DITENGAH gonjang-ganjing politik yang lebih ramai dari pasar malam dan cuaca yang sering galau antara panas dan hujan, datanglah kabar menyegarkan hati dari kaki Gunung Marapi, bukan soal utang negara yang lunas atau harga cabai turun drastis, tapi kabar bahagia dari dunia konservasi, yakni Tiga anak harimau Sumatera lahir sehat walafiat di TMSBK Bukittinggi!.
Kalau biasanya bayi manusia disambut dengan nasi kuning dan bedak dingin, anak harimau ini disambut dengan kamera wartawan, kunjungan pejabat, dan tentu saja nama yang sarat makna. Banun, Lestari, dan Rizki sebuah trio loreng yang mungkin suatu hari akan jadi influencer hutan, kalau mereka bisa selfie.
Tapi sabar, ini bukan sekadar soal lucunya anak harimau yang bikin kita pengin ngelus-ngelus layar, ini adalah kisah epik tentang cinta, luka, dan perjuangan harimau bernama Bujang Mandeh, si jantan yang harus kehilangan kaki demi selamat dari jerat pemburu, kalau kisah ini jadi sinetron, pasti menarik, judulnya “Tersandung Jerat, Terjerat Cinta”.
Bujang Mandeh ini adalah korban jebakan manusia, semacam jebakan batman, tapi jauh lebih kejam, gara-gara itu, kakinya harus diamputasi. Namun, seperti kata pepatah Minang yang dimodifikasi, “Biar kaki tinggal satu, asal hati tetap dua untuk cinta sejati”. Benar saja, cinta sejatinya datang dari Mantagi, harimau betina kelahiran TMSBK, cucu dari harimau legendaris Bancah dan Dara Jingga. Keluarga besar, kek!.
Hubungan mereka bersemi di kandang konservasi, bukan di aplikasi kencan, lalu hadirlah Banun, si sulung yang lahir Desember 2024, disusul adik kembar Lestari dan Rizki di bulan Mei 2025. Kelahiran mereka seakan menyatakan bahwa cinta di kandang, jika dibumbui perhatian medis dan program pelestarian, tetap bisa menghasilkan keturunan yang sehat dan bahagia. Tidak perlu bulan madu ke Bali atau staycation di Puncak.
Dibalik kelahiran lucu ini, kita harus jujur, konservasi itu bukan urusan sepele, ia seperti merawat jalinan benang kusut dalam kain batik, butuh ketelatenan, kesabaran, dan tentu saja anggaran yang nggak kayak dompet akhir bulan.
Menjaga spesies seperti harimau Sumatera yang statusnya sudah “Critically Endangered”. ibarat mempertahankan mantan agar balik lagi perlu usaha luar biasa, tapi kalau berhasil, bahagianya bukan main.
TMSBK Bukittinggi sendiri sudah kayak rumah sakit bersalin buat harimau, dari generasi ke generasi, mereka melahirkan harimau dengan sistem kekeluargaan yang jelas dan akte lahir yang sah. Bukan harimau ilegal yang dijual lewat Facebook dengan caption “baru lahir, jinak, cocok buat mainan anak”.
Namun kehadiran dua tokoh penting, yakni Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Hediati Soeharto, membuat acara kelahiran ini terasa seperti pernikahan bangsawan. Ada pidato, ada harapan, dan tentu saja ada dokumentasi, mungkin yang kurang cuma nasi kotak dan grup WhatsApp keluarga harimau.
Yang jelas, bukan cuma soal kelahiran hewan lucu, Tapi bukti bahwa ketika negara, lembaga konservasi, dan masyarakat bersatu seperti trio boyband, maka pelestarian itu bisa jadi konser sukses. Apalgi kita tidak sedang merawat peliharaan, tapi menjaga pusaka bangsa. Harimau Sumatera itu bukan hanya loreng-loreng lucu, tapi simbol megahnya rimba yang kian menyempit!.
Kalau boleh kasih perumpamaan, kelahiran harimau ini ibarat lampu colok di tengah pemadaman, harapan yang menyala di gelapnya tantangan konservasi. Kalau dulu harimau banyak diburu buat jimat atau dipajang sebagai karpet ruang tamu, kini anak-anaknya dirayakan lebih dari kelulusan wisuda daring.
Kelahiran Banun, Lestari, dan Rizki adalah sinyal bahwa konservasi bukan mitos, bukan angan-angan pejabat tidur siang. Ia nyata, nyata seperti rasa lapar jam 10 malam. Tapi konservasi juga tak bisa jalan sendiri. Ia butuh dukungan semua pihak dari penjaga hutan hingga anak muda yang lebih suka buka media sosial [TikTok] ketimbang baca tentang satwa liar.
Mari kita ubah itu, mari kita viralkan bukan cuma challenge joget, tapi juga kabar baik dari hutan, karena kalau harimau pun bisa move on dari jerat dan melanjutkan hidup bahagia, masak kita yang punya dua kaki lengkap masih galau ditinggal gebetan?
Doakan Banun, Lestari, dan Rizki tumbuh jadi harimau yang sehat, bahagia, dan jangan sampai stress lihat manusia makin banyak selfie di hutan, kalau bisa ngomong, mungkin mereka akan bilang, “Biarkan kami hidup damai, jangan kami pula yang disuruh jaga hutan sementara manusianya malah bikin villa,”
Harimau lahir, kita girang. Tapi jangan cuma girang di bibir. Ayo jaga rimba, jangan hanya jagain gebetan yang belum tentu balas chat!. Satu hal lagi, semoga anak-anak harimau ini tumbuh dewasa, nggak kena stres karena sering diliatin pengunjung yang selfie pakai filter kuping kelinci.
Harimau mana tahan diganggu terus-menerus, apalagi kalau ada yang teriak, “Gemesss! Lucuuu banget pengin dipeluk!”. Mbak, itu harimau lho, bukan bantal leher di travel dan buat para jomlo yang masih ngarep cinta sejati sambil nunggu keajaiban dari semesta, ingatlah bahwa bahkan harimau cacat pun bisa menemukan pasangan dan punya anak. Jadi jangan nyerah, mungkin jodohmu bukan terlambat, tapi lagi dicek KTP-nya di akhirat.
Pada akhirnya biarpun lorengnya di badan, cinta mereka sampai ke hati, biarpun kandangnya di Bukittinggi, semangatnya menggema sampai ke pelosok negeri, dan biarpun kita cuma bisa nonton dari Instagram, tetaplah kita ikut bahagia…
…karena harimau saja bisa bangkit dari luka, masa kamu terus-terusan ngarep balikan sama si mantan yang udah nikah sama orang Jakarta?
Sekian dari studio, kami pamit dulu, kalau harimau bisa tertawa, mungkin mereka juga bilang “Loreng boleh liar, tapi hati kami tetap sayang hutan!”. Sampai jumpa di kabar gembira konservasi selanjutnya, semoga bukan kelahiran kucing garong dari gang belakang. [***]