JIKA kamu pikir backlog hanya soal jumlah rumah yang belum terbangun, berarti Anda belum pernah melihat buruh bernama Pak Sumarno. Setiap pagi, Pak Sumarno menyalakan kompor minyak tanah di rumah kontrakan sempitnya, sambil menatap papan reklame perumahan subsidi yang menjanjikan “Impian Rumah Layak Huni untuk Semua Buruh”. Mata Pak Sumarno berbinar bukan karena ia paham hitungan RAB, tapi karena ia membayangkan suatu hari bisa menaruh pot bunga tanpa takut jatuh ke lantai tetangga.
Program rumah subsidi jelas membuat negara seperti tukang sulap yang menaburkan semen di atas tanah, sekaligus membuka backlog perumahan yang sudah menumpuk seperti cucian di akhir pekan. Menteri PKP Maruarar Sirait bilang, “Ini solusi strategis untuk backlog rumah.” Tapi, tunggu dulu, apakah hanya rumah fisik yang bisa menghapus backlog? Bagaimana dengan backlog harapan buruh, yang kadang lebih sulit diukur daripada jumlah bata dan semen?
Misalnya Pak Sumarno akhirnya punya rumah subsidi. Beton, genteng, dan pintu kayu sudah beres. Tapi di sebelah rumah, jalan masih berlumpur, sumur umum masih terbatas, dan fasilitas olahraga cuma sebatas lapangan kosong yang dulu jadi tempat ayam tetangga bertarung. Nah, backlog harapan mulai terasa.
Anak-anak Pak Sumarno ingin sekolah yang layak, bukan harus berenang di genangan air hujan. Istri Pak Sumarno ingin warung kopi dekat rumah, supaya bisa ngobrol sambil nyruput kopi robusta tanpa harus jalan kaki sejauh 2 kilometer.
Inilah dilema lucu tapi nyata: rumah subsidi memperbaiki backlog fisik, tapi backlog harapan kadang seperti cacing yang suka sembunyi kelihatan saat digali, hilang saat dicari. Perumpamaan lama bilang, “Tak ada gading yang tak retak, tak ada rumah subsidi yang sempurna tanpa harapan buruh.”
Namun, jangan salah sangka, kocak-kocak ini tetap ada hikmahnya. Dari backlog harapan, muncul inovasi mikro. Pak Sumarno, misalnya, membuat taman mini di halaman rumahnya yang sempit tempat anak-anak bermain bola plastik dan burung gereja ikut nimbrung. Istri Pak Sumarno membuka warung kopi sederhana di teras depan. Jalan berlumpur? Tinggal bikin papan kayu seperti jembatan mini ala desa adat. Bukannya masalah, tapi ladang kreativitas.
Sekarang coba kita lihat sisi ekonomi rumah subsidi menjadi mesin ekonomi lokal. Tukang cat tiba-tiba naik daun karena rumah subsidi warna-warni ala Instagramable, pedagang cilok di depan komplek naik omset 200%, dan tukang batu bisa ketawa lega karena proyek rumah membuat kantong mereka tidak lagi cekak. Kalau dihitung-hitung, backlog fisik rumah memicu backlog harapan, tapi sekaligus menyalakan api ekonomi rakyat seperti pepatah bilang, “Setiap tumpukan bata bisa jadi tumpukan rejeki, asal diletakkan dengan tangan yang kreatif.”
Namun, moral dari cerita ini tetap jelas rumah bukan hanya soal beton dan genteng, tapi soal kehidupan yang layak. Backlog harapan buruh menuntut perhatian sama seriusnya dengan backlog perumahan fisik.
Pemerintah, pengembang, dan masyarakat harus bersama-sama menata kawasan, membangun fasilitas umum, dan menumbuhkan lingkungan yang sehat. Sehingga rumah subsidi bukan cuma tempat berteduh, tapi pangkalan asa untuk keluarga buruh, di mana anak-anak bisa belajar, tetangga bisa bersenda gurau, dan kopi hangat bisa dinikmati tanpa harus meniti jalan becek.
Pesan terakhir? Jangan biarkan backlog harapan tertinggal di belakang beton rumah subsidi. Sebab rumah tanpa harapan ibarat perahu tanpa dayung berlayar mungkin, tapi ke mana arahnya? Jika setiap rumah subsidi dibarengi fasilitas pendidikan, olahraga, dan ekonomi mikro, maka backlog perumahan dan harapan bisa terselesaikan bersamaan. Dan Pak Sumarno? Dia bisa tersenyum lebar sambil menatap halaman rumahnya yang kini penuh bunga, warung kopi, dan tawa anak-anak, karena backlog rumah dan harapan akhirnya bertemu di satu titik: kehidupan yang lebih layak.[***]