Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Covid-19 & Defisit Malu Bangsa

Ist

SAMPAI tulisan ini dituangkan, sudah 2,3 juta jiwa penduduk Indonesia terpapar Covid-19. 1,9 juta dinyatakan sembuh dan 62 ribu diklaim meninggal. Kurang dari 1% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 271 juta jiwa.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun ikut terdampak. Defisit tak mampu dielakkan. Sri Mulyani pada 5 Juli 2021 lalu mengaku, defisit APBN di semester I ini mencapai 1,72 persen atau Rp. 283,2 Triliun, belum lagi disusul semester II sedang berjalan hingga Desember 2021 mendatang. Bahkan menurut Pardede staff khusus Menko Perekonomian hingga semester II diperkirakan akan defisit hingga 5,3% sampai 5,7%. Dia berpandangan tidak ada rumus menekan defisit di tengah pandemi.

Begitulah dampak pandemi yang melanda hampir dua tahun ini. Namun defisit APBN karena bencana dan kematian jiwa kurang dari 1% bisa dimaklumi, sunnatullah. Ada yang lebih bahaya akibat pandemi, “defisit rasa malu dalam kehidupan berbangsa”.

Pepatah Arab menyebutkan, “malu sebagian dari iman“, mengisyaratkan bahwa malu adalah tanda beriman. Malu, menjadi menjadi tanda seseorang disebut manusia bukan hewan, selain akal. Kehidupan akan hilang keseimbangannya seiring hilangnya malu pada manusia. Bencana alam maupun non alam, terjadi karena hilangnya “nyawa malu” dalam diri manusia. Tidak malu membuang sampah sembarangan, prilaku korup, rakus mengeksploitasi alam adalah beberapa contohnya.

Bangsa ini, sepeninggal para pendiri bangsa selalu mengalami defisit malu di kalangan penerus bangsa. Jika berkaca dari era kepemimpinan pendiri bangsa, betapa “surplusnya” malu saat itu. Berlomba malu jika bergelimang harta dari hasil jabatan. Bahkan ada yang tak punya rumah sepanjang hidupnya. Entah sepeninggal mereka mungkin lupa mewariskan “surplus” malu pada generasi sekarang, atau sudah diwariskan namun tidak bisa dibelanjakan di era di mana semua orang doyan belanja (konsumtif).

Defisit malu pasca Covid-19 makin meluas, bukan hanya merundung para penyelenggara negara, melainkan juga pada segenap suku bangsa. Bagaimana tidak, alih-alih mewarisi budaya malu pendiri bangsa, ditambah dengan munculnya wabah Covid-19 defisit malu bangsa menjadi semakin subur. Covid-19 sendiri seolah virus yang membuat putus urat malu.

Anak-anak kelas 2 SD tidak malu belum bisa baca tulis hitung, justru mereka senang tahu seluruh jenis game online di gawainya. Bahkan nama presiden dan wakil persiden mereka lupa.

Para mahasiswa merasa tidak mengapa jika tidak mendalami satu pun teori dasar dari program studinya. Alasan meraka sama, pandemilah mengondisikan mereka seperti ini. Sekelas “Mas Bos” pendidikan saja bisa jadi tidak malu jika mutu pendidikan Indonesia rendah saat ini, karena Covid-19 yang memaksa belajar harus dari rumah apa pun kondisinya. Tidak peduli apakah zona hijau, tidak ada jaringan internet, semua belajar dari rumah.

Dosen dan guru yang unproductive tidak sedikit berbahagia dengan kondisi ini, cukup memberi tugas lewat handphone, tatap muka daring sesekali dengan formalitas “sedada” saja yang ditangkap kamera, sementara bawahan menggunakan kolor.

Absensi pegawai berbasis internet adalah inovasi yang juga banyak disyukuri sejak pandemi, di tempat liburan bisa melakukan absensi. Bahkan baru-baru ini ada berita kepala sekolah selama satu tahun tidak pernah ngantor.

