DALAM perspektif etika demokrasi, oposisi politik bisa disebut suatu aktivitas parlementarian yang sangat terhormat, dalam tingkatan demokrasi ia dapat menduduki posisi tertinggi karena sanggup mengendalikan adanya bahaya mayoritarianisme. Oposisi, bukan hanya perlawanan sikap yang menentang kebijakan saja. Lebih dari itu merupakan sekelompok masyarakat diluar pemerintah yang dapat bertindak mengontrol secara tegas terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. Untuk mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi yang konstruktif perlu adanya peran checks and balances pada pemerintah yang datang dari partai maupun masyarakat sipil (civil society). Tidak ada yang dapat menjamin bahwa pemimpin yang dihasilkan secara demokratis dapat menjalankan asas-asas dan memprioritaskan kepentingan/kedaulatan rakyat.
Amatan para pemerhati politik Indonesia kontemporer pada umumnya mengisyaratkan sebuah paradoks bahwa Indonesia adalah contoh par excellent dari fenomena ketika mekanisme demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme dapat saling mengisi atau hidup berdampingan pada saat bersamaan. Hal ini mengindikasi secara eksplisit bahwa produk kebijakan pemerintah bisa saja terbentuk karena untuk memprioritaskan keuntungan bagi para elitisme atau oligarki, bukan kebijakan yang berorientasi kepada masyarakat. Oleh karena itu oposisi memainkan peran yang fundamental bagi elemen berdemokrasi sebagai penyeimbang dan perlawanan bagi pemerintah yang tidak memihak kepada masyarkat.
Secara deskriptif oposisi menurut Frederick M. Barnard seorang ilmuan politik ialah “sebagai bentuk informal dari ketidakbersetujuan atau kontestasi di antara lembaga-lembaga pemangku kekuasaan, sementara oposisi politik adalah bentuk kontestasi yang terkait atau dijamin dalam konstitusi”. Seringkali juga ditemui interpretasi masyarakat secara umum bahwa oposisi dimaknai “berseberangan” atau dimaknai perlawanan atas sesuatu. Penulis sepakat dengan definisi yang dipaparkan oleh Kamil, S dalam buku Islam dan Demokrasi, Oposisi bukanlah sekadar sikap anti pemerintah atau asal berbeda, melainkan sebuah eksistensi yang memberikan kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisi adalah “pemihakan rasional” sebagai konsekuensi dari pelembagaan kontrol atas kekuasaan.
Esensi dari oposisi itu sendiri ialah memperjuangkan kedaulatan rakyat. Penguasa yang tak luput dari kesalahan dan keegoisan tak jarang akan menuaikan tindakan-tindakan koruptif yang berpotensi membangun dinasti atau kartel politik yang mereduksi hakikat dari demokrasi seperti mengkonstruksikan kekuasaan untuk digenggam pada satu tangan, menghalangi perbedaan pandangan, membungkam suara yang dianggap “bersebrangan”, dan yang paling destruktif adalah membangun kekuasaan yang mengarah pada tiranik atau despotik. Maka dari itu oposisi harus eksis dalam setiap lembaga untuk melawan, mengawasi dan mengontrol jalannya kebijakan-kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah terutama yang dirasa merugikan masyarakat.
Partai oposisi harus bertindak sebagai pengeras suara untuk mempresentasikan kehendak rakyat. Maka, sebagai representasi rakyat partai oposisi harus berani mengkritik dengan tegas dan keras agar pemerintah tidak sewenang-wenang melahirkan kebijakan yang diproduksi untuk kalangan yang menguntungkan mereka saja. Partai oposisi setidaknya bisa menginisiasi dan mengutarakan alternatif kebijakan lain di luar pemerintahan yang bisa disuarakan. Dengan begitu, tentu akan ada lebih banyak pilihan kebijakan atau alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah yang sudah berjalan.
