Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Metaverse, Babak Baru Komunikasi Manusia?

ist

 

 

“Nothing endures, but change,” ujar seorang filsuf Yunani kuno bernama Heracletos (540-480 SM). Heracletos telah jauh-jauh hari menuturkan bahwa sejatinya tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Hal yang konstan terjadi di kehidupan kita justru adalah perubahan itu sendiri. Kehidupan manusia semakin maju karena perubahan yang terjadi di ragam aspek hidup. Jika bisa mengerucutkan satu hal yang paling banyak merubah pola hidup umat manusia dalam berpikir, berkomunikasi, berekspresi, bersosialisasi dan atau beraktivitas apa saja, maka hal itu bernama teknologi.

Masa pandemi membuat kita makin mahir beradaptasi dengan teknologi. Kita baru saja merasa nyaman duduk di kursi kehidupan kita dengan serangkaian aturan tatanan kehidupan baru bernama era New Normal. Kita baru saja nyaman berkomunikasi dan beraktivitas melalui ragam aplikasi online. Namun kenyamanan itu sekarang sedikit terusik karena perusahaan raksasa teknologi yang menguasai dan mendominasi hampir seluruh saluran komunikasi virtual kita yakni Facebook, telah menyodorkan wacana sebuah bentuk teknologi internet terbaru bernama metaverse.

Alih-alih ingin manusia kembali berinteraksi dan beraktivitas ke dunia nyata pasca pandemi, Facebook   malah menginginkan manusia dan serangkaian elemen kehidupan nyata bisa ‘pindah’ aktivitas dan kebendaannya ke alam semesta digital yang digadang-gadang Facebook adalah dunia masa depan  yang menjanjikan. Sebuah realitas digital buatan manusia. Sebuah ekosistem maya yang makin membuat kabur batasan antara fiksi dan realita.

Sudah siapkah kita dengan munculnya dunia virtual baru bernama metaverse? Sudah siapkah kita berubah bentuk menjadi hologram di metaverse? Terdengar seperti mimpi di siang bolong, namun inilah bentuk perkembangan teknologi baru yang melampaui bayangan kita saat ini. Teknologi ini pula yang jika sudah benar-benar matang digunakan oleh miliaran manusia di muka bumi, maka sudah tentu akan mengubah cara manusia berkomunikasi di masa depan. Selamat datang di metaverse. Sebuah semesta digital tanpa batas yang mewujud dari sebuah kata ‘hiperealitas’.

Apa itu Metaverse?

Istilah metaverse telah resmi diumumkan manajemen Facebook sebagai visi masa depan perusahaan mereka bersamaan dengan peluncuran perubahan identitas baru Facebook menjadi ‘Meta’ pada Oktober 2021. Transformasi raksasa teknologi ini membawa misi baru agar metaverse bisa menjadi  tempat kehidupan digital yang holistik. Metaverse adalah tahap lanjutan dari evolusi manusia dalam melakukan koneksi sosial. Koneksi ini lebih dari sekadar berinteraksi atau mengkomunikasikan urusan pekerjaan secara virtual. Lebih dari itu, Facebook (Meta) menginginkan di masa depan, manusia menjadikan metaverse tempat bersosialisasi, belajar, bermain, berbisnis, berkolaborasi bahkan melakukan banyak hal-hal lainnya di luar jangkauan pikiran manusia saat ini. Terdengar menarik? Seperti biasa, segala hal baru bagi manusia akan terlihat menarik untuk dicoba dan dieksplorasi. Namun seperti dua sisi mata uang, wacana alam semesta digital ini pun memiliki peluang dan ancaman.

Teknologi dalam Metaverse

Facebook (Meta) dalam laman resminya mengungkapkan bahwa metaverse adalah sebuah proyek teknologi kolektif. Artinya Facebook (Meta) bukanlah satu-satunya pelaku teknologi dalam metaverse itu sendiri. Facebook (Meta) mengajak sejumlah perusahaan teknologi digital lainnya dan juga manusia di seluruh dunia untuk bersama membangun metaverse ini. Sejumlah perusahaan teknologi raksasa pun sudah menyiapkan diri untuk turut mengembangkan metaverse ini dengan serius, sebut saja Microsoft, Binance, Epic Games atau Sandbox.

