DI negeri +62 ini, kata gotong royong bukan sekadar slogan di buku PPKn. Ia hidup, ia berdenyut di setiap nadi kampung. Mulai dari rewang kawinan sampai ronda malam yang kadang lebih heboh gosipnya ketimbang patroli, semua itu jadi bukti bahwa bangsa ini punya “humanitarian aid versi lokal” sejak zaman nenek moyang. Bedanya, kalau di PBB bantuan datang pakai bendera biru, di kampung bantuan datang pakai sandal jepit, bawa panci, dan kadang diselipi bawang setengah kilo.
Seandainya kalau ada musibah di desa, rumah Pak RT kebakaran, tetangga bukan cuma nimbrung nonton sambil bilang, “Ya Allah kasihan,” tapi langsung keluarin ember, gayung, bahkan ada yang rela merobohkan pagar demi buka akses air.
Dalam hitungan menit, kebakaran padam, coba kalau nunggu humanitarian aid ala Internasional, bisa-bisa yang datang duluan drone liputan televisi, bukan air.
Gotong royong itu ibarat WiFi gratis di alun-alun: semua bisa nyambung, tanpa password. Filosofinya sederhana “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.” Walau kadang, di lapangan, ada juga yang kebagian jinjing sandal doang sementara yang lain pikul karung beras. Tapi setidaknya, rasa kebersamaan itu nyata.
Mari kita bandingkan dengan konsep humanitarian aid, di level global, bencana ditangani dengan prosedur assessment, koordinasi, logistik, laporan, tanda tangan, baru kemudian bantuan dikirim. Lengkap dengan jargon “resiliensi komunitas” yang sering terdengar lebih ribet dari resep kue lapis. Sementara di kampung, begitu banjir datang, emak-emak sudah mendirikan dapur darurat. Ada yang masak mi instan, ada yang bikin sayur lodeh, dan anehnya meski cuma dua kompor, bisa cukup buat satu RT. Kalau itu bukan keajaiban, lalu apa?
Pepatah lama bilang, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tapi di Indonesia, pepatah bisa upgrade “Kalau dapur sudah berasap, semua masalah terasa lebih enteng”. Karena apa? Perut kenyang bikin hati riang. Anak-anak main layangan di atas banjir, bapak-bapak gotong kasur pakai perahu, semua tertawa di tengah musibah. Inilah kekuatan lokal yang kadang tak bisa dihitung dalam laporan Excel PBB.
Oleh sebab itu, budaya gotong royong adalah modal kemanusiaan paling tulus dan paling murah. Ia tak butuh proposal ribuan lembar, tak menunggu tanda tangan pejabat, cukup niat baik dan nasi bungkus. Kalau PBB punya #ActForHumanity, kita di Indonesia sudah lama punya #RewangForHumanity.
Jadi, jangan remehkan warisan budaya ini. Kalau kampung sudah bergerak dengan gotong royong, bencana sekeras apa pun bisa terasa lebih ringan. Karena bencana paling berat bukanlah banjir atau gempa, tapi ketika manusia kehilangan rasa kemanusiaan.
PBB boleh punya konsep humanitarian aid yang megah, tapi Indonesia punya gotong royong yang lebih praktis, lebih cepat, dan lebih manusiawi. Karena di negeri ini, kemanusiaan tak sekadar teori, tapi sudah jadi kebiasaan dari rewang kawinan sampai ronda malam.[***]