Namun, jika dirasa partai oposisi tidak efektif dalam menjalankan fungsi kontrol, maka kekuatan civil society akan menjadi inisiator dalam pengaplikasian oposisi. Peran lembaga diluar parlemen, seperti organisasi mahasiswa, media massa, lembaga swadaya masyarakat, menjadi alternatif yang efektif dalam memainkan peran sebagai fungsi kontrol dan penyeimbang (checks and balances). Politik oposisi pada hakikatnya adalah suatu yang melekat didalam demokrasi, yang dipraktekan untuk menjamin demokrasi supaya tetap bekerja dan memastikan monopoli kebenaran tidak boleh terjadi. Dalam konteks negara demokrasi, pemerintah tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi maka akan cenderung mendekati pemerintahan yang otoriter.
Oposisi politik Indonesia dari sisi historis pernah tereduksi secara makna, karena rezim terdahulu berhasil mempersepsikan kepada publik bahwa oposisi itu sebagai sebuah kesalahan. Oposisi dicitrakan secara sistematis sebagai konotasi yang negatif dan dianggap terpengaruh oleh pandangan politik liberal yang pro-individualisme. Di era Orde Lama misalnya, dimana oposisi dicitrakan sebagai kontra-revolusi dan kegiatan beroposisi dianggap sebagai persuasi dari kekuatan asing. Budaya feodalistik ini mengalir ke rezim Orde Baru dimana mereka yang beroposisi dicap sebagai kelompok ekstrem, anti-Pancasila, dan anti-Pembangunan. Bahkan rezim juga tak segan-segan menggunakan aksi kekerasan untuk menundukkan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Mereka yang bersikap antipemerintah akan dituduh mengganggu jalannya pembangunan. Indonesia pada masa itu memang lebih dekat dengan istilah yang dikemukakan Guillermo O’Donnell “delegaive democracy” yaitu demokrasi hidup di tengah lemahnya pelaksanaan checks and balances. Pada era itu, oposisi tetap ada namun eksistensinya lebih terasa diluar pemerintahan dengan civil society sebagai aktor utamanya, akan tetapi kekuatannya tidak seimbang dengan pemerintah.
Harus diakui dalam realitas politik nasional bahwa peran oposisi di Indonesia hingga saat ini masih belum solid. Kuatnya sikap pragmatisme dan oportunisme dalam politik praktis akan menyebabkan mudahnya komitmen oposisi mencair atau terbeli ketika berhadapan dengan tawaran-tawaran politik yang menggiurkan. Komitmen beroposisi juga akan sulit terbentuk karena masyarakat belum cukup kuat dalam mempertahankan kemandiriannya, terutama faktor ekonomi. Dengan lemahnya independensi politik dan ekonomi maka dengan mudah sikap kritis masyarakat dan pejabat akan diredam oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Praktisi oposisi seharusnya menjadi simbol aktualisasi dari Bhineka Tunggal Ika, meskipun berbeda pendapat, berbeda pandangan, berbeda warna partai, namun tujuannya tetap satu yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia. Kekeliruan interpretasi yang diturunkan dari rezim-rezim sebelumnya harus diperbaiki dengan menanamkan spirit oposisi kepada kader partai maupun masyarakat. Parpol adalah institusi yang terkait langsung dengan pembentukan oposisi dalam pemerintahan. Sehubungan dengan parpol maka pembenahan sikap beroposisi pada prinsipnya adalah penguatan (kondisi) parpol itu sendiri, yang melibatkan tiga persoalan utama , yakni pertama, pemantapan ideologi, kedua, pelaksanaan kaderisasi, dan ketiga, kemandirian partai.
Selain kesadaran berdemokrasi, untuk menumbuhkan spirit oposisi juga perlu adanya keyakinan terhadap ideologi yang kuat. Masyarakat juga perlu didik melalui lembaga-lembaga formal maupun non formal yang edukatif serta media massa yang memuat kajian substansial dan informatif dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan politik tentang pembangunan demokrasi dan peran krusial oposisi, terutama terkait dengan hak dan kewajiban warga negara untuk berpartisipasi politik (termasuk melakukan kritik terhadap penguasa), patut menjadi agenda penting.[***]
Oleh :Ilham Rido Mahendra
Mahasiswa FISIP UIN Raden Fatah