Sumselterkini.co.id, – “Reog itu bukan sekadar atraksi pentas. Ia adalah orkestra budaya yang kalau digoyang sedikit, bisa menghidupi 21 ribu perut, menggerakkan ekonomi, dan bikin turis mancanegara mangap saking kagumnya. Ponorogo, siap-siap, sampeyan bukan lagi kota kecil di Jawa Timur sampeyan bisa jadi kota kreatif dunia.”
Begitulah kira-kira kalau Reog bisa ngomong sambil narik selendang, pasti dia bilang, “Wes wayahe aku tampil di panggung internasional, ojok mung pentas hajatan manten karo karnaval agustusan tok!”
Dalam dunia yang serba digital, kadang kita lupa bahwa seni rakyat itu lebih dari sekadar konten TikTok dan filter Instagram. Tapi Ponorogo tak mau terlena. Ia memilih Reog sebagai jurus pamungkas untuk masuk ke jejaring kota kreatif dunia, UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Bukan main, gaes!
Bupati Sugiri yang gayanya kalau ngomong bisa bikin suasana kayak acara wayangan plus stand-up comedy bilang dengan penuh keyakinan, “Reog itu bukan cuma tari, tapi industri!” Dari 21 ribu orang yang ‘digendong’ oleh Reog, Ponorogo telah membuktikan bahwa kreativitas bisa lebih tajam dari cangkul pembangunan.
Artinya, kehormatan seseorang dari ucapannya, dan kehormatan bangsa dari budayanya. Nah, Reog itu bukan cuma kehormatan, tapi juga kebanggaan yang bisa dijual (dengan cara baik) ke mancanegara. Jepang saja punya Kabuki, Korea punya K-pop, Brazil punya Samba, masa kita diem aja, padahal punya Reog?
Negara-negara seperti Belanda, yang dulunya cuma tahu Indonesia dari batik dan kopi, kini mulai mengintip Reog. Bahkan turis dari Jerman yang biasanya kaku kalau nonton opera, bisa joget bareng pas lihat Reog pentas. Beberapa kampus seni di Prancis bahkan mulai belajar koreografi Reog, ya meskipun mereka masih bingung cara megang barongan-nya.
PCF 2025 bukan sekadar festival. Ini semacam gladi resik buat masuk daftar UCCN. Temanya “Pring Harmonic” bahasa halusnya dari gotong royong, tapi versi modern.
Sugiri cerdas, dia tahu kalau mau Reog mendunia, maka harus dikemas, dikolaborasi, dikomersialisasi tanpa menghilangkan esensinya. Museum Reog didirikan, monumen dibuat, festival digelar, dan semua itu disambut dengan gendang dangdut yang tak kalah semangat.
Kalau Solo bisa jadi kota kriya dan Ambon jadi kota musik, Ponorogo juga boleh dong jadi kota seni rakyat yang beneran rakyat. Yang bukan sekadar dipajang saat tamu datang, tapi juga jadi nadi ekonomi.
Dessy Ruhati dari Kemenekraf sudah pasang badan. Ia bilang pemerintah siap mendampingi dari A sampai Z. Mulai dari pelatihan SDM sampai bikin produk Reog yang bisa dijual ke Amazon (bukan hutan, tapi marketplace). “Kreativitas itu bukan cuma hiburan, tapi juga kekuatan pembangunan,” ujarnya, dengan tatapan tajam seperti Warok sebelum maju pentas.
Di belakang layar, ada juga Kota Malang, Makassar, dan Kabupaten Tangerang yang siap sprint buat masuk UCCN. Tapi Ponorogo punya nilai lebih Reog itu kompleks!. Ada tari, musik, kostum, filosofi, mitologi, hingga pengaruh kuliner (nasi pecel khas Reog misalnya).
Kalau kata simbah”Kebo nusu gudel”, artinya yang tua bisa belajar dari yang muda, dan yang muda bisa bikin yang tua bangga. Dunia mungkin sedang gandrung sama budaya Korea, tapi Indonesia punya warisan yang bisa bikin panggung dunia lebih berwarna.
Ponorogo sedang melangkah mantap menuju pengakuan dunia. Tapi ini bukan hanya soal masuk UCCN, ini soal mengangkat kembali harga diri budaya lokal, menghidupkan ekonomi rakyat, dan membuktikan bahwa seniman desa juga bisa jadi bintang dunia.
Jadi, kalau nanti Reog tampil di Paris Fashion Week, jangan kaget kalau Warok jadi brand ambassador parfum karena kreativitas memang tidak kenal batas.
Ponorogo bukan sekadar kota yang tiap malam minggu digemparkan oleh alunan gamelan dan atraksi Reog di alun-alun. Ia sedang menapaki jalan panjang menuju pengakuan dunia, membawa serta semangat rakyat kecil, harapan seniman kampung, dan mimpi-mimpi bocah SD yang masih bangga ikut arak-arakan Reog keliling kampung.
Kalau selama ini kita hanya tahu Hollywood, Bollywood, atau bahkan K-Pop sebagai simbol budaya global, maka sudah waktunya Reog bikin “Rog-wood” versi kita sendiri. Bayangkan, satu barongan bisa mengalahkan satu season drama Korea dalam menyampaikan nilai, makna, dan rasa.
Dan kalau pada akhirnya Ponorogo masuk ke UNESCO Creative Cities Network, itu bukan cuma kemenangan satu kabupaten. Itu perayaan untuk semua daerah yang percaya bahwa budaya lokal, jika dirawat dengan cinta dan dijual dengan cerdas, bisa bikin dunia jatuh hati.
Karena dalam dunia yang makin serba instan ini, yang dicari bukan cuma kecepatan dan kecanggihan tapi keunikan, keaslian, dan jati diri. Dan di situlah Reog, dengan segala keperkasaannya, menari bukan hanya untuk Ponorogo, tapi untuk Indonesia.Maka, jangan ragu. Reog ora mung goyang, tapi juga bisa go international. Ora mung dadak merak, tapi juga dadak mendunia.[***]