Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Potensi Emas Pasar Halal Indonesia

SEBERAPA sering kita mencermati kandungan serta keterangan pada kemasan-kemasan produk sebelum kita konsumsi untuk mencari tahu apakah produk tersebut mengandung bahan yang tidak halal?  Berapa banyak dari kita yang meluangkan waktu bertanya kepada penjual yang memproduksi sendiri produk mereka perihal sumber-sumber bahan baku mereka yang mungkin memakai bahan yang tidak patut kita konsumsi? Berapa banyak dari kita yang mengamati keberadaan label halal sebelum memutuskan pembelian produk?

Jika jawaban kita adalah tidak sering, tidak banyak, atau malah tidak sama sekali, maka kita perlu meningkatkan kesadaran kita saat memilih untuk memakai atau mengonsumsi produk yang 100 persen halal. Walaupun saat ini, kita tinggal di negara Indonesia dengan populasi Muslim yang besar yakni 86,88 % dari 236,53 juta penduduk Indonesia, hal tersebut belum menjamin bahwa produk yang beredar di pasaran seluruhnya aman untuk dikonsumsi atau dipakai oleh Muslim.

Lembaga yang bertugas dan berfungsi menjamin serta memastikan halalnya produk atau benda yang masuk, beredar serta diperdagangkan di masyarakat Indonesia adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Undang-undang no . 33 Tahun 2014 mengamanatkan BPJPH untuk menyelenggarakan Registrasi Halal, Sertifikasi Halal, Verifikasi Halal, melakukan pembinaan serta melakukan pengawasan kehalalan produk, kerjasama dengan seluruh stakeholder terkait serta menetapkan standar kehalalan sebuah produk.

 

Sari Bayurini Samudra, S. Sn., M.M.

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang

 

Filosofi Label Halal Indonesia

Melalui Keputusan Kepala BPJPH No. 40 Tahun 2022 mengenai Penetapan Label Halal, maka setiap produk yang telah menerima sertifikat halal sejak 1 Maret 2022 diwajibkan mencantumkan Label Halal Indonesia yang baru. Visual logo sebagai simbol Label Halal Indonesia mengalami perubahan. Perubahan visual yang terjadi adalah pada warna, bentuk dan tulisan.

Jika sebelumnya logo halal di Indonesia berbentuk lingkaran dengan dominasi warna hijau dan terdapat tulisan ‘halal’ dalam bahasa Arab serta ‘Majelis Ulama Indonesia’ dalam bahasa Indonesia, maka pada logo yang baru tidak ditemui lagi elemen tulisan tersebut. Identitas visual logo halal yang baru disebut ‘Label Halal Indonesia’.

Aqil Irham selaku Kepala BJPH mengatakan bahwa warna utama Label Halal Indonesia adalah Ungu. Warna ungu merepresentasikan makna keimanan, kesatuan lahir dan batin dan daya imajinasi. Sedangkan warna sekundernya adalah Hijau Toska, yang mewakili makna kebijaksanaan, stabilitas dan ketenangan.

Dari sisi bentuk, Label Halal Indonesia mengadopsi bentuk Gunungan yang lancip ke atas untuk melambangkan kehidupan manusia. Bentuk gunungan ini terdiri dari rangkaian kaligrafi huruf Arab yang terdiri atas huru Ha, Lam Alif dan Lam yang membentuk kata Halal. Melalui visual baru Label Halal Indonesia ini, BPJPH bertujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia  mampu menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk.

Label Halal Indonesia yang baru ini sekaligus menandai peralihan wewenang penerbitan sertifikasi halal dari lembaga sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah melakukan sertifikasi halal sejak 1989.

Sertifikasi Halal Bagi UMK

Prosedur jaminan produk halal (JPH) sebelum terbitnya UU No. 33 Tahun 2014 adalah dilaksanakan oleh masyarakat dan bersifat voluntary, namun sekarang penjaminan produk halal dilaksanakan atas kesadaran individual atau organisasional alias menjadi tanggung jawab kolektif (jama’i).

Data Sistem Informasi Halal BPJPH menunjukkan sampai 5 November 2021 ada 31.529 pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal. Mayoritas para pengaju tersebut adalah pelaku usaha mikro yang mencapai 60.92 %. Terdapat pula pelaku usaha kecil sejumlah 16,17 %, sehingga total 76 % adalah pelaku UMK (usaha mikro dan kecil).

Era digitalisasi memicu pemerintah dalam hal ini BPJPH selaku penyelenggara untuk membuat sistem sertifikasi ini menjadi lebih mudah dan bisa diajukan dari mana saja. Sistem pengajuan untuk kategori usaha mikro dan kecil ini kini bisa dilakukan dengan metode Pernyataan Pelaku Usaha atau Self Declare.

Berikut ini cara mengajukan permohonan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil :

  1. Telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Jika pelaku usaha belum memiliki NIB, maka bisa membuat terlebih dahulu melalui website perizinan online resmi pemerintah alias Online Single Submission (OSS) yakni oss.go.id
  2. Mengajukan permohonan sertifikasi halal secara online di https://ptsp.halal.go.id/
  3. BPJPH akan memeriksa kelengkapan dokumen dan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
  4. LPH memeriksa dan atau menguji kehalalan produk.
  5. MUI menetapkan produk melalui Sidang Fatwa Halal.
  6. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.

