to get bold. Involve third parties! Or fourth! Or the fifth auntie’s cousin if needed as long as we don’t hand it over to lazy managers who only organize sack races among pine trees, with zero concept, no local crafts, no creative pulse.

Managing Punti Kayu needs to be professional, not just banners and empty slogans. It must be creative, innovative, and hip. Not just about FOMO, but about “PROUDMO” Proud Moments!

Look at Malang with Jatim Park. Bandung has The Lodge Maribaya. Jogja? They’ve got Kaliurang and enough village tourism to confuse Google Maps. Even Singapore has an artificial glowing forest (Gardens by the Bay), while we have a real forest… but no glow, no soul.

So, can Punti Kayu be like that? Heck yes, bro!

Just imagine:

  • Millennial-themed gardens,

  • Instagrammable spots for the selfie squad,

  • Weekly art shows with local talent,

  • Culinary fests with eco-friendly crafts,

  • Family bike trails,

  • Outbound zones for kids that are more “wow!” than “meh…”

Add storytelling! Don’t just display the forest tell its story. Create legends, mascots, QR codes that play folk tales or show interactive eco-maps. Make people from Jambi, Bengkulu, even Kuala Lumpur and Singapore say:
“Eh, jom pi Palembang laaa, nak tengok hutan viral tu!”

If we only preserve it without creativity? It’s just a park. But if we turn it into a “Tourism Experience”, then it becomes a memory-making machine.

As one wise motivator (probably from Sekip) said:
“Kalau nak hasilnyo bagus nian, jangan buat hal yang biaso-biaso bae”
“If you want extraordinary results, stop doing ordinary stuff!”

So let’s not let Punti Kayu be just another park in an extraordinary city. Let’s start small intention, solid concept, and teamwork.

One last message for future managers of Punti Kayu “Don’t just be brochure experts—bring the real attractions!”

People need healing, not just picnic spots.
They want Instagrammable joy, not plain benches.
They want to feel part of something meaningful not just walk through trees.

If we go all-out, Punti Kayu could attract not just Palembang folks—but tourists from all over Sumatra, Java, Malaysia, even beyond.

Let it be fun, yet educational. Creative, yet green. And always with a smile. We don’t need a copy of Disneyland—we need a forest that smells like durian, laughs like a local uncle, and teaches like a wise grandma.

So don’t wait until people say,
“Ah, I’d rather chill in a café.”
Make them shout,
“Let’s go to Punti Kayu! The vibes are real, the memories are lasting, and my Instagram’s blowing up!”

And maybe just maybe we’ll finally earn the slogan “Punti Kayu: From Forest to Fun, From Nature to Narrative”.[***]

Terpopuler

To Top