Artikel ini disajikan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Scroll ke bawah untuk membaca versi bahasa Inggris.[This article is available in both Indonesian and English. Scroll down for the English version]
DUNIA semakin cepat berputar, kadang tradisi lokal seperti opak gambir dan tari tanggai malah tertinggal di tikungan TikTok. Budaya leluhur kita bisa kalah pamor sama filter Instagram dan trending dance Korea, Tapi tenang, Muba Film Festival 2025 hadir bagai sambal terasi di tengah menu barat menyengat, nendang, dan mengingatkan kita, “Hei, kita punya cerita sendiri, lho!”.
Kalau pepatah bilang “Tak kenal maka tak sayang”, maka zaman sekarang harus ditambah “Tak direkam, ya makin hilang”, karena itu, langkah Pemkab Musi Banyuasin lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang menggelar Muba Film Festival (MFF) 2025 patut kita kasih standing applause sambil goyang betis.
Ini bukan sekadar lomba film, tapi ajang “galau budaya” yang solutif mengajak semua warga Muba, dari anak SD sampai om-om penyuka drone, untuk ngerekam budaya sendiri sebelum tergusur konten Korea.
“Pakai HP boleh, asal hatinya 100 megapiksel”, begitu kata Agustinus Ndruru, Ketua Pelaksana MFF 2025, yang ucapannya bisa bikin tripod bergetar haru.
Gimana caranya agar tari piring, pantun Musi, atau cerita rakyat tentang buaya putih gak cuma bertahan di buku pelajaran yang udah bolong tengahnya? Jawabannya, ya… lewat kamera, lewat film pendek, lewat karya yang bisa diputar di mana saja dari Sekayu sampai Stockholm.
Contoh sukses? Silakan intip Minikino Film Week di Bali, festival film pendek internasional yang mengangkat cerita lokal Bali, dan sekarang ditunggu-tunggu sineas luar negeri tiap tahun.
Busan International Kids and Youth Film Festival (BIKY), Korea Selatan yang ngajarin anak-anak bikin film tentang kehidupan sehari-hari mereka, dari upacara minum teh sampai drama rebutan sepatu.
IFFR Rotterdam, Belanda, tempat di mana film dokumenter tentang budaya kampung kecil bisa bersanding sama film Hollywood, asal orisinal dan jujur.
Nah, MFF 2025 bisa jadi “Minikino-nya Sumatera Selatan”, bisa juga jadi “Busan-nya Sekayu”, asal kita semua kompak rekam, angkat, dan banggakan budaya sendiri.
Buat anak muda yang suka ngedit video sambil makan cireng, ini saatnya membuktikan konten viral bisa bermakna, bukan cuma prank makan cabai. Bikin video profil sekolah yang nyeritain guru nari tari sekapur sirih atau kakak kelas yang bisa main rebana, lebih membanggakan daripada unboxing ciki isi uang.
Buat emak-emak yang suka bikin video masak sambal tempoyak di TikTok, kenapa gak sekalian bikin dokumenter “Rahasia Tempoyak Abadi Warisan dari Dapur Nenek ke Dunia”? Kan keren!
Lestarikan Lewat Layar
Festival ini bukan sekadar lomba cari piala, tapi investasi budaya. Kalau desa lain bisa masuk TV karena kisah ikannya ditangkep pakai lagu, masa kita yang punya nyanyian randai Musi malah diam saja?
Kita ini sedang bertaruh masa depan budaya, Bro, kalau gak mulai sekarang, nanti generasi depan bisa-bisa cuma tahu “lemang” itu nama makanan Korea, he..he..he!. Mari kita pegang pepatah “Kalau tak bisa menjadi langit, jadilah layar yang memantulkan cahaya budaya”.
Angkat kameramu, tekan tombol merah itu, dan biarkan budaya Muba menyala!.[***]
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah bentuk dukungan terhadap MUBA FILM FESTIVAL 2025 sebagai bagian dari penguatan identitas budaya lokal. Redaksi percaya bahwa di balik tiap adegan, tersimpan nilai. Di balik tiap frame, ada warisan. Dan di balik tiap karya, ada masa depan.
——————————————————————————————————————————-
“Roll the Camera, Keep the Culture, When Sekayu Goes Global with Stories from the Heart!”
IN today’s world where TikTok dances are more viral than ancient dances, local culture often ends up like old cassette tapes nostalgic but forgotten. That’s why the Muba Film Festival (MFF) 2025 is like lemang in a buffet of burgers it reminds us, “We have our own flavors worth showing off!”
There’s an old saying, “You can’t love what you don’t know,” but in this digital age, we add “What’s not filmed, disappears.” That’s why this film festival, initiated by the Musi Banyuasin Education and Culture Office, is not just a competition—it’s a cultural mission on a memory card.
As Agustinus Ndruru, the MFF Chairman, wisely said: “Use your phone, as long as your heart has 100 megapixels.” Boom. Oscar-worthy advice.
How can we ensure the Musi dance, folk tales, or traditional crafts don’t fade like expired Instagram stories? The answer record it. Frame it. Film it. From the heart of Sekayu to the world of YouTube.
Check out these inspiring examples:
-
Minikino Film Week, Bali – An international short film festival featuring Balinese stories, now a global attraction.
-
BIKY, South Korea – Teaches kids to make films about daily life—like tea ceremonies and the battle over school shoes.
-
IFFR Rotterdam, Netherlands – Where documentaries from remote villages stand proudly next to Hollywood flicks.
MFF 2025 could be South Sumatra’s version of Minikino—or even Sekayu’s very own Sundance.
Young creators editing videos between school and snacks—this is your moment. Viral doesn’t have to mean nonsense. Film your school’s gamelan group or that grandma who still sings folk songs. That’s culture going global!
And to moms recording sambal-making on TikTok—why not direct a full docu-title like “The Tempoyak Legacy: Grandma’s Recipe for the Future”? Netflix, here we come.
This festival is not just about trophies—it’s a cultural investment. If other villages can make headlines with fish-catching traditions, why can’t we bring our own heritage to the screen?. Let’s hold on to this quote “If you can’t be the sun, be the screen that reflects its light”. So, ready that camera, open your eyes, and let the stories of Muba shine through the lens!.[***]
Editor’s Note: This article supports the Muba Film Festival 2025, celebrating cultural pride through creativity. In every scene lies a value. In every cut, a tradition. And in every film, a future worth watching.