SOSOK wanita senantiasa hangat untuk diperbincangkan. Kontroversi peran mereka yang paling pas dalam realitas kehidupan sering menghiasi berbagai seminar ilmiah. Terlebih di erra modern seperti sekarang ini, kaum hawa tersebut cukup banyak mengundang perbincangan seiring dengan realitas kiat meningkat aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh kaum wanita dalam kehidupan mereka.
Bahkan, kiprahnya dalam kehidupan sosial akan membantu wanita dalam pematangan kepribadian dan agar mampu melaksanakan berbagai kegiatan yang membutuhkan perannya, baik menyangkut keperluan keluarga maupun keperluan masyarakat. (Syuqqah 1995:2)
Islam telah menyelamatkan kaum wanita sejak bayi dari kejahatan kaum jahiliyah yang membunuh mereka karena takut miskin dan menanggung malu. Kaum wanita di zaman jahiliyah diwariskan seperti halnya barang dan uang. Jika suaminya meninggal dunia ia menjadi harta waris bagi anak tirinya atau famili terdekatnya.
Jika ia mau maka dikawinkan tanpa mas kawin kepada mereka (keluarganya), jika ia tidak mau maka dikawinkannya kepada orang lain (laki-laki lain) sedangkan mas kawinnya diambil sang pewaris. Jika tidak mau semuanya maka dia akan dibiarkan tergantung sebagai janda dan juga tidak sebagai isteri, dengan tujuan agar dia dapat menebus untuk kebebasan dirinya dari warisan yang diperoleh dari suami yang meninggal atau dia dibiarkan sampai meninggal dunia agar warisan harta suaminya jatuh kepada mereka (keluarganya)(Yusuf 1997:22).
Kaum wanita sangatlah mengalami kesengsaraan dan kehinaan pada zaman jahiliyah. Pada zaman itu mereka dipandang sebagai barang jualan, pemuas hawa nafsu dan lain sebagainya, bahkan jika ada seorang ibu melahirkan anak wanita, maka anak itu dibunuh atau dikubur hidup-hidup, sebab ayahnya merasa mendapatkan aib atas kelahiran anak wanita tersebut.
Jelaslah bahwa sebelum datangnya Islam di muka bumi ini wanita pada umumnya dipandang sangat hina dan tidak ada memiliki hak apa pun bagi mereka. Sejak Islam turun kemuka bumi, maka Islam pun menyelamatkan kaum wanita dari kezaliman dan ketidak adilan. Yang ketika itu wanita tidak mendapatkan bagian dari harta warisan dan bahkan ia dimasukkan sebagai harta waris (Yusuf 1997:25) Namun setelah Islam datang maka Islam melarang menjadikan wanita sebagai harta waris dan menetapkan haknya untuk mendapatkan waris dan kemudian Islam pun melarang bagi mereka untuk membunuh anak-anak mereka. Islam pun menyamakan hak Laki-laki dan Permpuan tidaka ada beda dalam kosep Islam, Sesuai dalam Firman Allah, sebagi berikut : Surat Al-Baqarah: 228, Artinya : “……Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan denga kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…..”.
Ayat diatas secara langsung telah mengangkat derajat wanita Islam dalam Hukum Islam sejak 15 abad yang lalu, yang jauh melebihi derajat wanita dalam hukum-hukum lainnya, termasuk Hukum Barat (Hukum Perdata). Dalam kehidupan ini Islam pun telah mengatur hak wanita dan laki-laki, sebab baik kaum laki-laki maupun wanita tidak terlepas dari hak dan kewajiban yang diperankannya. Dalam masalah “hak”, seseorang memilki pilihan, boleh menuntut dengan sekuat tenaga, agar haknya terpenuhi dan boleh pula tidak menuntut haknya sama sekali. Akan tetapi dalam masalah “kewajiban”, seseorang tidak memiliki pilihan lain, karena ia tidak boleh tidak harus (wajib) memenuhi atau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Oleh sebab itu, wanita diciptakan untuk ikut berbagi manis dan pahitnya kehidupan bersama pria, agar dia menjadi tempat berlindung bagi pria, serta tempat pria menyampaikan deritanya dan mengadukan kesulitan yang dihadapi dalam pekerjaan atau ketika melaksanakan tugas. Dengan kasih sayang dan kelemah-lembutan wanita, manusia dapat mengatasi semua pekerjaannya. Dengan demikian wanita adalah penasehat pertama bagi manusia, sekaligus menjadi pendidik dan tempat belajar sebelum seseorang mengenal bicara(Athibi 1998:55).