Bukti bahwa Facebook (Meta) tidak main-main dengan penciptaan realitas virtual ini yakni dengan menggelontorkan dana investasi sebesar 150 juta dolar pada infrastruktur digital yang nantinya akan memudahkan penghuni metaverse berkembang dan menjadi pelaku industri yang potensial. Teknologi metaverse nantinya memungkinkan manusia melihat dan berinteraksi satu sama lain secara 5D dengan sudut pandang 360 derajat. Kita akan terkoneksi dalam metaverse seperti kita berada di dimensi lain. Jika Anda pernah menonton film lawas berjudul Matrix di mana ada adegan aktor utamanya memakai kacamata khusus berwarna hitam sambil duduk, lalu sesaat kemudian dia berada di dunia lain kemudian bertempur dengan musuh. Kira-kira seperti itulah gambaran dalam  metaverse nantinya. Orang lain melihat kita memakai perangkat teknologi virtual, namun dalam pengalaman penggunanya seolah-olah sudah berada di tempat dan suasana yang berbeda dengan kondisi nyatanya.

Metaverse memungkinkan kita seolah-olah bisa berada di tengah-tengah mall, duduk di sekolah, menjelajah hutan,  mengelilingi kota, menyusuri pantai dan tempat apapun yang kita ingin kunjungi. Metaverse memungkinkan kita berinteraksi dengan manusia-manusia lain dengan rasa yang lebih nyata karena kita bisa melihat satu sama lain secara utuh melalui avatar atau hologram diri masing-masing. Kita pun bisa berjalan dengan orang-orang lain menuju satu tempat untuk melihat pameran, mengikuti seminar, belajar dalam ruangan, olahraga, menonton konser musik, mencari hiburan atau belanja produk-produk digital.

Ragam aktivitas tersebut sangat mungkin dilakukan berkat bantuan perangkat teknologi yang canggih. Teknologi yang akan kita gunakan jika kita berada di metaverse antara lain adalah Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), Smart Glasses, Portal dan sejumlah teknologi penguasaan aset digital maupun metode pembayaran serba digital. Teknologi-teknologi tadi tentunya akan terus berkembang lebih pesat dan lebih banyak jenisnya saat metaverse sudah rampung dihuni.

Potensi Adiksi Baru Terhadap Metaverse

Melansir data dari Worldometer, ada sekitar 7,8 milyar penduduk dunia pada 2021. Jika kita gabungkan dengan data laporan ‘Digital 2021’ per Januari 2021 dari perusahaan agensi digital terkemuka di London, We Are Social dan Hootsuite, kita menemukan fakta bahwa terdapat 4,6 milyar penduduk dunia yang sudah menggunakan internet, artinya penetrasi internet terhadap populasi dunia sudah mencapai 59,5%. Sementara di Indonesia, jumlah penduduk mencapai 274 juta orang dengan penetrasi internet mencapai 73,7%  terhadap total populasi. Deretan angka ini cukup menggambarkan bagaimana  besarnya pengguna internet secara umum dari penduduk dunia global dan Indonesia.

Jika angka penggunaan internet secara umum ini masih terlalu luas untuk dikaitkan dengan metaverse, maka mari kita ketahui data jumlah pengguna aplikasi sosial tertinggi dunia. Masih dari laporan Digital 2021, 5 platform media sosial tertinggi urutan pemakaiannya secara global adalah Facebook, Youtube, Whatsapp, Facebook Messenger dan Instagram.  Sementara di Indonesia,  5 platform media sosial tertinggi pemakaiannya adalah Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook dan Twitter. Tingkat ketergantungan kita terhadap internet ini makin tinggi sejak maraknya varian-varian baru ponsel pintar yang membuat kita makin bersemangat dalam menggunakan gadget untuk urusan bermain, belajar, bekerja dan bersosialisasi. Angka manusia Indonesia yang mengakses internet melalui ponsel pintar ini mencapai 98% dengan rata-rata menghabiskan lebih dari 8 jam sehari untuk berselancar di dunia maya. Menurut data Statistica, jumlah pengguna Whatsapp di Indonesia adalah peringkat ketiga terbesar di dunia yakni 84,8 juta pengguna per Juni 2021.

