SABTU malam, 16 Agustus 2025, Taman Makam Pahlawan (TMP) Palembang dipenuhi cahaya obor dan derap sepatu lars. Di tengah suasana khidmat itu, Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru bersama Wakil Gubernur H. Cik Ujang menghadiri apel kehormatan renungan suci dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Malam itu bukan sekadar seremonial, tapi sebuah ritual simbolik menjelang 17 Agustus yang kerap luput dari perhatian media.
Malam di TMP itu tak sesepi yang terlihat di mata, derap langkah TNI, cahaya obor yang menari, dan doa-doa lirih menjadi semacam “dialog tanpa kata” antara generasi sekarang dan para pahlawan. Pepatah lama bilang, air tenang menghanyutkan, malam renungan ini persis begitu tenang, tapi menghanyutkan kesadaran kita. Sebelum kita merayakan lomba panjat pinang dan tarik tambang, ada darah dan nyawa yang jadi taruhannya.
Kalau pagi 17 Agustus itu kue tart ulang tahun bangsa, renungan suci adalah lilin yang kita tiup sebelum makan kuenya. Tanpa lilin, rasanya hambar. Tanpa renungan, perayaan kemerdekaan hanya jadi pesta rakyat minus makna.
Malam itu mengajarkan kita menunduk dulu, baru besok bebas tertawa, ibarat nonton film, ini adegan slow motion sebelum klimaks. Kalau hidup harus seimbang antara kerja keras dan liburan, kemerdekaan pun sama hening dulu, baru heboh.
Yang bikin merinding bukan hanya nama besar di batu nisan, tapi nisan tanpa nama. Mereka gugur tanpa pamrih, tanpa harap trending di media sosial, tapi jasanya terasa sampai sekarang. Di sisi mereka berdiri anak-anak muda, pramuka, pelajar, mahasiswa, beberapa masih ngantuk, beberapa sepatu pinjam dari kakaknya, tapi berdiri tegak. Simbol bahwa estafet dari pahlawan ke generasi penerus tetap berjalan.
Pepatah bilang, janganlah kau lupa akar meski daunmu sudah rimbun, jangan sampai kita sibuk tarik tambang tapi lupa siapa yang membuat kita bisa bebas menarik napas di tanah sendiri. Renungan suci menjadi pengingat bahwa bangsa ini boleh tertawa, tapi jangan sampai lupa menunduk, karena lupa menunduk itu bahaya, bisa bikin kita tersandung batu sejarah.
Ritual simbolik menjelang 17 Agustus ini adalah jeda yang penuh makna malam hening sebelum riuh, doa sebelum lomba, tangis sunyi sebelum tawa meriah.
Bangsa yang bisa menyeimbangkan hormat dan pesta itulah bangsa yang dewasa, sebab, jika kita hanya bisa tertawa tanpa mau menunduk, itu ibarat makan kerupuk tanpa air seret, tersedak, dan tidak bisa menikmati nikmatnya merdeka.
Mari jadikan renungan suci bukan sekadar acara protokol, tapi pintu hati menuju esok yang lebih meriah, lebih bermakna, dan lebih merdeka.[***].