DARI kaki Rinjani yang megah, setiap langkah pendaki adalah bait doa, setiap nafas adalah perjuangan. Namun di tengah medan yang menantang, alam tak selalu membalas dengan pelukan hangat. Kadang, ia menyelipkan ujian tak untuk menakut-nakuti, tapi mungkin sekadar mengingatkan bahwa manusia, betapapun kuatnya, tetap hanya tamu di rumah sang gunung.
Pada Rabu siang, 16 Juli 2025, kabar darurat menyambar seperti petir di siang bolong, seorang pendaki asal Swiss, Benedikt Emmenegger, 46 tahun, mengalami kecelakaan di jalur menuju Danau Segara Anak.
Lokasinya?, sekitar 25 menit sebelum jembatan besi yang dikenal sebagai pintu gerbang menuju lanskap surgawi. Tapi hari itu, surga di depan mata berubah menjadi ujian berat bagi tubuh dan nyawa.
Guide dan porter yang menyertainya melaporkan kondisi serius, pendarahan dan dugaan patah tulang di beberapa bagian tubuh.
Dalam istilah sehari-hari, ini bukan cuma “keseleo dikit” atau “jatuh lucu-lucuan”. Ini adalah momen di mana detik bisa berubah menjadi penghalang antara hidup dan kehilangan.
Seketika, seperti alarm di markas superhero, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) bergerak cepat. Koordinasi dilakukan dengan tim Edelweis Medical Help Center (EMHC), tim yang namanya mungkin tidak setenar tokoh film laga, tapi kerja nyatanya tidak main-main.
Dalam 5 menit setelah laporan masuk, alat evakuasi dan logistik mulai dikumpulkan, di gunung, waktu bukan sekadar angka, ia adalah harapan.
Namun Rinjani bukan trotoar kota, jalurnya menanjak, licin, dan terkadang membuat sinyal handphone seperti mantan yang susah dihubungi hilang muncul tanpa aba-aba. Dalam kondisi begitu, pertolongan pertama pun menjadi hal mewah.
Untungnya, semesta ikut membantu, seorang pengunjung dari grup lain ternyata adalah seorang dokter, seperti dalam sinetron, datangnya tak terduga, tapi perannya penting.
Ia menyarankan evakuasi udara karena membawa korban turun bisa menambah risiko pendarahan. Kata pepatah “jangan paksa jalan kaki kalau sayap sedang tersedia”
Pada pukul 12.15 WITA, BTNGR langsung berkoordinasi dengan Kantor SAR Mataram. Seperti skenario cepat dalam film aksi, Pos SAR Kayangan digerakkan.
Negeri salju
Rinjani Squad di Pos 2 pun tak tinggal diam, mereka bukan cuma sekadar “squad” dalam nama, tapi pasukan yang siap menerjang kabut, lumpur, dan keterbatasan sinyal demi satu nyawa.
Sementara itu, komunikasi dengan pihak heli (Bali Air) dimulai. Koordinasi, video lokasi, dan analisis pendaratan dilakukan. Ya, mendaratkan heli di lereng gunung bukan seperti parkir motor di minimarket. Perlu pertimbangan cuaca, angin, dan kontur tanah. Pada pukul 15.00 WITA, kabar baik datang heli akan diterbangkan, dengan catatan langit tidak ngambek.
Bila semuanya lancar, Benedikt akan langsung dibawa ke RS Nusa Medica, Bali. Asuransi pribadi telah menghubungi rumah sakit, sebuah konfirmasi bahwa sistem tidak hanya berjalan, tapi berlari.
Kisah Benedikt bukan hanya tentang evakuasi, namun bisa juga sebagai pengingat bahwa keindahan alam selalu berdampingan dengan potensi bahaya. Rinjani bukan cuma tempat selfie dan sunrise, tapi ruang sakral di mana kehidupan bisa bergantung pada tali carabiner dan keputusan dalam hitungan menit.
Benedikt datang dari negeri salju, mendaki gunung tropis, dan bertemu takdir di lereng berdebu, tapi dari peristiwa itu, kita belajar satu hal solidaritas tidak kenal paspor, dari porter, guide, dokter dadakan, hingga petugas heli semua menyatu dalam satu misi menyelamatkan.
Kata orang tua kita, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, di lereng Rinjani, pepatah itu bukan sekadar teori, ia menjelma nyata dalam bentuk gotong-royong menyelamatkan nyawa.
Kisah ini mungkin akan menjadi cerita heroik yang disampaikan di ruang tamu keluarga Benedikt nanti, atau bahkan menjadi pengingat bagi siapa pun yang ingin bersahabat dengan alam, Mendaki bukan sekadar mengejar puncak, tapi juga menghargai proses, menjaga diri, dan tak lupa memastikan kita selalu mendaki dengan persiapan, bukan hanya semangat.
Di tengah semua itu, Rinjani tetap berdiri anggun, seperti ibu yang memeluk anaknya, lalu pelan-pelan berkata “Bermainlah, tapi jangan lupa pulang dengan selamat”. [***]