Sepanjang tahun 2021, BPJPH telah menerbitkan 16.297 sertifikat halal.  Jumlah tersebut mencakup sertifikasi atas produk makanan, minuman, hasil dan jasa sembelihan, bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta obat-obatan, barang gunaan dan kosmetik.

 

Potensi Besar Pasar Halal Global

Jumlah usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di tanah air jumlahnya cukup masif yakni lebih dari 64 juta. Produk yang dihasilkan oleh UMKM tadi tentu memerlukan layanan sertifikasi halal agar bisa menembus pasar halal global. Namun, jika kita bicara halal maka kita tidak hanya membahas produk milik UMKM semata. Bicara halal juga tidak semata tentang lebih dari 236 juta Muslim di Indonesia, atau 1,9 miliar Muslim di dunia saja, namun juga tentang berbagai manusia di belahan Indonesia dan belahan dunia lainnya, baik yang non muslim maupun yang tidak beragama sekalipun.  Karena konsep halal adalah konsep tentang kebaikan untuk umat manusia yang mengacu pada prinsip-prinsip kesehatan, kebermanfaatan, kebersihan, keberlanjutan, keselamatan, integritas, kesejahteraan hewan dan segala hal yang memuat solusi baik untuk manusia itu sendiri.

Umat Muslim pada 2030 diprediksi akan tumbuh menjadi 23 % dari populasi dunia atau sekitar 2,3 miliar. Dari jumlah itu terbanyak berada di Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika Subsahara, Eropa hingga Amerika Utara dan Latin. Asia-Pasifik adalah kawasan terbesar populasi Muslim dunia dengan persentase mencapai 62 %.

Muslim sendiri diwajibkan untuk mengkonsumsi segala sesuatu yang sudah terbukti halal.  Maka dengan adanya sertifikasi kehalalan, jelas akan memudahkan keputusan Muslim dalam membeli produk atau layanan tersebut.

Sebelum Indonesia mencanangkan diri ingin menjadi pusat halal dunia, negara-negara lain sudah lebih dulu menyadari potensi pasar halal yang sangat besar. Kota Fuji di Jepang bahkan sudah mendeklarasikan kotanya sebagai kota halal. Kemudian Thailand telah mempromosikan diri sebagai pusat pangan halal dan telah menjadi pengekspor produk makanan halal terbesar ke-10 di dunia, dengan total 200 miliar baht (USD 6 miliar) atau 22 persen dari total ekspor makanan secara keseluruhan. Industri produk halal pun tumbuh pesat di Eropa sebab makin banyaknya non muslim yang turut menjadi konsumen produk halal ini selain dari para Muslim Eropa itu sendiri. Total penjualan produk halal di Eropa di tahun 2017 saja mencapai EUR 70 miliar atau lebih dari 1000 triliun. Bukan main! Belum lagi pesatnya pertumbuhan restoran halal di Belanda dan lebih dari 20 negara lainnya yang juga menangguk peluang dari ekonomi halal yang sangat menggiurkan ini.

Menilik laporan State of Global Islamic Economy Report (SGIE) 2021 yang memperkirakan pengeluaran warga Muslim akan mencapai 2,3 triliun dolar di 2024 pada Tingkat Pertumbuhan Kumulatif Tahunan (CAGR) 3,1 %.  Ekonomi Islami global terus bertumpu pada delapan pendorong kunci, termasuk jumlah penduduk Muslim yang besar dan bertumbuh, naiknya ketaatan pada nilai-nilai etis Islami yang mempengaruhi konsumsi, dan sejumlah strategi nasional yang ditujukan pada pengembangan produk dan layanan jasa halal.

Dalam daftar peringkat Indikator Ekonomi Islam Global (GIEI) untuk tahun kedelapan, Malaysia menjadi pemimpin di daftar ini. Menyusul Arab Saudi di peringkat kedua, diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA) lalu Indonesia di posisi ke empat skala dunia. Posisi Indonesia sangat diperhitungkan dalam industri halal global  karena terus bertahan di 10 besar di antara puluhan negara lainnya di dunia.

Indonesia sendiri sangat antusias dalam memperhitungkan potensi emas pasar halal dunia ini sebagaimana pernyataan Wakil Presiden RI, Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin, bahwa Indonesia siap menjadi produsen halal terbesar di dunia pada 2024. Pemerintah pun telah memperbarui sistem regulasi sertifikasi halal agar para pelaku usaha lebih mudah memiliki Label Halal Indonesia.

Dengan pangsa pasar halal yang tidak terbatas hanya pada produk makanan minuman melainkan juga pada sistem keuangan syariah, perjalanan ramah Muslim, kosmetik, obat-obatan serta fesyen, maka masyarakat Indonesia seharusnya bersama pemerintah juga bersinergi dalam menciptakan ekosistem pasar halal yang kondusif. Masih banyak perspektif mengenai konsep dan terapan halal yang sempit di Indonesia. Literasi halal di Indonesia jelas perlu ditingkatkan, baik secara individu maupun kelembagaaan. Turut serta menjadikan Indonesia sebagai pusat produk halal bukan semata-mata untuk cuan semata, namun juga sebagai bentuk peran serta kita dalam memaksimalkan berjalannya salah satu syariah Islam di bumi tercinta ini.[***]

 

 

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com