Seni & Budaya

Sastrawan & Wartawan Jangan Galau Hadapi Era Digital

Kepsen: Dialog sastra bertema "Tantangan sastra menghadapi digitalisasi media" serangkaian Sepekan Seni DKP, di Guns Cafe, pekan lalu.

SASTRAWAN dan wartawan ternyata bernasib sama. Galau dan gagap menghadapi era digitalisasi. Demikian dikemukakan Pemimpin Redaksi Sriwijaya Post-Tribun Sumsel, Hj Weny L Ramdiastuti saat menjadi narasumber Dialog Sastra yang digagas Dewan Kesenian Palembang (DKP) di Sepekan Seni, pekan lalu.

“Padahal, jawabnya simpel, masuklah ke digital. Manfaatkan secara masif, niscaya sastra akan tetap eksis. Karena sesungguhnya dunia sastra kekuatannya tetap pada teks. Platformnya saja yang beda,”  ujar alumnus SMA Tarakanita Jakarta jurusan Bahasa ini. Saat itu, tampil juga sebagai narasumber, Dr Arif Ardiansyah (akademisi, dosen Pascasarjana Universitas PGRI Palembang), Drs Firman Susilo, M Hum (kepala Balai Bahasa Sumsel, diwakili oleh Basuki, M.Hum), Dahlia Rasyad (penulis wanita Sumsel), dan Riski Turama (penulis milenial).

Sama seperti wartawan, lanjut Weny, juga sebagian ada yang khawatir dengan kehadiran media sosial. Dunia daring, seakan-akan menjadi ancaman media mainstream. Terutama media cetak. “Tetapi, justru itulah tantangannya. Wartawan   punya pedoman kode etik. Jadi, daring itu, hanya platform. Dan kalau mau bertahan, harus juga gunakan paltform yang sama. Tetapi dengan kelebihan yang dimiliki wartawan, kerja-kerja jurnalistitk tetap harus dilandasi kode etik. Balancing, cek dan ricek, konfirmasi, verifikasi, merupakan kelebihan yang memberikan jaminan, berita-berita yang dihadirkan, jauh dari hoax,” ujar pemimpin media  Kompas Grup ini dalam Dialog yang dimoderatori Ketua Komite Sastra DKP, Imron Supriyadi,M.Hum.

Diakuinya, muatan budaya di media massa, terutama media yang dipimpinnya memang tak mengkhususkan pada ketersediaan SDM yang dekat dan lekat dengan budaya.  “Rubrik budaya yang di media cetak hadir di terbitan edisi Minggu, diserahkan kepada redaktur piket. Yang bergantian, sehingga barangkali sense seni budanya menjadi kering. Tetapi itulah kondisi yang riil,” tambahnya.

Senada, Arif Ardiansyah mengemukakan, kini posisi sastra makin cair dan terbuka karena bisa menjangkau siapa saja selagi masih ada paketan. “Lantas apa yang bisa kita ambil dari fenomena ini, ibarat virus corona, dia menyebarkan benih-benih cinta sastra kepada masyarakat yang lebih luas dengan segala pemahaman sastra yang mereka miliki,” papar doktor alumni Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.

Jujur, menurut mantan wartawan Tempo ini, dulu orang tidak terlalu suka sastra, karena dianggap  membaca puisi hanya membuang waktu. Sekarang coba lihat baju-baju kaos milinial dipenuhi kutipan-kutipan teks milik penyair top, seperti WS Rendra, Sapardi dan Chairl.. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana adalah kutipan favourit di undangan pernikahaan anak-anak muda. Potongan itu bagian kecil dari kata-kata puisi milik Sapardi Djoko Damano (SDD).

“Tak bisa dimungkiri, kehadiran fenomena sastra digital membuat publikasi karya sastra begitu mudah. Sebelum ada internet, para penulis begitu sulit memublikasikan karya,” tambahnya.

Akhirnya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, maka era digitalisasi sudah harus dilalui, dan kita berharap bahwa proses ini dapat menguntungan semua pihak, terutama dalam kehidupan bersastra. “Dari akademik, kami pun juga mempunyai tanggung jawab untuk mendorong terus dikembangkannya karya-karya sasta melalui media sosial. Kami berpikir bahwa media soial adalah candradimuka untuk  menemukan penyair, pengarang dan penulis sastra yang hebat dan bermanfaat. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memiliki manfaat baik dari sisi keindahan dan fungsi (dulce and utile),” ujar pemilik laman KoranIndonesia.id ini.

Dahlia Rasyad yang menggeluti dunia sastra sejak era 2002 dan 2016 lalu mendapat anugerah Ubud Writer and Reader Festival, ini merasakan dampak negatif kehadiran karya sastra di era digitalisasi  ini. “Di mana setiap orang dengan mudah dan bebasnya “melempar’ karya ke masyarakat tanpa melalui proses perenungan dan editing serta standar. Sehingga ini menjadi kelemahan. Berbeda dengan karya sastra yang harus melalui prareview, editing, dan seleksi penerbitan. Atau, kalau di media massa, melalui seleksi redaktur,” ujar penulis Novel Perempuan yang Memetik Mawar ini.

Seperti dirinya, yang dulu di awal mulai menulis, pernah sampai 98 kali mengirimkan karya sastra ke media massa dan ditolak.

Risqi Turama, penulis milenial yang karyanya kerap “nangkring’ di Harian Kompas menilai era digitalisasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. “Bagamana pun, kehadiran karya melalui lembaran-lembaran buku ataupun halaman-halaan media cetak, tetaplah dinanti dan ditunggu kehadirannya. Meskipun, karya-karya siap saji melalui medsos juga membanjir,” kata dosen FKIP Unsri ini.

Basuki dari Balai Bahasa Sumsel juga menyatakan bahwa karya-karya berbentuk teks masih merupakan produk yang diterima dan dinanti masyarakat. “Kami di Balai Bahasa pun masih dan terus menerbitkan sastra tradsional maupun karya satswan lokal yang mengandung nilai kearifan lokal, terurama dalam peran lembaga untuk melestarikan, membin, dan mengembangkan bahasa dan sastra di Indonesia,” ujarnya. [***]

Penulis : sir

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com