PEMILU 2024 sudah di depan mata. Media kita saat ini tengah ramai dengan maraknya aksi sindir antar politikus yang membuat komunikasi politik seolah memanas. Kata pencitraan seolah jadi sematan favorit jika ada tokoh politik yang tindak tanduknya tidak mendapat tempat di hati para pengkritik. Makna pencitraan menjadi bertendensi negatif karena sering dikaitkan dengan perilaku yang jauh dari ketulusan.
Seorang warga baru-baru ini mengembalikan pemberian bantuan sembako yang diberikan oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dengan alasan tidak mau kemiskinannya dijadikan konten pencitraan oleh tokoh tersebut. Beberapa waktu lalu, istilah pencitraan 4.0 pernah pula dilontarkan oleh Fadli Zon saat membalas komentar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengenai kegiatan tanam padi oleh Puan Maharani yang dianggap tidak relevan karena ditanam di musim hujan. Lalu masih ada deretan kepala daerah atau elit politik yang tidak pernah sepi gunjingan lawan-lawan politiknya karena dianggap banyak melakukan pencitraan di media sosial, sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, sampai anggota DPR RI Dedi Mulyadi.
Definisi Pencitraan
Dua tahun dari sekarang, sungguh bukanlah waktu yang lama untuk urusan memoles citra. Tidak ada yang salah dengan gerakan cepat para bakal calon kandidat di Pemilu 2024 dalam memulai program pencitraan di mata rakyat. Pencitraan sejatinya adalah hak semua manusia. Siapa saja boleh menyusun strategi pencitraan, baik untuk keperluan pribadi sebagai figur publik, produk, layanan atau organisasi. Pencitraan dengan strategi khusus memang lazim dilakukan dalam berpolitik agar masyarakat memahami siapa figur terbaik yang layak dipilih.
Asal kata ‘pencitraan’ adalah ‘citra’. Citra berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gambar. Kemudian kata citra ini dipadankan dalam bahasa Inggris sebagai ‘image’. Secara terminologi, citra diartikan sebagai sesuatu yang abstrak dan kompleks serta melibatkan aspek emosi (afeksi) dan aspek penalaran (kognisi). Citra menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai rupa atau gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Edward L. Bernays, pakar public relations Amerika mengatakan citra adalah kesatuan mental atau interpretasi sensual (pengindraan), sebuah persepsi tentang seseorang atau sesuatu hal yang dikonstruksi secara deduktif, didasarkan pada bukti yang tersedia secara nyata atau imajinasi, dikondisikan oleh adanya kesan, kepercayaan, gagasan, dan emosi. Sementara, citra menurut Joe Marconi, memiliki kesamaan pengertian dengan persepsi dan opini orang banyak atau opini publik. Persepsi dapat didefinisikan sebagai interpretasi terhadap berbagai representasi objek-objek informasi.
Citra merupakan efek dari sebuah proses komunikasi yang tersimpan dalam benak khalayak (publik). Citra dan opini publik bak dua sisi mata uang yang berdampingan karena opini publik terbentuk melalui citra yang ada pada diri khalayak. Publik menilai citra seseorang, produk atau organisasi dalam dua unsur sekaligus yakni emosi dan rasio, sehingga hasilnya bisa subjektif dan objektif.
Intinya, selama proses pencitraan para tokoh politik ini berlangsung, maka selama itu pula publik akan terpapar dengan banyaknya aksi dan program komunikasi para politisi yang sudah dibentuk sedemikian rupa untuk mendapatkan citra positif dan dukungan opini publik terhadap mereka, baik secara pribadi maupun sebagai wakil yang kompeten dari partai politik tertentu.
Opini Publik dan Personal Branding
Opini publik memiliki kekuatan dalam masyarakat demokratis. Para tokoh politik yang akan bertarung di 2024 tentu sangat sadar akan hal ini, karenanya para tokoh serta organisasi-organisasi terkait harus memperoleh dukungan opini publik atau minimal opini publik tidak menentangnya. Namun sayangnya untuk memperoleh dukungan tanpa tentangan adalah hal yang mustahil. Sebaik apapun strategi komunikasi yang dilancarkan, tetap akan ada pihak-pihak yang tidak sepakat dengan kegiatan-kegiatan maupun kebijakan yang sudah ditetapkan oleh mereka yang namanya diperkirakan akan masuk ke dalam bursa capres atau cawapres di Pemilu 2024.
