SUMSELGLOBAL

Dulu Tempat Menimba Ilmu, Kini Kembali Jadi Harta Sumsel

ist

SUMSEL hari ini tidak cuma sibuk bangun jalan dan potong pita, ada satu kabar yang lebih adem dari es tebu di siang bolong, tiga aset tua yang sempat terlunta akhirnya pulang ke rumah.

Bukan rumah sembarangan, namun aset-aset yang punya nilai sejarah, sosial, bahkan emosional, dari Jogja, Bandung, hingga Palembang, bangunan-bangunan yang dulu jadi tempat para mahasiswa Sumsel menginap dan menimba ilmu, akhirnya kembali ke pangkuan daerah, seperti kisah karpet tua yang lama digulung di gudang, lalu dibentangkan lagi karena ternyata itu warisan nenek, berharga, dan penuh cerita.

Di tengah riuh rendah Sumatera Selatan yang makin padat program tapi kadang lupa arsip, terselip kabar membanggakan aset-aset tua yang sempat ‘merantau’ jauh akhirnya pulang kampung.

Ya, seperti anak kos yang setelah 73 tahun baru pulang ke rumah, tiga aset bernilai sejarah tinggi, di Yogyakarta, Bandung, dan Palembang, akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi Sumsel.

Gubernur Sumsel, H. Herman Deru, didampingi Wakil Gubernur H. Cik Ujang, menerima langsung penyerahan aset tersebut dari Kejaksaan Tinggi Sumsel, lokasinya tak main-main di Auditorium Graha Bina Praja, Selasa, 22 Juli 2025.

Bukan penyerahan biasa, ini semacam upacara pengembalian pusaka, kalau meminjam gaya epos Mahabharata, sebagaimana dijelaskan Pak Deru, bukan sekadar urusan tanah dan bangunan.

Namun soal sejarah, soal kenangan, soal marwah. “Banyak orang-orang hebat tinggal di sana waktu kuliah,” ujarnya. Dan kita tahu, kenangan masa kuliah itu lebih lengket dari kenangan mantan, susah dilepas, apalagi kalau masih tersisa baju angkatan yang belum dikembalikan.

Mari kita buka sedikit peta sejarah, aset-aset ini berdiri sejak era 1950-an, artinya, lebih tua dari stasiun televisi nasional, lebih senior dari bangunan mall pertama, dan bahkan lebih dulu dari akta kelahiran sebagian besar pejabat sekarang.

Aset di Jogja dan Bandung dulu adalah asrama mahasiswa Sumsel, disanalah ideologi, solidaritas daerah, dan tentu saja kisah cinta jarak jauh mulai tumbuh.

Tapi seiring waktu, aset-aset ini seperti kaset pita di era Spotify dilupakan, bahkan berpindah nama, ada pula yang diserobot oknum.

Inilah yang disebut oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel, DR. Yulianto, sebagai “ketidaktertiban aset”. Bayangkan saja, kalau rumah sendiri diakui orang lain, lantas kita harus nebeng setiap Lebaran.

Kata orang tua “Hutang emas boleh dibayar, tapi hutang sejarah harus ditebus”, dan inilah yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumsel. Dengan napas panjang seperti maratonis veteran, mereka menuntaskan proses hukum yang rumit dan menegangkan, dari Yogyakarta hingga Palembang.

Menurut Pak Yulianto, aset Jogja misalnya, sudah inkracht berarti sudah “sah dan paten” secara hukum, dan ini bukan kemenangan hukum biasa, ini seperti memenangkan kembali rumah kakek yang selama ini direbut mafia tanah.

Kalau ini sinetron, mungkin judulnya “Aset Kembali, Rakyat Bernyanyi”, Herman Deru,  menyatakan bahwa keberhasilan ini bukan hanya milik pemerintah, tapi milik seluruh masyarakat Sumsel.

Ia berharap pengembalian aset ini menjadi momentum untuk menata ulang seluruh aset daerah. Jangan sampai, kata pepatah, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Jangan sampai karena satu aset yang tak terurus, rusak seluruh citra birokrasi.

Nah, sekarang saatnya bicara soal langkah lanjut, jangan sampai setelah diserahkan, aset-aset ini malah jadi rumah kosong penuh laba-laba dan nostalgia doang.

Aset yang kembali harus diberi napas baru. Ubah jadi rumah budaya, museum mini, pusat kreativitas, atau asrama mahasiswa generasi digital. Biar sejarahnya tetap hidup, dan bangunannya tak sekadar jadi bangkai tua.

Dalam lanskap pemberantasan korupsi yang sering terlihat seperti drama gelap penuh konflik, kejaksaan kali ini tampil sebagai pahlawan yang tak bersayap. Kejaksaan hadir bukan untuk mengobral panggilan, tapi jadi solusi.

Kita dukung semangat ini, karena seperti kata pepatah Madura “Lakona ben pole, tapi ben manfaat”. Artinya, pelan-pelan saja, asal membawa manfaat.

Digitalisasi Aset jika ada perlu dioptimalkan, jangan sampai ke depan, ada yang bilang, “Itu tanah siapa ya?” seperti orang tua pikun lupa punya cucu. Kreativitas Pemanfaatan, sset tua jangan disimpan saja. Harus dirancang jadi magnet ekonomi dan budaya. Jadikan sebagai tempat tumbuhnya talenta muda Sumsel.

