SABTU sore selepas asar, matahari sudah mulai condong ke barat, angin dari sawah berhembus adem, Dua sejoli sahabat karib kampung sebelah, Wak Bek dan Mang Zenal, lagi-lagi nongkrong. Bukan di pos ronda, bukan di warung kopi, tapi kali ini mereka duduk di atas cabang pohon besar di pinggir kebon, sambil selonjoran. Katanya sih biar lebih sejuk, “nyari angin sore,” begitu alasan mereka.
Padahal mah, kalau orang waras lihat, pasti geleng-geleng kepala “Ngapain pula dua orang tua nyempil di dahan kayak burung gagak?”
“Bek, kau dengar kabar nggak dari kampung sebelah, Perum Pesona Harapan Tahap 1 itu?” buka Mang Zenal, sambil ngupil santai.
“Apo tu, Nal?” jawab Wak Bek, sambil nyender di batang, gaya kayak raja kampung.
“Itu gardu listrik di ujung blok A, dekat hutan sama bambu kuning, lah, sudah dua kali meledak, malam sabtu. Bek! Pertamo dulu, tupai meloncat dari pohon, salah sasaran, jebret kena trafo. Mati lampu se-kampung. Keduo, sabtu malam kemaren, burung hantu entah ngapain, hinggap di situ, lagi-lagi jebret, trafo meledak lagi. Jadilah orang kampung gelap gulita sampe dini hari,” jelas Mang Zenal panjang lebar, sambil gaya bak wartawan investigasi.
Wak Bek ngakak, “Astaghfirullah… tupai meleset, burung hantu kesetrum… ini mah gardu listrik bukannya alat negara, malah jadi kayak arena Hunger Games buat binatang!”
Mang Zenal pun ikut ketawa, “Iyo, Bek. Tapi kasian juga, wong pas mati lampu tu bocah-bocah pada merengek, panas. Orang tua susah tidur. Petugas PLN kerja sampe jam duo pagi, gonta-ganti trafo, ngucur peluh. Lah.. itu gardu macam magnet maut, bikin binatang nyasar semua,”
Wak Bek sambil nyeruput angin, nyeletuk, “Nal, gardu itu ibarat cowok jomblo mapan, cakep, duit banyak. Pasti banyak yang kepengin nempel. Nah, masalahnyo, kalau nempelnya salah waktu, salah cara, ye wassalam… jebreeet!”
“Bek, jangan ngawur. Itu gardu listrik, bukan duda kinyis-kinyis!” sela Mang Zenal, ngakak.
“Ealah, perumpamaan doang, intinya, gardu tu menarik, tapi berbahaya kalau nggak dijaga, pepatah bilang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama, tupai salah loncat meninggalkan mati lampu!” Wak Bek makin serius tapi gaya melawak.
“Coba bayangin, Nal. Sabtu malam jam 9.30 WIB, burung hantu salah landing, gardu jebret, lampu padam, orang kampung yang lagi asik nonton sinetron, tiba-tiba gelap. Yang lagi nge-WA gebetan, langsung lost connection.
Bahkan bocah-bocah nangis kepanasan, bapak-bapak kipas pakai koran, emak-emak ngamuk, karena masakan di magicom jadi basi. Sementara itu, petugas PLN baru bisa nyampe lokasi jam 11 malam. Kan, bukan Doraemon, yang tinggal buka pintu ajaib langsung nyampe,” ujar Wak Bek dengan gaya dramatis.
Mang Zenal mengangguk, “Iyo, Bek, orang kampung tuh kadang nggak paham. PLN tuh bukannya nggak mau cepat, tapi perbaikan butuh waktu. Wong itu trafo rusak, bukan lampu kamar yang tinggal ganti bohlam”.
Wak Bek : “Makanya, harus ada solusi, pohon-pohon sekitar gardu itu harus dipangkas, kalau nggak, binatang kayak tupai, burung, kucing, bahkan cicak pun bisa salah sasaran”
Mang Zenal: “Tapi kau tahu kan, Bek, kalau ngomongin pangkas pohon itu kayak ngomongin pangkas rambut istri. Ada aja dramanya. Kadang orang kampung bilang, ‘jangan dipangkas, sayang pohonnya, itu peninggalan kakek buyut.’ Padahal nggak dipangkas, malah bikin bahaya.”