Ada juga kelompok aparat yang gegap gempita menyita sate dari pedagang kecil, bahkan sampai bahan mentah dan bumbunya disita atas nama pencegahan Covid. Apa jadinya jika akhirnya sate tersebut dimakan oleh aparat penyita secara diam-diam. Atau apa jadinya jika bahan bumbu sitaan dibawa ke rumah untuk stok dapur istri. Makin tak punya malu.

Belum lagi kesempatan korupsi dan lemahnya pengawasan di tengah perhatian publik dipaksa memerhatikan angka terpapar Covid-19 yang makin tinggi. Keran untuk korupsi terbuka lebar, sebut saja mantan Mensos yang aji mumpung saat negara menggelontorkan bansos per jiwa, sempat juga menyunat dananya. Belum lagi kucuran dana vaksinasi yang tidak mungkin bisa diaudit. Pemerintah tak malu jika gagal membangun negara dan daerah, alasannya semua harus fokus pada penanganan Covid-19.

Pada akhirnya semua keburukan yang terjadi hari ini sudah ada kambing hitamnya. Kita bisa menjadikan Covid-19 sebagai dalih pembenaran atas keburukan. Sudah tidak perlu punya malu sekarang, sudah ada Covid-19 yang mampu dan efektif menutupi malu kita. Semangatnya sama seperti anjuran menggunakan masker, alih-alih menghidari tertular. Masker juga kadang berfungsi untuk menutupi malu karena jerawat atau sariawan.

Dalam kajian George Herbert Mead (1863-1931), pencetus teori interaksionisme simbolik, yang banyak digandrungi mahasiwa komunikasi. Bahwa realitas tidak terbentuk dengan sendirinya. Realitas hadir dari hasil negosiasi dan budaya interaksi manusia dalam kehidupan sosial. Realitas yang terjadi kemudian membentuk simbol yang akhirnya akan membentuk konsep diri orang-orang yang berada dalam lingkungan sosial tersebut.

Untuk menggambarkan konsep diri seseorang atau bahkan bangsa, perspektif interaksionisme simbolik ini bisa dengan gamblang mendeskripsikan siapa kita saat ini. Secara jujur, upaya menutupi malu setelah melakukan prilaku memalukan sering terlihat dengan kasat mata, bisa kita saksikan di tengah-tengah kehidupan kita. Bisa jadi ini bagian dari pengalaman kita. Totntonan yang paling banyak adalah fenomena perebutan kepentingan.

Upaya menutupi malu, atau masa bodoh dengan malu menjadi pertanda bahwa budaya malu memang hampir punah dari bangsa ini. Kita sendiri yang membunuhnya dalam keseharian kita. Kebetulan saja ada pandemi yang selain mematikan dan merugikan anggaran, juga sebagai simbol legitimasi atas hilangnya malu bangsa ini.

Nasi sudah menjadi bubur. Hilangnya rasa malu sudah menjadi simbol dan konsep diri kita sebagai bangsa. Negara harus segera merekayasa hadirnya kembali karakter malu pada segenap suku bangsa. Bangsa ini butuh keteladanan dari penyelenggara negara, pemimpin opini dan public figure dalam rangka memperlihatkan contoh yang baik memupuk rasa malu, terutama di tengah pandemi.

Tidak mengapa anggaran kita defisit, tapi budaya malu kita surplus. Jika malu surplus, anggaran juga akan ikut surplus. Kita semua harus sadar, bahwa semangat malu adalah modal sekaligus kekuatan untuk bisa bangkit menjadi negara yang hebat. Mari sambung dan perkuat urat malu kita. Demi Indonesia maju.[***]

 

Oleh :Ahmad Muhaimin, M.Si

Dosen Ilmu Komunikasi  FISIP UIN Raden Fatah

Direktur Indonesia Public Opinion Institute

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com