Dan transparansi berkelanjutan, proses pengembalian aset ini bisa dijadikan studi kasus. Bukukan, tayangkan, bahkan bisa jadi film dokumenter karena publik perlu tahu  bahwa hukum bisa berpihak, asal dijalankan dengan sabar dan tuntas.

Akhirnya, kita tutup dengan doa semoga tak ada lagi aset yang berpindah tangan seperti sepeda ontel warisan. Dan semoga Gubernur dan Kejati bisa terus kompak seperti nasi dan rendang sederhana, tapi mengenyangkan rakyat.

Dalam dunia yang penuh lupa dan birokrasi yang kadang lebih ribet dari status WhatsApp mantan, kabar ini adalah embun pagi yang menyegarkan. Mari jaga bersama aset-aset ini karena sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijadikan fondasi masa depan.

Ingat!, aset tua mungkin sudah berumur, tapi kalau dipelihara, bisa lebih setia dari janji kampanye lima tahunan.[***]


Title: “Once a Student’s Home, Now a Treasure Reclaimed by South Sumatra”

SOUTH Sumatra isn’t just busy building roads and cutting ribbons these days there’s a piece of news cooler than iced sugarcane on a scorching afternoon  three long-lost historic assets have finally come home.

Not just any home, but heritage buildings steeped in memories, history, and identity from Yogyakarta, Bandung, to Palembang. These were once dormitories for South Sumatran students chasing knowledge and dreams far from home. Think of them like old carpets rolled up in a dusty attic, now unfurled again surprisingly priceless, handed down from grandma, and full of stories.

Like college kids finally coming home after 73 years of extended “study breaks,” these properties have returned to the arms of their rightful owner: the people of South Sumatra. A quiet celebration of justice, memory, and tenacity.

Governor H. Herman Deru, accompanied by Vice Governor H. Cik Ujang, personally accepted the return of these properties from the South Sumatra High Prosecutor’s Office on Tuesday, July 22, 2025, at the Graha Bina Praja Auditorium.

This was no mere handover it felt like a ceremonial return of royal relics, Mahabharata-style. According to Governor Deru, this wasn’t just about land and buildings. It was about dignity. Legacy. Identity.

“Many great people once lived in those dorms while studying,” he said. And let’s be honest college memories stick harder than chewing gum under the desk. Especially when someone still owes you a class T-shirt from 1998.

Let’s crack open the historical map for a second. These assets date back to the 1950s. That’s older than the national television station, older than the first shopping malls, and even older than the birth certificates of some current officials.

The dorms in Yogyakarta and Bandung weren’t just places to sleep they were breeding grounds for regional pride, ideas, and even a few long-distance romances.

But as time passed, these buildings became forgotten like cassette tapes in a Spotify world. Some changed ownership some were claimed by individuals with sticky fingers.

This, as explained by South Sumatra’s Chief Prosecutor Dr. Yulianto, is what asset disorder looks like. Imagine your grandfather’s house suddenly listed under someone else’s name and now you have to crash there every Eid.

As the elders say “You can repay a gold debt, but not a debt to history.” That’s precisely what the Prosecutor’s Office is correcting. With marathon-like endurance, they’ve untangled legal knots across provinces to reclaim what was once lost.

Take the Yogyakarta asset, for instance it’s now legally inkracht, meaning sealed, signed, and final. Not just a legal win, but a moral one. It’s like reclaiming grandpa’s house from the land mafia complete with a garden of faded memories.

If this were a soap opera, the title might be “The Asset Returns: People Rejoice.” Governor Deru made it clear: this triumph belongs not only to the government but to every South Sumatran.

He hopes this milestone becomes a spark for reorganizing other forgotten assets. Because, as another proverb goes, “A single drop of indigo can ruin a whole jug of milk.” Don’t let one neglected building damage the entire public trust.

Now comes the real work. Don’t let these buildings become spider-infested memory vaults.

Let them breathe new life—turn them into cultural hubs, youth centers, mini museums, or student co-living spaces for the digital generation. Let history live not in silence, but in song and startup pitches.

In an anti-corruption landscape often resembling a never-ending dark drama, this time the prosecutors played the role of quiet heroes. Not just with subpoenas, but with solutions.

We should back this spirit. As a Madurese proverb goes “Slow is fine, as long as it’s useful” No need to rush if it brings benefit.

Three Steps Forward and One Big Hope

  1. Digitize Asset Records: Every asset needs a QR code future, not a missing map past. Let’s avoid hearing, “Whose land is that again?” like a forgetful grandpa at a reunion.

  2. Creative Reuse: Don’t just store them like ancient relics. Turn them into something relevant—cultural magnets, youth laboratories, living museums of local greatness.

  3. Transparency for All: This process should be studied, written, filmed, and shared. Because people need to know: justice can win, as long as we’re persistent (and patient).

And finally, let’s pray: may no more heritage assets switch hands like rusty old bicycles at a garage sale. May the Governor and Prosecutor remain united—like rice and rendang: simple, but deeply satisfying for the people.

In a world full of forgetfulness and bureaucracy more complicated than a WhatsApp breakup status, this news is like morning dew on parched land.

Let’s guard these assets together. Because history isn’t just to be remembered—it’s the foundation for building what comes next.

And always remember: old assets may be aged, but when properly cared for, they can outlast five-year political promises.[**]

Terpopuler

To Top