Opini publik sebagai fenomena sosial khususnya fenomena komunikasi sudah cukup lama menjadi perhatian, terutama karena opini publik di negara demokrasi liberal dapat disebut sebagai sebuah kekuatan politik. Meskipun demikian, opini publik di Indonesia adalah suatu kekuatan sosial dan politik yang penting karena asas negara Indonesia adalah negara yang menganut demokrasi, termasuk demokrasi ekonomi yang disebut dalam konstitusi, dengan nama “kedaulatan rakyat”.
Melansir dari data hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada Desember 2021 yang berjudul Pemulihan Ekonomi Pasca Covid-19, Pandemic Fatigue, Dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024, diperoleh 32 nama terpopuler yang menjadi Top of Mind calon presiden (capres) 2024 di masyarakat saat ini. Dari 32 nama, terdapat 7 nama tertinggi dukungannya yakni Joko Widodo (20,8%), Prabowo Subianto (13,1%), Ganjar Pranowo (8,9%), Anies Baswedan (8,7%), Ridwan Kamil (1,9%), Agus Harimurti Yudhoyono (1,6%) dan Sandiaga Salahuddin Uno (1,3%).
Sementara data survei Top of Mind calon wakil presiden (cawapres) 2024, 7 nama tertinggi dukungannya adalah Anies Baswedan (9,4%), Sandiaga Salahuddin Uno (8,7%), Ganjar Pranowo (8,4%), Agus Harimurti Yudhoyono (4,6%), Ridwan Kamil (4,5%), Prabowo Subianto (3,5%) dan Erick Thohir (3,1%). Data Top of Mind capres dan cawapres 2024 ini telah menunjukkan bahwa terdapat sejumlah nama yang dipersepsikan ulang oleh masyarakat sebagai sosok yang tepat untuk mengisi kursi baik capres ataupun cawapres.
Melihat deretan nama di atas, tentu sudah tidak asing lagi kita temukan di berbagai kanal media baik online maupun offline. Nama-nama di atas bisa disebut sebagai media darling. Media darling artinya seseorang atau lembaga yang sering mendapat perhatian media dan punya nilai berita. Tidak heran, apapun yang dilakukan oleh para media darling ini senantiasa disorot media, entah hasil publisitasnya bertendensi positif, netral atau negatif. Tetap saja menjadi pusat keingintahuan masyarakat. Mereka tercatat memiliki banyak pengikut di media sosial Instagram, misalnya Ridwan Kamil yang memiliki hampir 15 juta pengikut, Sandiaga Uno dengan 8,3 juta pengikut atau Ganjar Pranowo dengan 4,3 juta pengikut.
Menjadi media darling bagi politisi ibarat seperti menyelam sambil minum air, karena politisi memang butuh publisitas sebanyak-banyaknya agar dikenal luas oleh masyarakat. Tak heran, walaupun berita yang muncul tidak selalu mengangkat sisi baiknya saja, tetap saja publisitas media akan mempengaruhi persepsi masyarakat karena banyaknya informasi yang beredar. Tidak dipungkiri, kepopuleran tokoh publik dan kesukaan masyarakat terhadap dirinya dipengaruhi oleh banyaknya paparan media yang membentuk citra diri mereka dari aspek personal atau biasa dikenal dengan istilah personal branding.
Namun membentuk citra tidak cukup mengandalkan publisitas semata, membentuk citra adalah sebuah proses panjang yang mengandalkan kecerdasan berpikir secara holistik, kepemimpinan yang unggul, diplomasi yang baik serta mengharuskan konsistensi komunikasi yang terukur dan terarah dalam memelihara reputasi dan personal branding tokoh politik tersebut.
Personal branding sendiri adalah bagian dari strategi komunikasi pencitraan secara keseluruhan. Program pencitraan politik yang baik harus didukung pula dengan personal branding yang baik dari para tokohnya. Personal branding bisa diartikan sebagai upaya pembentukan persepsi masyarakat atau publik terhadap jati diri seseorang. Personal branding bisa membuat individu lebih dikenal dan dipercaya oleh masyarakat. Maka dari itu, tampil di banyak media dalam berbagai momen berbeda juga dijadikan sarana pencitraan bagi politisi.
Ambisi atau Sensasi?
Saat ini publik disuguhi dengan banyaknya drama komunikasi politik yang terjadi di ragam liputan media yang memuat berita pemerintah dan kinerjanya, proses dan kebijakan yang terjadi serta berbagai program-program yang mengusung nilai ekonomi kerakyatan. Era kebebasan berpendapat dan digitalisasi adalah duet terbaik bagi pihak-pihak tertentu untuk bebas menyuarakan aksi ketidaksukaan terhadap informasi hasil kinerja pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah. Namun jika ditelisik lebih jauh lagi, berita yang viral rata-rata memang cukup banyak didominasi oleh mereka yang namanya berada dalam daftar Top of Mind capres dan cawapres 2024 hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia.