Kita memang sadar dalam menggunakan segala macam aplikasi di atas untuk memudahkan hidup kita, baik belajar, bekerja, berbisnis atau sekadar mencari informasi maupun hiburan. Namun kita sering tidak sadar dengan waktu dan lingkungan sekitar saat sudah tenggelam di dalamnya. Kita menjadi canggung jika tidak membuka gadget kita dalam sehari. Kita takut melewatkan hal-hal baru dan informasi-informasi dari jejaring kerja atau sosial kita. Kita menjadi tergantung pada ponsel pintar kita dengan segala hal serta pengalaman digital yang terjadi di dalamnya. Ketergantungan inilah yang dibidik oleh raksasa teknologi Facebook (Meta).  Terdapat 4 dari 5 platform media sosial tertinggi penggunaannya tadi yang merupakan milik Facebook (Meta), sebut saja Facebook, Fb Messenger, Whatsapp, dan Instagram. Sementara Youtube adalah milik Google. Artinya, bukan tidak mungkin, saat para raksasa teknologi ini sudah bekerja sama membuat ekosistem maya ini benar-benar siap digunakan, lambat laun kita pun akan digiring untuk berada di dalam metaverse.

Dua Sisi Mata Uang di Metaverse

Digitalisasi jaman sekarang ini telah melahirkan dua hal yang kontradiktif. Sebagaimana peluang yang selalu berdampingan dengan masalah. Seperti itu juga dua sisi dalam alam semesta digital baru ini diprediksi akan terjadi hal serupa. Sisi pertama, kita pasti disuguhkan dengan potensi dan peluang yang besar bahkan tak terbatas menurut para pendiri metaverse. Banyak bisnis-bisnis baru lahir dengan perputaran uang yang sangat besar dari dunia digital ini. Bisnis yang terdengar seperti hal yang tidak serius macam bisnis gaming, ternyata membuat banyak penggunanya menghabiskan waktu dan materi saat bermain game online. Game online adalah bentuk digitalisasi hiburan yang memiliki potensi bisnis besar. Para pendiri bisnis game ini dari jauh-jauh hari sudah mempersiapkan modal dan mulai merancang infrastruktur digital bisnis gaming mereka di metaverse, sebut saja Epic Games, perusahaan di balik game terkenal Fortnite, Niantic yang memiliki Pokemon Go dan juga Roblox. Belum lagi nama-nama besar seperti Google yang akan fokus mengembangkan teknologi Google Glass lebih pesat lagi. Lalu perusahaan penguasaan aset digital seperti NFT dan Sandbox akan memungkinkan kita mempunyai aneka aset digital yang nantinya bisa kita perjualbelikan di metaverse layaknya kita menjual barang atau properti di dunia nyata.

Penjabaran potensi dan peluang ini sungguh menggoda banyak manusia untuk turut mendapatkan keuntungan di metaverse. Namun yang perlu kita ingat bahwa saat ini kita tengah berjuang keras melawan kekerasan dan kriminlisasi di era konvergensi digital ini. Konvergensi digital ini adalah percampuran peristiwa dalam kehidupan antara kondisi online dan offline. Kekerasan sudah banyak terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Jika layar 2D yang kita pakai sekarang ini saja sudah banyak membuat kekacauan di muka bumi dengan adiksi berlebihan pada permainan game online, konten pornografi, inspirasi kriminal dari konten kekerasan dan perkelahian di dunia nyata yang dipicu ujaran kebencian di dunia nyata.  Belum lagi tingginya angka kasus data scamming, phising, cyberbullying dan sederet kasus-kasus lainnya yang dipicu dari dampak buruk internet. Sesungguhnya, masih banyak lagi pekerjaan rumah umat manusia untuk mencari solusi masalah-masalah digital ini bersama-sama. Jika layar 2D saja sudah beranak masalah-masalah yang berat, apa kabar metaverse? Sudah terbayangkah kita kompleksitas masalah yang akan lahir di metaverse nanti?

Komunikasi dalam Metaverse

Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer dari Perancis pernah mengatakan bahwa semua yang nyata, kini menjadi simulasi. Menurut Baudrillard, kesadaran di kepala manusia makin lama akan makin berkurang karena tergantikan oleh kesadaran yang semu. Manusia pada kondisi ini seolah-olah berada di ambang batas ilusi dan realita, manusia seolah-olah makin sulit membedakan mana yang nyata dan yang ada di layar. Hal ini terjadi karena apa yang disajikan oleh media secara terus menerus. Media metaverse adalah media yang mewujudkan semua itu. Metaverse-lah yang akan menyajikan pengalaman yang seolah-olah sempurna penampakannya di mata khalayak berkat dukungan perangkat teknologi canggih.

