Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Urgensi Literasi Politik Jelang Kontestasi Pemilu

ist

“Buta terburuk adalah buta politik!”. Itu merupakan ungkapan fenomenal dari seorang penyair asal Jerman, Bertolt Brecht yang resah akibat implikasi politik yang begitu kompleks. Keputusan politik akan melahirkan harga pangan, harga berobat, akses pendidikan, kesejahteraan buruh, dan segala hal yang menyangkut persoalan hidup tak boleh lepas dari pengawasan publik. Namun miris rasanya ketika melihat survei dari Indopol yang di publish oleh news.republika.co.id. Survei itu  mengatakan mayoritas generasi Z dan Milenial kurang informasi politik, padahal ditengah maraknya surplus informasi diera digitalisasi harusnya literasi politik menjadi topik yang urgen yang harus dikonsumsi masyrakat, bukan topik yang berbau sensasional dan provokatif yang disuguhkan dan ditelan mentah-mentah.

Bernard Crick seorang penulis sosialis demokratis asal Inggris mengemukakan bahwasannya literasi politik adalah mengimplementasikan senyawa pengetahuan, keterampilan dan sikap mengenai politik dari hal hal kecil seperti isu-isu politik serta mempengaruhi diri sendiri dan orang lain dalam pengambilan keputusannya. Melek politik sangat penting sebagai bentuk implementasi dari nilai-nilai demokratis yang menjunjung tinggi hak masyarakat dalam berpartisipasi politik. Maka dari itu masyakat perlu dididik dan diberi pemahaman politik secara substantif dan intensif agar mereka dapat kompeten dan rasional dalam berpartisipasi atau mengikuti kegiatan politik. Terkhusus bagi para pemuda yang notabene sebagai penerus bangsa dimasa depan harus segera disadarkan tentang kompleksitas politik yang terbelenggu dan tak terhindarkan.

Interpretasi literasi politik bukan hanya sekedar paham tentang mekanisme pemilihan saja, namun juga harus mampu menyadari dampak apa yang akan diperoleh saat menjatuhkan sebuah pilihan. Perlu dipahami kualitas dari para pemilih menjelang kontestasi pemilu akan dipengaruhi oleh literasi politik yang substansial, maka penting bagi media massa untuk menyajikan pendidikan politik yang berkualitas daripada menyuguhkan informasi sensasional dan subjektif demi keuntungan ekonomi semata. Tak hanya media massa, lembaga masyarakat, dan lembaga pendidikan formal maupun non formal juga diperlukan eksistensinya demi pemenuhan syarat berdemokrasi yaitu masyarakat yang cerdas, dan sebagaimana bentuk aktualisasi dari tujuan negara Indonesia yang tercantum secara eksplisit dalam pembukaan UUD yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga-lembaga yang berwewenang wajib memberikan rangsangan daya kritis dan wawasan informatif agar masyarakat paham bagaimana kekuatan politik dalam sebuah negara bekerja, dan bagaimana kualitas pemilih dalam pemilu akan sangat menentukan nasib masayarakat kedepan.

Untuk mengkonstruksi iklim demokrasi yang sehat dan ideal maka dibutuhkan masyarakat yang memiliki kemampuan literasi politik yang baik. Kesadaran kolektif dan kemampuan literasi politik masyarakat harus dibangun bukan hanya berdasarkan teori-teori politik semata, namun juga harus berdasarkan kondisi riil di lapangan. Bukan sebagai sisipan, namun sebagai sajian utama yang disengaja, direncanakan dan disampaikan (by design). Memang perlu waktu untuk membangun kesadaran kolektif berdemokrasi tersebut, namun investasi kecerdasan SDM merupakan suatu asas fundamental dalam mensejahterakan dan memajukan sebuah negara terkhusus untuk negara Indonesia tercinta.

Pemilu merupakan instrument sakral dalam berdemokrasi tentu tak boleh lepas dari partisipasi publik karena pemilu akan melahirkan sosok pejabat dan pemimpin yang akan menentukan arah kebijakan. Pemilihan umum saat ini seakan hanya dimaknai sebagai ajang kompetensi antar golongan/kelompok daripada sebagai ajang berlomba-lomba dalam kebaikan (ta’awun al-birr) untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam setiap kegiatannya  hampir selalu memunculkan potensi konflik cukup besar karena faktor sosiologis dan psikologis dari para pelaku partisipasi. Maka dari itu para pemilih dituntut untuk rasional dan cerdas dengan senjata literasi agar tak mudah terprovokasi dari permainan para politikus untuk mencari suara (voter).