Judul-judul berita utama media nasional kita sangat rajin menyajikan ‘pertengkaran’ pendapat dan sinisme di panggung politik. Di posisi khalayak publik sebagai pengkonsumsi berita, hal ini tak ubahnya seperti membaca berita berbungkus drama. Terkadang esensi positif hasil kerja tokoh tersebut seolah tenggelam karena kuatnya ekstrasi negatif yang coba terus dikeruk oleh lawan politik masing-masing.
Contohnya perang pendapat antara Giring Ganesha versus Anies Baswedan. Nama Anies Baswedan yang sampai muncul dua kali di survei Top of Mind capres dan cawapres di atas cukup menggambarkan tingkat popularitas Anies Baswedan di mata pemilih. Tak heran, berita seputar Anies selalu laris manis diumbar media. Ketua umum PSI Giring Ganesha, termasuk salah satu sosok yang tak lelah menyorot aspek kerja Anies Baswedan dengan gaya sinisme.
Gun Gun Heryanto, Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta dalam satu wawancara langsung dengan sebuah media TV nasional menilai bahwa perang pendapat ini adalah bagian dari manajemen konflik yang terhubung dengan pengelolaan opini publik yang dilakukan kedua belah pihak, di mana pihak PSI memberikan gaya menghentak dan labelling, sementara Anies Baswedan cenderung melakukan gaya komunikasi metafora.
Kubu PSI mengklaim bahwa kritik yang diluncurkan tersebut adalah bagian dari memberikan informasi ke masyarakat agar tidak terlena dengan pencitraan Anies Baswedan yang terlihat kalem dan santun. Kemudian label pemimping pembohong juga disematkan PSI ke Anies dalam rangka tidak memenuhi janji politik sebagai pemimpin nomor satu di DKI Jakarta. Kritik ini jelas sebuah isu yang membuat kesan negatif bagi citra personal Anies Baswedan.
Apapun isu dalam perkelahian pendapat dua kubu ini, tetap saja akan menjadi kontroversi yang menguntungkan menurut Heryanto. Dari sisi Anies Baswedan, drama perang pendapat dan labelisasi buruk ini bisa mendatangkan free ride of publicity alias publisitas cuma-cuma yang datang secara masif dari berita-berita seputar kritik terhadap dirinya. Dari sisi Giring Ganesha, ini adalah ajang bagi PSI dalam melambungkan citra partainya sebagai partainya anak muda yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan publik. Sementara bagi publik masyarakat awam, ini adalah sajian media dengan konten politik yang menyiratkan ambisi sekaligus sensasi bagi pelakonnya. Ambisi dan sensasi yang membuat publik pun bisa ikut terbawa menjadi penikmat drama politik yang akhirnya penasaran terhadap sekuel apa lagi yang akan muncul.
Dalam konteks pertarungan citra para politisi menuju Pemilu 2024, publik harus lebih cerdas dalam membaca substansi dan menilai informasi-informasi yang beredar seputar kinerja politikus yang sedang menjadi pejabat pemerintah, kebijakan-kebijakan yang ada serta aspek lain seperti psikologis ataupun agenda tertentu di luar urusan jabatan. Publik juga harus memilah muatan-muatan nilai yang diusung oleh pihak-pihak yang gemar mengkritik pejabat publik. Publik harus lebih memahami betul siapa saja sosok yang berkualitas dan siapa yang hanya menunggangi gelombang kritik agar naik demi terlihat publik.
Melihat fenomena ini semua, maka kata pencitraan tidaklah layak dimaknai untuk menggambarkan opini atau pendapat yang bertendensi negatif saja kepada politisi atau pejabat publik. Kata pencitraan untuk politisi selayaknya disematkan pula pada momen-momen di luar aksi-aksi yang terkesan merakyat. Mau terlihat merakyat atau tidak merakyat, politisi tetaplah memiliki agenda masing-masing di panggung mana pun yang dikuasainya. Entah itu agenda resmi yang terbuka bagi masyarakat ataupun agenda tersembunyi. Sebagai publik, kita terus berharap agar agenda tersembunyi itu tidak datang dari sebuah kotak pandora. Mengutip ujaran Franklin D. Roosevelt “In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.”[***]
Palembang, 22 Januari 2022
Penulis : Sari Bayurini Samudra, S.Sn., M.M.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UIN Raden Fatah Palembang