BICARA soal rumah, orang Indonesia punya istilah klasik rumahku istanaku, tapi kalau istananya bocor, temboknya retak, dan gentengnya tinggal menunggu waktu jatuh pas lagi masak mie instan, ya ujung-ujungnya jadi istanaku ajang drama Korea. Begitulah kira-kira kondisi sebagian warga di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, sebelum Program Berbenah Kampung hadir.
Nah, Minggu malam (31/8/2025), Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait alias Ara datang langsung menyaksikan Serah Terima Kunci Tahap II. Bedanya dengan seremoni lain, acara ini bukan sekadar potong pita sambil foto-foto pakai kemeja putih. Ini betulan ada isinya rumah tidak layak huni direnovasi tanpa uang negara.
Iya, tanpa APBN, Bung! Bayangkan program ini jalan karena gotong royong yayasan, pengusaha, dan CSR perusahaan. Salah satunya Yayasan Budha Tzu Chi yang memang terkenal kalau urusan membantu rakyat selalu gaspol, tak pakai banyak teori. Ada juga Kadin dan beberapa perusahaan lain yang ikut nyumbang.
Di negeri ini, kata gotong royong sering jadi bintang tamu tetap di spanduk kampanye. “Mari Kita Gotong Royong Membangun Bangsa!” tulisnya. Tapi prakteknya? Kadang malah rakyat yang digotong royongkan untuk kepentingan kelompok kecil.
Program ini beda, di Johar Baru, rumah warga beneran direnovasi. Sampai sekarang sudah 66 unit selesai, dan targetnya 500 rumah rampung sebelum Lebaran. Bayangkan, orang yang biasanya mudik ke kampung halaman dengan rumah masih bocor, tahun ini bisa mudik dengan hati lega rumahnya sudah kinclong kayak habis make up.
Renovasi rumah rakyat lewat gotong royong ini ibarat masak rendang di dapur rumah gadang. Ada yang nyumbang daging, ada yang bawain santan, ada yang rajin ngaduk biar nggak gosong. Hasilnya? Semua bisa makan dengan kenyang.
Kalau hanya mengandalkan APBN, bisa jadi prosesnya panjang, penuh prosedur, plus rawan masuk gorengan politik. Tapi kalau kaya berbagi dengan miskin, perusahaan CSR ikut patungan, yayasan turun tangan, negara cukup jadi wasit, maka rumah pun jadi tanpa ribut-ribut.
Seperti pepatah lama Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, bedanya kali ini, yang dijinjing bukan ember arisan, tapi beban warga yang butuh rumah layak.
Ara, dalam sambutannya, blak-blakan bilang “Yang kaya berbagi dengan rakyat yang kekurangan. Keadilan itu bukan hanya dipidatokan, tapi dilaksanakan.”
Kalimat ini kayak tamparan halus. Kita sudah sering dengar pidato manis soal keadilan sosial. Dari podium ke podium, dari baliho ke baliho. Tapi rakyat di bawah masih tidur di rumah yang atapnya bocor tiap hujan deras. Jadi, kata Ara, jangan cuma pandai bikin quotes, tapi juga bisa kasih kunci rumah.
Kalau mau jujur, Johar Baru selama ini identik dengan padat, sempit, dan rawan kebakaran. Banyak rumah sudah tua, kalau hujan air bisa masuk lebih dulu ke ruang tamu ketimbang ke bak mandi. Anak-anak belajar sambil nangkring di kursi biar kaki nggak kena banjir.
Dengan program ini, wajah kampung perlahan berubah. Rumah diperbaiki, lorong-lorong terlihat lebih rapi, dan warga punya kebanggaan baru. Kalau dulu malu ajak tamu karena rumah reot, sekarang bisa pamer rumah yang lebih sehat.
Satu catatan penting program ini sukses karena ada peran CSR perusahaan. CSR jangan hanya dijadikan bahan konten Instagram perusahaan dengan caption puitis “Kami peduli rakyat kecil”. CSR yang sejati ya yang seperti ini nyata, membangun, menyentuh kehidupan sehari-hari.
Karena kalau cuma bagi-bagi sembako lalu dipotret, itu namanya Corporate Selfie Responsibility.
Di sini ada pelajaran moral, kekayaan itu bukan hanya untuk beli tas branded atau gonta-ganti mobil mewah. Ada tanggung jawab sosial yang melekat. Kalau yang kaya mau berbagi, yang miskin bisa tersenyum, negara jadi kuat, dan konflik sosial bisa diredam.
Seperti pepatah Jawa urip iku urup hidup itu menyala ketika bisa memberi manfaat bagi sesama.
Renovasi rumah rakyat lewat gotong royong tanpa APBN ini bisa jadi model pembangunan partisipatif. Pemerintah tak selalu harus jadi bank berjalan. Cukup mengawal, memastikan adil, dan memberi arah, sisanya, biarkan masyarakat, pengusaha, yayasan, dan semua pihak yang peduli ikut bergerak.
Bayangkan kalau model ini dikembangkan di banyak daerah. Bukan hanya rumah, tapi juga sekolah, klinik, bahkan ruang terbuka hijau bisa dibangun dengan pola yang sama. Negara tidak jebol anggaran, masyarakat ikut merasa memiliki, dan hasilnya lebih cepat terasa.
Program Berbenah Kampung di Johar Baru memberi pesan sederhana tapi dalam, gotong royong masih relevan di zaman penuh gawai dan gosip seleb. Bahwa berbagi tak harus menunggu anggaran cair dari pusat. Dan bahwa keadilan sosial, sebagaimana diucapkan Ara, bukanlah orasi kosong, tapi kunci rumah yang nyata bisa diputar di pintu.
Akhirnya, rumahku istanaku tak lagi sekadar slogan manis. Bagi warga Johar Baru, kini sudah bisa jadi kenyataan. Dan semoga pepatah lama ini benar: kalau rumah sudah rapi, hidup pun ikut tertata.[***]