Wanitalah yang menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sifat-sifat terpuji pada diri manusia sehingga dia menjadi orang yang terpandang dan berani. Karena itu, wanita haruslah ikut serta dalam menjalani kehidupan ini baik dalam kehidupan sehari-hari (di dalam rumah tangga) maupun di dalam kehidupan bermasyarakat dimanapun dia berada, walaupun lapangan kehidupan itu lazimnya tidak terlepas dari keberadaan kaum laki-laki, bahkan kaum laki-lakilah yang menguasai mayoritas peran penting dalam masyarakat, disini pun wanita dibolehkan untuk bertukar pikiran atau berkerja sama untuk mengerjakan suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu yang baik dan benar bersama laki-laki(Syuqqah 1995:1) selama hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Jika kita umpamakan jumlah wanitah itu sama dengan jumlah laki-laki, maka separuh dari anggota masyarakat adalah wanita, hal ini tidak diragukan lagi dan wanita merupakan saudara kandung lelaki dalam menjalankan kehidupan. (Athibi 1998:85).
Oleh sebab itu, Islam satu-satunya agama yang memang mengatur kehidupan manusia dengan seadil-adilnya, begitu juga cara hidup wanita diatur begaimana mereka harus hidup dalam lingkungan masyarakat. Mereka tidaklah dilarang mengadakan perkumpulan-perkumpulan maupun pertemuan-pertemuan lainnya, yang berguna untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk masyarakat. Namun, ada yang harus diperhatikan bahwa kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan seorang wanita dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab terhadap rumah tangga dan anak-anaknya.
Penghargaan dan penghormatan Islam terhadap kaum wanita sudah sampai puncaknya, sampai-sampai Islam mengibaratkan sebagai mutiara yang masih dalam lokannya (tempurung/rumah)(Yusuf 1995:25). Ia tidak dapat dijamah dan disentuh oleh sembarang orang. Orang laki-laki yang datang mencari dan berusaha mendapatkannya, kemudian meminang dan memberikan maskawinnya, ia tidak dapat langsung menyentuhnya ketika itu sampai selesai akad. Ini dilakukan melalui jalur pernikahan yang sah (syari’) agar kehormatan dan hak-haknya terpelihara dengan baik, agar kebahagiaan dan keamanan hidupnya terjaga baik pada waktu itu ataupun pada masa depannya.
Islam yang telah mengangkat hak dan derajat wanita, yang juga haknya disamakan dengan laki-laki dalam hal-hal yang keduanya sama dalam beribadah kepada Allah SWT(Athibi 1998:85). Hal ini juga diperjelas di dalam qaidah umum dalam syari’at Islam, bahwa laki-laki dan wanita memiliki kesamaan dalam hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT(Kurnia 1999:64).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam menetapkan kaum wanita pada kedudukannya yang layak dalam tiga hal yang mendasar, yaitu:
- Bahwa Islam mengakui keberadaan kaum wanita secara penuh dan utuh sebagai- mana halnya kaum pria, dan pengakuan ini tanpa diragukan sedikit pun atau tiada seorang pun dari kalangan bangsa-bangsa yang telah memiliki peradaban menging-karinya.
- Islam memberikan keleluasaan pada kaum wanita untuk menuntut Ilmu dan mem -beri kedudukan yang terhormat dalam lapangan sosial pada berbagai tingkat kehidupannya,mulai dari masa kanak-kanak sampai akhir hayatnya. Bahkan kedudukan kedudukan terhormat ini meningkat sesuai dengan pertumbuhan usianya, sejak masa kanak-kanak sampai masa perkawinan dan sampai kedudukannya sebagai se- orang ibu, di mana masa pada tingkat usia tersebut semakin diperlukan.
- Islam memberikan kepada kaum wanita hak pemilik harta secara sempurna dalam semua hal penggunaannya, sejak mereka menginjak usia dewasa dan tidak seorang pun diperkenankan mencampuri secara paksa, baik itu oleh suaminya maupun oleh orang lain.
Oleh sebab itu banyak ditemukan sosok-sosok wanita Islam yang mempunyai peran dan berbagai aspek dalam kehidupan, baik politik maupun sosial kemasyarakatan. Namun semua itu harus disadari oleh wanita itu sendiri, bahwa kodratnya sebagai wanita, tidak boleh melakukan sesuatu dalam menjalankan haknya melebihi atau menyamai dari laki-laki, sebab Islam melarang seorang wanita menjalankan haknya melebihi batas-batasnya sebagai wanita.[***]
Oleh Kun Budianto
Wakil Dekan III Fisip & Dosen Ilmu Politik Fisip
UIN Raden Fatah Palembang