Mereka (para kandidat) akan membangun citra semanipulatif mungkin agar kebusukan mereka tak tercium dan tak teridentifikasi, bahkan mereka tak segan-segan berafiliasi dengan media dan memainkan media agar memuat informasi yang subjektif seperti propaganda dan kampanye hitam hanya untuk membangun elektabilitas dan perhatian publik demi kepentingan pemilu. Penting bagi kita untuk berspekulasi, melacak jejak rekam, menelaah visi & misi dari program kerja yang akan ditawarkan, mengkritisi dan mengawasi para politisi yang ingin maju dalam kontestasi pemilu karena seseorang yang diberi kekuasaan akan cenderung koruptif sebagaimana adagium fenomenal dari Lord Acton “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Korupsi seakan membudidaya dan terus bertumbuh di bumi Indonesia ini, karena terbukti dari fakta data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mempresentasikan ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia hanya untuk sepanjang tahun 2022. Bahkan baru-baru ini Menteri Komunikasi Jhony G. Plate menjadi tersangka kasus korupsi proyek BTS yang diduga mengalami kerugiaan sebesar 8T. Korupsi merupakan mental destruktif yang harus dimusnahkan karena hanya akan menghambat perkembangan ekonomi negara, meningginya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Wajib seharusnya para legislator membuat kebijakan yang memberikan efek jera bagi tindak pidana koruptor seperti wacana RUU Perampasan Aset Koruptor. Namun jika melihat realitas kondisi DPR saat ini mereka seoalah berat sekali mengesahkan RUU Peramapasan Aset Koruptor ini, untuk membahasnya saja mereka seakan takut.

Esesnsi dari literasi politik ialah membangun kesadaran politik secara rasional yang berbasis pengetahuan untuk memahami realitas sosial politik yang ada. Harus disadari jika kesejahteraan rakyat secara general tidaklah datang dari tangan rakyat itu sendiri, melainkan datang dari para pembuat kebijakan, penting bagi kita untuk mencari tahu untuk apa dan untuk siapa kebijakan itu dibuat. Tak jarang ditemui fenomena kemiskinan sruktural dari sektor regional maupun nasional diakibatkan karena penyelewengan kekuasaan. Demokrasi itu sendiri tak dapat menjamin bahwa pemimpin yang dihasilkan secara demokratis (pemilu) akan sepenuhnya memperjuangkan kedaulatan rakyat. Mungkin dalam kampanye para politikus akan menjual janji-janji manis, karena “berdagang janji” seakan dianggap paling laris bagi rakyat. Namun pada faktanya tak jarang ditemui ketika pejabat itu terpilih mereka seakan lupa dengan jani-janji yang dibuai dengan kalimat manis yang mereka tebarkan sepanjang musim kampanye.

Ditambah amatan dari para pemerhati politik Indonesia kontemporer yang mengisyaratkan sebuah paradoks bahwa Indonesia adalah contoh par excellent dari fenomena ketika mekanisme demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme dapat saling mengisi atau hidup berdampingan pada saat bersamaan. Paradoks ini mengindikasi bahwa bisa saja sebuah produk kebijakan dari para legislator itu di lahirkan demi kepentingan elitisme dan oligarki, bukan memproduksi kebijakan yang seharusnya berorientasi kepada rakyat .

Relevansi antara pemilu dan literasi politik masyarakat dalam persentase yang tinggi akan melahirkan para partisipatif yang lebih rasional-objektif bukan hanya berlandaskan emosionalitas dalam memilih pemimpin, bukan pula karena suguhan hoax, kampanye hitam dan politik uang yang menjadi musuh sejati demokrasi. Pemilihan umum merupakan gerbang masuk untuk mengambil kesempatan berikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan yang diharapkan dengan filter utamanya adalah kemampuan literasi politik masyarakat. Partisipasi politik juga merupakan aktivitas yang urgen terutama menjelang musim pemilu, karena seseorang yang berpartisipasi dalam politik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi arah suatu kebijakan. Penting membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat melalui literasi politik, karena kesadaran politik merupakan kesadaraan nasib kemanusiaan, jika kita peduli dengan nasib masyarakat miskin, kaum buruh, petani, dan lingkungan hidup yang terus tergeruh akibat kepentingan proyek kaum oligarki maka penting bagi kita untuk terus kritis terhadap mereka sang pembuat kebijakan, para pejabat publik, para politikus, dan para elitisme. Menyadari betapa pentingnya memahami realitas politik yang ada di Indonesaia merupakan satu langkah kebaikan untuk memanusiakan manusia.[***]

 

Penulis : Ilham Rido Mahendra

Mahasiswa FISIP UIN Raden Fatah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com