SUMSELGLOBAL

“Latiou, Lidah yang Tergelincir, dari Camilan ke Kasus, dari Kantin ke Krisis”

Sebuah Catatan Pinggir tentang Rasa, Asa, dan Waspada di Sekolah Kita

KAMIS akhir pekan lalu,  yang mestinya jadi ajang rebutan pensil warna dan pelajaran menggambar, delapan siswa SD Negeri 3 Sekayu malah harus berakhir di ranjang rumah sakit. Bukannya rebutan tempat duduk atau main layang-layang, mereka malah bergelut dengan mual, muntah, dan rasa pening akibat dugaan keracunan makanan.

Pemicunya? sebungkus makanan ringan bernama “Latiou”, yang maaf-maaf nih lebih cocok jadi nama karakter sinetron ketimbang jadi camilan anak sekolah.

Mari kita mulai dari sini kantin sekolah, tempat yang dulunya dianggap “surga kecil” setelah pelajaran Matematika. Dulu, anak-anak rebutan beli cilok, es mambo, dan kue pelangi. Tapi kini, kita harus mulai bertanya, “Apakah isi kantin masih sewarna pelangi atau malah mengandung kelabu?”

Tim gabungan dari Dinas Kesehatan Muba, BBPOM Palembang, hingga Dinas Pendidikan pun turun tangan. Mereka tak hanya turun ke lapangan, tapi juga menyusuri jejak bumbu, label, dan niat-niat bisnis kecil yang menjalar sampai ke dalam bungkus camilan anak. Bahkan distributor makanan ringan ikut disidak, karena urusan mulut ini ternyata bisa berbuntut panjang.

Seperti kata pepatah, “Air yang jernih pun bisa beracun kalau wadahnya bocor”. Maka tak cukup sekadar bungkusnya lucu dan rasanya gurih, makanan sekolah harusnya juga diuji kadar sayangnya terhadap anak-anak.

Sekolah bukan cuma tempat belajar membaca dan berhitung. Ia juga tempat anak-anak belajar tentang hidup termasuk bagaimana menjaga tubuh tetap sehat. Tapi ketika camilan tak lagi disaring dengan bijak, maka pendidikan yang dibangun susah payah pun bisa tumbang hanya karena satu gigitan.

Ini bukan sekadar soal keracunan. Ini soal ekosistem pengawasan yang longgar. Soal minimnya literasi gizi di kalangan pedagang. Dan soal “cuek nasional” yang seolah menganggap label makanan hanya sebagai ornamen, bukan alarm.

“Apa gunanya kurikulum merdeka kalau kantinnya masih terjajah oleh camilan-camilan yang tak terjamin?”.Begitu celetuk seorang guru yang ikut mendampingi muridnya ke IGD.

Muba dan daerah lain perlu mulai membangun Kantin Sehat Sejati, bukan hanya papan bertuliskan itu di depan pintu. Harus ada SOP khusus tentang jenis produk, label uji, hingga pelatihan pedagang kantin.

Pemerintah daerah, sekolah, bahkan orang tua perlu duduk bareng membahas isi kantin seperti mereka membahas soal UN dan zonasi sekolah.

Kalau masih dibiarkan, maka jangan heran kalau nanti muncul camilan lain bernama Kribik Kribik Keracunan edisi rasa salmon nuklir. Ini bukan lebay, ini sinyal.

Aquirina Leonora dari BBPOM Palembang menuturkan pentingnya verifikasi produk secara menyeluruh. Produk serupa Latiou memang sebelumnya pernah ditarik, tapi ternyata versi barunya muncul lagi dengan bungkus beda—mirip tapi tak sama. Seperti mantan yang datang dengan gaya baru tapi masih menyakitkan.

Pemeriksaan menyeluruh dilakukan. Sampel diuji. Tapi selagi hasil belum keluar, mari kita tarik satu pelajaran: “Jangan tunggu label bahaya untuk menyebut sesuatu itu berbahaya”.

Kita, bangsa pecinta rasa pedas, seringkali lupa bahwa lidah anak SD tak bisa disamakan dengan lidah orang dewasa yang tahan rawit setan level tujuh.

Jangan salahkan anak yang doyan jajan. Salahkan kita yang tidak menyediakan alternatif aman. Dalam dunia anak, camilan adalah bahasa kasih sayang. Maka jangan biarkan mereka menyerap kasih dari bahan pewarna dan pengawet.

“Anak-anak kita adalah benih masa depan. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam ladang yang disemprot pestisida rasa dan pewarna” – dr. Azmi Dariusmansyah, Kepala Dinkes Muba

Bayangkan kalau setiap sekolah punya program ‘Duta Jajanan Sehat’. Anak-anak jadi agen perubahan, ikut memantau camilan temannya, ikut membuat camilan sehat berbasis lokal keripik bayam, puding labu, atau es lilin sari temulawak.

Serius! Gizi bisa digabungkan dengan kreativitas. Maka Latiou’ hanya akan jadi kenangan pedas dalam sejarah, bukan lagi langganan tiap istirahat.

Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa urusan jajan bukan perkara remeh. Di balik sebungkus camilan ada jalur distribusi, ada regulasi yang harus ditegakkan, ada pendidikan yang harus ditanamkan. Maka mari jaga lidah anak-anak kita dari produk tak bertuan dan asal edarnya.

Karena bangsa yang besar bukan hanya menghargai pahlawannya, tapi juga menjaga perut anak-anaknya dari yang tak semestinya.

Hari ini mungkin Latiou, besok bisa saja yang lain. Tapi semoga tidak ada lagi cerita anak SD yang tertidur bukan karena mengantuk, tapi karena lemas keracunan. Kantin sekolah harus kembali jadi tempat aman bukan arena perjudian rasa.

Semoga, setelah ini, anak-anak bisa kembali belajar dengan tenang, tanpa harus menebak, “Hari ini, rasa yang menggigit, atau perut yang digigit?”.[***]

———————————————————————————————————————————————

Latiou, The Slippery Tongue: From Snack to Scare, From Canteen to Crisis 
A Marginal Note on Taste, Hope, and Caution in Our Schools

ON what was supposed to be a cheerful Thursday morning filled with colored pencils and art class, eight students of Sekayu Public Elementary School No. 3 ended up lying in hospital beds. Instead of jostling for seats or flying kites during recess, they were battling nausea, vomiting, and dizziness—allegedly caused by food poisoning. The culprit? A snack called “Latiou”—which, let’s be honest, sounds more like a soap opera character than something meant for a child’s lunchbox.

Let’s begin here: the school canteen. Once considered a “mini heaven” after math class, it used to be the place where kids scrambled to buy cilok, rainbow cakes, and icy pops. But now, we must ask: “Are the colors of the canteen still as bright as a rainbow—or is there something dark lurking in the wrappers?”

A joint team—from Muba District Health Office, Palembang’s Food and Drug Authority (BBPOM), and the local Education Office—swooped in. They didn’t just inspect stalls but traced ingredients, labels, and the small-scale business networks wrapping these snacks. Even the distributor was scrutinized. Turns out, what enters a child’s mouth can have a long legal tail.

As the saying goes, “Even clean water can be toxic if the container leaks.” A cute wrapper and savory taste are no longer enough—school snacks must be tested for how much they care about children.

School isn’t just a place to learn reading and arithmetic. It’s where children start learning about life—including how to take care of their bodies. But when snacks are no longer wisely filtered, the education we build so hard can crumble from a single bite.

This isn’t just about poisoning. It’s about weak oversight. It’s about snack vendors’ lack of nutritional literacy. It’s about a national indifference that treats food labels as decoration, not as warning signs.

“What’s the point of the Freedom Curriculum when the canteen is still colonized by unverified snacks?”
—quipped a teacher who escorted her students to the ER.

Muba—and every district, really—must start building a Truly Healthy Canteen, not just hang a decorative board with that name. We need real SOPs about product types, lab certification, and regular training for canteen vendors. Local governments, school staff, and parents must sit together—not just to talk about national exams and school zoning, but also about what’s inside the lunchboxes.

If not, don’t be surprised when a new snack comes along called “Kribik Kribik Keracunan”, salmon-nuclear-flavored edition. This isn’t exaggeration—it’s a red flag.

Aquirina Leonora from the BBPOM Palembang emphasized the importance of thorough product verification. A product similar to “Latiou” had previously been withdrawn—but now it’s back, in a new costume, same danger.
Like an ex who shows up in different clothes but still breaks your heart.

Comprehensive testing is now underway. Samples are being analyzed. But while we wait, let’s draw a lesson now:
“Don’t wait for a warning label to admit something is dangerous.”

We, a nation obsessed with spicy food, often forget that a child’s tongue is not the same as an adult’s fireproof palate. Don’t blame the kids for loving to snack—blame us for not giving them safe alternatives.
In a child’s world, a snack is a form of affection.
So don’t let them absorb that love from artificial dyes and questionable preservatives.

“Our children are the seeds of our future. Let’s not raise them in soil laced with artificial flavors and danger.”
—Dr. Azmi Dariusmansyah, Head of Muba Health Office

Imagine if every school had a Healthy Snack Ambassador program—where children become change agents, monitoring each other’s snacks, even creating their own healthy, local treats like spinach chips, pumpkin pudding, or temulawak ice pops.
Seriously—nutrition and creativity can go hand in hand.

Then Latiou would just be a spicy footnote in snack history—not a recurring character during every recess.

From this incident, we learn that snack time is no trivial matter. Behind every bag of treats lies a supply chain, regulations, and a form of education.
Let’s protect our children’s mouths from unregulated, unlabeled invaders.

Because a great nation doesn’t just honor its heroes—it also protects the stomachs of its children from what they should never consume.

Today it’s Latiou, tomorrow it could be something else. But let’s hope there will be no more stories of elementary students collapsing—not from drowsiness, but from food poisoning.

The school canteen must return to being a safe haven—not a roulette of reckless flavors.

And hopefully, after this, kids can return to learning in peace—without having to guess,
“Will today bring flavor that bites, or a bite that brings the pain?”.[***]

Terpopuler

To Top