Metaverse akan menyajikan dan meningkatkan tingkat pengalaman komunikasi manusia ke level berikutnya. Jika saat ini kita sudah terhibur dengan fitur video call atau terbantu oleh fitur virtual meeting karena  kita bisa saling bicara dan melihat wajah lawan bicara kita, maka metaverse akan membuat kita seolah-olah berada di ruang dan waktu yang sama dengan satu atau banyak orang sekaligus. Jika saat ini kita baru sebatas mengganti wallpaper latar kita saat meeting di Zoom untuk berganti suasana, metaverse melalui perangkat VR-nya memungkinkan kita seolah-olah langsung berada di lokasi dan suasana yang kita inginkan secara 360 derajat.

Jika metaverse telah menjadi media yang mainstream sebagaimana kita memakai Whatsapp untuk berkomunikasi dengan kolega kita, maka bisa diprediksi di masa mendatang bahwa ponsel pintar bukanlah satu-satunya gadget yang ada di tas kita. Kita mungkin akan sering membawa Google Glass atau Oculus ke mana pun. Jalur komunikasi kita akan makin bertambah. Makin banyak titik media yang harus kita perbarui dan pelihara. Makin banyak akun dan password yang harus kita ingat. Makin banyak celah-celah komunikasi yang harus kita pahami dan waspadai.

Kewaspadaan terhadap bentuk komunikasi baru ini nyatanya bukan hanya kepada diri dan data pribadi kita semata. Kewaspadaan ini akan semakin kompleks karena kita pun harus mengawasi penggunaan metaverse secara bijak untuk anggota keluarga kita yang masih anak-anak, orangtua dan mereka yang ada di lingkungan kita yang belum paham akan dua sisi mata uang dari metaverse ini. Penggunaan metaverse dari sisi individual saja memiliki banyak aspek untuk dipahami. Sebagai pengguna murni, kita pun harus waspada. Bagaimana dengan penggunaan metaverse sebagai instansi atau perusahaan? Tentunya kompleksitas kehati-hatian akan semakin menjadi-jadi. Instansi dan perusahaan yang terjun sebagai pelaku bisnis sudah pasti akan membangun kantor-kantor dan gedung-gedung maya mereka di metaverse. Bisa dibayangkan, jika di dunia nyata saja, perusahaan membutuhkan pasukan sekuriti untuk mengamankan gedung, apalagi di metaverse. Sekuriti digital untuk mengantisipasi serangan siber sudah harus disiapkan matang-matang. Cybercrime itu nyata dan tak akan pernah berhenti. Di mana ada gula, di situ ada semut. Di mana ada potensi perputaran uang dan kekayaan, di situ jelas akan ada penjahat-penjahat yang akan menggunakan cara apapun untuk mengeruk keuntungan secara instan.

Kehadiran teknologi media baru bagi manusia selaku pelaku komunikasi utama seharusnya memudahkan. Namun metaverse dengan segala kompleksitasnya membuat kita harus memikirkan dua sisi koin tersebut secara serius. Apakah benar metaverse ini memberikan kemudahan? Atau justru sebaliknya? Melelahkan? Pertanyaan ini akan terjawab seiring  kemampuan dan kebijakan kita dalam menggunakannya nanti. Semoga penjabaran metaverse ini membuka mata dan pikiran kita lebih jelas lagi bahwasanya kita, para keturunan bani Adam, saat ini sudah di gerbang perkembangan dunia hiperealitas level tinggi yang makin akan mengaburkan batasan antara fiksi dan realita. Tugas kita sekarang, mempersiapkan diri dengan pengetahuan, pengalaman dan landasan etika moral agar kita tetap bisa menjadi manusia yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang kita usung.  Walaupun  erosi moral terkadang tidak bisa kita hindarkan dari dampak disrupsi teknologi semacam ini.  Selamat ber-metaverse dengan bijak.[***]

 

Palembang, 22 Desember 2021

Ditulis oleh : Sari Bayurini Samudra, S.Sn., M.M.

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang

 

 

 

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com