Wak Bek: “Iyo, pepatah baru lebih baik kehilangan daun daripada kehilangan lampu!”
Lampu padam malam itu bikin suasana kayak zaman purba. Warung kopi gelap, pos ronda senyap. Bocah nangis, emak-emak kipas pakai tampah, bapak-bapak bengong di teras. “Itu kayak simulasi kiamat kecil, Nal,” Wak Bek menambahkan.
Mang Zenal: “Iyo Bek, dan yang paling menderita itu yang punya bayi. Udah panas, nyamuknya pada pesta pora. Sementara bapaknya cuman bisa ngibasin kain sarung”
Nah, Di tengah tawa-tawa mereka, ada pesan serius, bahwa listrik itu bukan sekadar lampu nyala atau kipas muter. Itu urusan kenyamanan, keamanan, bahkan nyawa. Satu gardu yang rusak bisa bikin satu kampung kelimpungan. Dan satu pohon yang nggak dipangkas bisa jadi penyebab.
Suara masuk
“Makanya, Nal, aku bilang, manusia tuh harus belajar dari tupai dan burung hantu. Jangan sampai salah loncat, jangan salah hinggap. Kalau salah, akibatnya bukan cuma buat dirinya, tapi buat satu kampung,” ujar Wak Bek dengan gaya filosofis.
Di tengah obrolan mereka, seolah ada suara masuk lewat radio tua yang dipasang Wak Bek, yakni Iwan Arissetyadhi, Manager Komunikasi & TJSL PLN UID S2JB, menyampaikan
“Terima kasih atas laporan yang disampaikan oleh masyarakat melalui PLN Mobile maupun Contact Center PLN 123. Kami terus berupaya untuk memberikan layanan terbaik dan respon cepat terhadap laporan gangguan listrik yang disampaikan oleh pelanggan”
Ia melanjutkan “Kami berharap masyarakat dapat memanfaatkan fitur-fitur layanan yang disediakan di Aplikasi PLN Mobile, untuk memudahkan pelanggan mendapatkan layanan PLN di manapun dan kapanpun. Layanan PLN semakin mudah dan nyaman”
Dan yang paling penting, katanya “diharapkan, jika ada tanam tumbuh yang dekat dengan kabel atau gardu listrik, kiranya dapat direlakan untuk dipangkas, sehingga tidak berpotensi menyebabkan gangguan listrik dan bahaya bagi keselamatan warga dan lingkungan sekitar”
Obrolan Wak Bek dan Mang Zenal sore itu berakhir dengan tawa, tapi ada yang tertinggal, pesan penting untuk semua warga. Bahwa listrik itu bukan mainan, gardu bukan tempat hinggap bebas, dan pohon yang tumbuh sembarangan bisa jadi sumber bencana.
Seperti kata Wak Bek sebelum turun dari pohon, “jangan tunggu mati lampu dulu baru sadar, lebih baik pangkas daun sekarang, daripada hidup gelap gulita kemudian. Ingat!!, listrik itu sahabat kita, tapi juga bisa jadi musuh kalau nggak dijaga”.
Dan Mang Zenal menimpali sambil nyengir “Iyo Bek, kata pepatah kampung lampu padam bikin ngamuk, lampu nyala bikin ngantuk”.
Keduanya pun turun dari cabang pohon, berjalan pulang, sambil terus cekikikan, di balik lawakan mereka, ada harapan, semoga warga makin sadar, listrik itu butuh dijaga bersama, bukan hanya urusan PLN, tapi urusan kita semua.[***]
Catatan redaksi: Tulisan ini menggunakan gaya feature-esai dengan tokoh fiksi Wak Bek dan Mang Zenal sebagai media bercerita. Dialog, kelucuan, dan perumpamaan mereka adalah fiktif, dibuat untuk menghibur sekaligus memberi pencerahan kepada pembaca. Adapun peristiwa gardu listrik meledak, dampak mati lampu di Perum Pesona Harapan, serta pernyataan resmi dari PLN adalah fakta.