SETELAH keluar dari Planet PETI tempat semua wajah seperti hasil cetakan spanduk pemilu—Sarip akhirnya mendarat darurat di sebuah planet kecil yang tampaknya belum sempat masuk katalog wisata antargalaksi. Nama planet ini terdengar aneh, tapi jujur Planet LUGAS. Bukan singkatan dari Lulus Ujian Galaksi Antar Sektor, tapi katanya, artinya memang… ya, lugas. Apa adanya.
Tak ada neon menyala, tak ada billboard serum pencerah galaksi, tak ada baligo bertuliskan “Muka Boleh Bopeng, Hati Tetap Glowing”. Yang ada cuma tanah subur, pohon rindang, dan udara yang bikin paru-paru Sarip seperti diremajakan oleh semangat gotong royong RT zaman dulu.
Begitu turun dari kapsul, Sarip langsung disambut oleh warga lokal. Uniknya, semua wajah di sini tidak ada yang mulus. Ada keriput, ada jerawat batu yang melegenda, ada tahi lalat segede kancing batik. Tapi mereka tersenyum. Beneran senyum, bukan senyum hasil settingan filter hologram seperti di Planet PETI kemarin, yang kalau ketawa terlalu lebar malah error dan jadi emoji sedih.
Sarip terdiam.
Ia menatap refleksi dirinya di kolam jernih untuk pertama kali sejak berbulan-bulan lalu, ia melihat wajah aslinya.
“Wah… ini aku ya?” batinnya.
Wajah yang mulai bertekstur kayak jalan kampung habis diguyur hujan. Pori-pori selebar jendela warung kopi. Tapi anehnya, Sarip merasa damai. Nggak ada lagi beban buat ‘kinclong demi likes’.
Ketua kampungnya, Om Gufron, muncul dengan kaus lusuh bertuliskan “Hidup Sederhana, Tapi Hati Tajam”. Ia menyambut Sarip sambil nyemil kerupuk tenggiri dan minum jamu racikan sendiri.
“Di sini, Nak, kami nggak kenal filter-filteran. Wajah boleh kucel, asal nggak palsu. Tampang bisa bohong, tapi mulut dan perilaku nggak bisa diedit,” katanya sambil nyruput.
Sarip disuguhi teh dari daun asli, bukan teh sachet hologram. Rasanya… pahit. Tapi segar. Seperti hidup tanpa utang kartu kredit.
Beberapa hari Sarip tinggal di sana. Ia mulai mengenal warga: ada Nani, tukang cukur yang dulu kerja di Planet PETI tapi resign karena alergi glitter. Ada Pak Ben, petani yang bangga dengan giginya yang tinggal lima tapi senyumnya selebar aurora.
“Kita percaya, jerawat adalah tanda manusia. Kalau wajahmu terlalu mulus, malah kami curiga kau agen rahasia dari Planet Influensher,” kata Nani.
Sarip tertawa. Untuk pertama kalinya, tawanya tidak ditutupi efek suara buatan. Tawanya keluar dari hati, bukan dari algoritma.
Suatu malam, saat semua warga tidur dan jangkrik antargalaksi menggesek sayapnya, Sarip duduk di bawah pohon kayu bulan.
Ia merenung.
Pernah suatu masa ia rela mencicil filter glowing platinum edition demi dianggap “layak tampil” di acara kenegaraan Planet PETI. Tapi di sini? Tak ada yang peduli apakah kulitmu berminyak atau matamu berkantung. Yang penting, jangan palsu.
Sarip menulis di buku kecilnya “Di dunia yang terus menjual keindahan palsu, tempat seperti ini adalah oasis. Aku tak ingin kembali jadi template manusia. Di sini, aku jelek. Tapi asli”
Tapi ketenangan tak lama. Suatu pagi datang surat hologram. Planet PETI mengundangnya kembali, dengan tawaran jadi Brand Ambassador Filter Abadi. Ada bonus jet pribadi, apartemen terapung, dan gaji 7 digit dalam mata uang galaksi.
Sarip diam. Ia menghela napas panjang. Lalu ia menulis surat penolakan “Terima kasih atas tawarannya. Tapi saya sudah menemukan yang lebih berharga daripada wajah sempurna. Saya menemukan cermin yang tidak bohong: hati saya sendiri”
Ia menempel surat itu di batang pohon, lalu menyalakan api unggun. Surat PETI terbakar perlahan. Bersamaan dengan itu, rasa minder dan kebutuhan untuk diakui perlahan-lahan ikut menguap.
Di akhir bab ini, Sarip berdiri di tengah ladang, diapit warga Planet LUGAS yang sedang panen daun jujur dan buah rendah ekspektasi. Ia mengenakan baju biasa, sarung, dan sendal jepit.
Di depannya terpampang papan besar “Di Sini Tidak Melayani Edit Wajah. Yang Kami Butuhkan Hanya Ketulusan dan Sedikit Garam”
Sarip tersenyum.
Untuk pertama kalinya, senyumnya tidak butuh retouch.[***]