Peristiwa

Sisik Berdarah dan Jaringan Gelap: Ketika Trenggiling Lebih Mahal dari Berlian Korea

ist

“Jangan karena ingin kaya mendadak, malah jadi mendadak masuk bui. Sisik trenggiling itu bukan abon, kawan. Itu nyawa bergulir pakai sisik, bukan pakai helm!”

DI negeri yang katanya kaya flora fauna ini, trenggiling rupanya harus menyamar jadi batu akik demi bisa hidup tenang. Di hutan, ia mengendap-endap, bukan karena pemalu, tapi takut kepalanya dijadikan ‘souvenir’ dan sisiknya dijual ke pasar gelap internasional yang lebih licin dari minyak rambut Rhoma Irama.

Kabar terbaru dari Balai Gakkum Jabalnusra bikin bulu kuduk kita berdiri miring. Lagi-lagi ada yang tertangkap karena main sisik ilegal, bukan sisik ular tangga atau kepik emas, tapi sisik trenggiling, si makhluk nokturnal yang kalau berjalan suaranya kayak sendok jatuh di atas seng.

Tersangka terbaru, inisial PAI (bukan PAI pelajaran agama, ya), asal Kebumen, ditahan resmi karena diduga jadi makelar trenggiling. Dari kasus ini, terkuak bahwa 165 kilogram sisik itu setara dengan mayat lebih dari 400 trenggiling dewasa, kalau ini festival, ini bukan pesta rakyat, tapi pesta pembantaian!

Coba bayangkan, 400 trenggiling. Kalau semua ngumpul, bisa bikin orkestra sisik, atau bikin komunitas pecinta tidur siang. Tapi kenyataannya, mereka dijadikan barang dagangan yang konon harganya di pasar gelap bisa lebih tinggi dari bonus gaji ke-13 PNS. Di Cina atau Vietnam, sisik ini dipercaya bisa menyembuhkan reumatik, kanker, sampai patah hati. Sementara di Indonesia, trenggiling cuma minta hidup tenang dan makan semut. Ironis bukan?

Di luar negeri, seperti di Kenya dan Nepal, pemerintahnya rela menyisihkan anggaran khusus buat pelatihan “Satwa Rangers” semacam Hansip Hutan, tapi bersertifikat dan bersenjata kamera drone.

Di sana, membunuh satu gajah bisa bikin pelakunya dihukum lebih lama dari pelaku korupsi kelas kakap. Di Indonesia? Ya… baru juga nonton YouTube tentang trenggiling, eh udah muncul DM nawarin sisik asli. Luar biasa sekali mafia digital kita ini bisa buka cabang lebih cepat dari minimarket.

Gakkum Kehutanan kita memang tidak tinggal diam, mereka sudah menyiapkan strategi ala Avengers mulai dari patroli siber, operasi lapangan, sampai kerja sama lintas lembaga dan lintas doa. Tapi, tetap saja, sindikat ini ibarat cabe rawit dalam mie instan tersembunyi, tapi pedasnya minta ampun.

Mereka bergerak diam-diam, lintas provinsi, bahkan lintas dunia, dari warung kopi ke Grogol, dari Jawa ke luar negeri. Bukan jual beli biasa, ini mafia ekosistem.

Pak Dirjen Dwi Januanto dan Kepala BKSDA Pak Didid sudah bicara lantang. Mereka bahkan menyebut bahwa kejahatan ini sudah masuk definisi organized transnational crime ala UNODC dan INTERPOL. Tapi pertanyaan kritisnya apakah jerat hukum kita cukup tajam? Jangan sampai hukum kita cuma jadi jaring bolong, pelakunya lari sambil nyanyi dangdut.

Denda Rp5 miliar dan hukuman 15 tahun penjara memang terdengar berat, tapi kalau pelakunya cuma ‘kaki tangan’, bos besarnya enteng saja kabur lewat bandara, sambil nyaru jadi penumpang travel Umrah. Inilah PR besar negara memberantas jaringan, bukan cuma mengejar pelaku eceran.

Sisik trenggiling sudah jadi seperti valuta asing bagi para kriminal nilainya naik saat manusia makin hilang empati. Sungguh miris, ketika seekor hewan yang bahkan gak bisa melawan manusia jadi sasaran empuk kerakusan.

Coba bayangkan, kalau trenggiling bisa bicara. Mungkin dia akan bilang, “Kami ini bukan suku naga. Sisik kami bukan untuk gelang mistik atau obat awet muda. Kami hanya ingin hidup dan tidur nyenyak tanpa dijadikan bahan Instagram story penyelundup”

Negeri ini katanya Nusantara, negeri sejuta flora fauna, tapi kok, satwanya dijual, hutannya dibabat, airnya dikotori. Kita seperti membiarkan keindahan berubah jadi kenangan. Dan bila tidak segera sadar, anak cucu kita nanti cuma bisa mengenal trenggiling dari gambar stiker dinding TK.

Satwa ilegal

Perdagangan satwa ilegal bukan cuma soal hukum dan ekonomi gelap, ini soal moralitas, soal siapa kita sebagai manusia.

Di saat negara lain berlomba menjaga biodiversitasnya, kita malah membabat dan menjualnya. Ingat pepatah orang tua “Jangan jual rumah hanya demi beli payung saat hujan”. Begitulah alam kalau terus kita rusak, kita juga yang akan kehujanan tanpa atap.

Kita bukan cuma butuh penegakan hukum, kita butuh gerakan budaya, mengedukasi dari sekolah dasar, dari tayangan televisi, dari ceramah Jumat, bahkan dari obrolan tongkrongan. Bahwa menyelamatkan trenggiling itu bukan kerjaan aktivis, tapi tugas semua manusia yang masih punya hati.

Trenggiling bukan pahlawan super. Dia gak bisa terbang atau punya jurus api. Tapi keberadaannya menjaga keseimbangan ekosistem. Maka, mari jadi manusia yang tidak kalah dari semut makhluk kecil yang justru dihormati trenggiling. Karena kalau kita terus rakus, mungkin besok yang punah bukan cuma trenggiling, tapi rasa malu kita sebagai manusia.

“Jangan sampai kelak kita ditertawakan anak cucu, bukan karena kita miskin, tapi karena kita terlalu pintar membunuh yang tak bisa melawan”.

Sisik bukan untuk dijual, tapi untuk dilindungi. Trenggiling bukan untuk dimakan, tapi untuk dibiarkan makan dengan tenang. Negara bukan hanya untuk dihormati, tapi untuk hadir membela yang tak bersuara.[***]

Terpopuler

To Top