TINGKAT keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia tidak terlepas dari ragam faktor, salah satunya adalah modal yang dimilikinya. Kajian ini menjelaskan modal yang dimiliki caleg perempuan di tengah politik patriarkhi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dengan fokus analisis pada kasus Kabupaten Sleman pada 2019.
Keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD di Kabupaten ini merupakan tertinggi dibanding Kabupaten lain di Yogyakarta, yaitu sebanyak 13 kursi (26%) dari total 50 kursi. Kajian ini menemukan bahwa meski perolehan kursi perempuan tampak terus meningkat, tetapi peningkatannya tidak signifikan, karena modal caleg perempuan dikendalikan oleh politik patriarkhi melalui medan Pemilu.
Dengan menggunakan teori Bourdieu tentang modal, artikel ini berargumen bahwa modal –politik, sosial, ekonomi dan simbolik diyakini sangat penting bagi perempuan untuk terjun dalam politik, tetapi pada kenyataannya modal itu ditentukan oleh habitus politik patriarkhi dalam kesadaran caleg perempuan dalam mengarungi medan persaingan politik Pemilu yang umumnya didominasi oleh struktur kelas laki –laki.
Oleh karena itu, meski sistem politik dalam Pemilu menyediakan afirmasi bagi caleg perempuan, dalam praktiknya, dominasi habitus politik patriarki yang dikendalikan struktur kelas dalam masyarakat tidak memungkinkan caleg perempuan untuk mendapatkan suara yang lebih banyak dibanding laki-laki.
Keterwakilan Politik Perempuan di Kabupaten Sleman
Selama ini dunia politik sangat identik dengan laki-laki. Kesetaraan dan keadilan gender dalam politik dianggap masih belum optimal. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari partisipasi perempuan pada jabatan publik yang masih sangat minim. Walaupun data proyeksi pertumbuhan penduduk berjenis kelamin perempuan tahun 2018 menunjukkan angka 131,88 juta jiwa dari 265 juta jiwa penduduk Indonesia, tetapi belum sesuai dengan jumlah perempuan belum representatif di lembaga-lembaga pembuat dan pengambil keputusan politik.
Secara historis, partisipasi politik perempuan di Indonesia diketahui sangat rendah selama tiga dekade periode Orde Baru (1967- 1998) baik ditingkat Nasional maupun daerah (Robinson 2000). Berbagai hambatan struktural termasuk aturan partai politik diyakini menghalangi perempuan untuk memasuki lembaga politik. Selain itu, beragam nilai patriarkhis menghalang-halangi perempuan untuk mengambil posisi publik dan berpartisipasi dalam urusan publik. Hal ini membuat hanya sedikit perempuan yang terpilih sebagai anggota dewan dan hanya beberapa perempuan saja yang menjadi Bupati, Gubernur atau Pejabat Pemerintah di level Nasional. Peningkatan keterwakilan politik perempuan tidak hanya di Tingkat Nasional, tetapi juga di sejumlah daerah.
Hal ini salah satunya terlihat pada hasil Pemilu DPRD Kabupaten Sleman di D.I. Yogyakarta. Provinsi ini memiliki empat Kabupaten dan satu Kotamadya, yaitu Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta.
Modal Caleg Perempuan di Kabupaten Sleman dalam Pemilu 2019
Bagian ini akan menjelaskan tentang modal (capital) caleg perempuan pada Pemilu2019 di Kabupaten Sleman. Hal ini penting dijelaskan mengingat peningkatan keterwakilan politik perempuan dari Pemilu 2009, 2014, dan 2019 tidak dapat dilepaskan dari modal yang dimiliki para caleg perempuan. Bourdieu mendefinisikan modal sebagai unsur penentu posisi agen dalam medan perjuangan kekuasaan politik.
Ia menyebut adanya empat tipe modal yang idenya diambil dari lingkungan ekonomi, yakni modal budaya, sosial, ekonomi dan simbolik. Ke empat modal ini saling membutuhkan dan berkaitan, meski bukan berarti mengalami kegagalan, jika salah satu modal tersebut tidak dipenuhi. Ke empat modal ini sangat menentukan keberhasilan caleg perempuan sebagai ‘agen’ untuk dapat lolos dan berhasil menjadi anggota legislatif.
Modal Caleg Perempuan, Habitus dan Medan Patriarkhi Politik
Bagian ini akan menganalisis aspek modal caleg perempuan di DPRD Kabupaten Sleman dalam Pemilu 2019 tersebut dilihat dari perspektif teori ‘habitus’ (habitus), ‘medan’ (field) dan ‘modal’(capital) Bourdieu. Analisis ini penting untuk menjelaskan bahwa modal caleg perempuan untuk terjun di dunia politik ditentukan habitus politik patriarkhi dalam kesadaran dirinya untuk mengarungi medan persaingan politik Pemilu yang umumnya didominasi oleh struktur kelas laki-laki. Sistem patriarkhi politik dalam Pemilu merupakan medan yang membatasi caleg perempuan dalam bertindak.
Oleh sebab itu, medan politik merupakan salah satu arena pertempuran, medan perjuangan, pasar terbuka bagi para caleg. Struktur medan politik menunjang dan menunjukkan strategi-strategi yang digunakan para caleg untuk meningkatkan posisi mereka di tengah dominasi struktur kelas laki-laki. Selain itu, habitus dan medan tidak terlepas dari modal (ekonomi, budaya, sosial dan simbolik dan politik).
Jika habitus merupakan struktur kognitif dalam kesadaran individu dan kolektif, maka medan adalah suatu tipe pasar terbuka yang kompetitif tempat berbagai bentuk modal dipergunakan dan disebarkan. Tetapi, yang paling penting adalah medan kekuasaan (politik); hierarki hubungan kekuasaan di dalam medan politis membantu menstrukturkan semua medan lainnya.
Posisi berbagai agen (seperti caleg perempuan) di dalam medan itu ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif modal yang dimiliki. Para caleg perempuan di dalam medan politik menggunakan berbagai strategi. Melalui strategi itulah caleg perempaun berusaha, secara individual atau kolektif, melindungi atau memperbaiki posisi mereka.[***]
Oleh : Putri Nur Zahroh
Mahasiswa Ilmu Politik , FISIP UIN Raden Fatah Palembang