“MODAL sering dipuja-puja seperti dewa penyelamat UMK, padahal, tanpa manajemen keuangan yang rapi, modal justru bisa berubah jadi bumerang. Inilah yang coba ditegaskan Pusri dan BRI lewat pelatihan manajemen keuangan, bahwa kunci bertahan bukan di tebalnya dompet, tapi di cerdasnya mengatur arus kas”.
Karena bicara soal Usaha Mikro dan Kecil (UMK), ada satu keluhan klasik yang sering terdengar “masalahnya cuma modal, bang, kalau ada tambahan modal, usaha saya pasti melejit”. Jadi seolah-olah modal adalah satu-satunya kunci yang bisa membuka pintu kesuksesan bisnis, seperti kata pepatah, “kalau ada uang abang disayang, kalau nggak ada uang abang ditendang”.
Tapi, mari kita coba bedah pelan-pelan, benarkah kunci utama UMK hanyalah modal semata?, atau jangan-jangan yang lebih penting justru kemampuan mengelola keuangan, sesuatu yang selama ini sering disepelekan?.
Banyak pelaku UMK beranggapan tambahan modal sama dengan tambahan omzet, logikanya sederhana, modal naik, yakni stok barang banyak, penjualan meningkat dan akhirnya untung berlipat. Sayangnya, logika itu seringkali hanya indah di atas kertas, kenyataannya, modal tambahan tanpa manajemen keuangan yang baik justru bisa jadi jebakan.
Misalnya seorang pedagang gorengan, dengan modal Rp500 ribu per hari, ia bisa membeli bahan dan menghasilkan laba kecil. Ketika mendapat pinjaman modal Rp5 juta, apa yang terjadi?.
Sebagian digunakan untuk beli peralatan baru, sebagian lagi malah dipakai untuk kebutuhan pribadi, yakni bayar utang, belanja rumah tangga, atau bahkan beli ponsel baru. Lalu di akhir bulan, arus kas kacau, utang menumpuk, laporan nggak jelas. Usaha pun bukan tambah maju, malah bisa mandek.
Inilah yang disebut sebagai mitos modal, modal memang penting, tapi bukan segala-galanya, tanpa manajemen yang disiplin, modal justru berubah jadi beban.
Ada pepatah bisnis modern yang mengatakan “What gets measured, gets managed”, artinya, apa yang dicatat, itulah yang bisa dikendalikan. Sayangnya, banyak UMK di Indonesia masih mengandalkan ingatan, transaksi harian dicatat di kepala, keuntungan dihitung kira-kira, bahkan kadang modal bercampur dengan uang belanja dapur.
Padahal, pencatatan keuangan sederhana bisa jadi pondasi kokoh, tidak perlu serumit laporan keuangan perusahaan besar, cukup mulai dengan tiga hal, antara lain catat pemasukan harian, catat pengeluaran, termasuk yang kecil-kecil dan bedakan uang pribadi dengan uang usaha. Sekecil apapun usaha, pencatatan ini pentin, karena uang bisa hilang tanpa jejak, tapi catatan akan selalu menjadi pengingat.
Laporan keuangan bukan hanya soal rapih-rapihan, ia adalah bahasa universal dalam dunia bisnis, bank, investor, hingga mitra usaha semuanya melihat laporan ini sebagai bukti kesehatan bisnis.
Tanpa laporan keuangan, UMK sering dianggap berisiko tinggi, akibatnya, sulit mendapat pembiayaan dari bank, kalaupun dapat, seringkali bunganya tinggi karena dianggap rawan gagal bayar.
Sebaliknya, UMK yang punya catatan arus kas jelas akan lebih mudah dipercaya. Bank bisa menilai kemampuan bayar, investor bisa melihat potensi, dan mitra bisa yakin untuk bekerja sama, dengan kata lain, laporan keuangan adalah paspor yang membuka jalan UMK ke pasar yang lebih besar.
Di sinilah menariknya inisiatif PT Pusri Palembang dan Bank BRI yang menggelar pelatihan manajemen keuangan untuk mitra binaan UMK. Acara ini tidak sekadar formalitas, tapi benar-benar menyasar akar persoalan literasi keuangan.
Peserta dilatih membuat laporan keuangan sederhana, belajar membedakan arus kas masuk dan keluar, hingga diajari cara menyiapkan laporan yang bisa digunakan mengajukan pinjaman. Bagi sebagian UMK, pengalaman ini ibarat mendapatkan kaca mata baru untuk melihat usahanya lebih jelas.
Mereka jadi paham, selama ini usaha mereka mungkin berjalan, tapi tanpa catatan yang rapi, ibarat naik perahu tanpa kompas. Bisa saja sampai tujuan, tapi resiko tersesat lebih besar.
Alasan klasik
Ada beberapa alasan klasik kenapa UMK sering enggan membuat laporan keuangan, seperti ribet, mereka merasa mencatat itu buang-buang waktu, tidak paham, ada anggapan bahwa laporan keuangan hanya untuk perusahaan besar, dan takut ketahuan. Beberapa pelaku usaha merasa nyaman dengan uang bercampur-campur, karena bisa dengan mudah mengambil untuk kebutuhan lain.
Padahal, laporan keuangan justru melindungi mereka sendiri, seperti cermin yang jujur, catatan akan memperlihatkan apakah usaha benar-benar untung atau sekadar ramai transaksi tapi bocor di sana-sini.
Kalau kita rangkum, modal memang penting, tapi modal tanpa catatan bagaikan mengisi air ke ember bocor. Sebanyak apapun air dituangkan, tetap akan habis. Sebaliknya, catatan keuangan yang rapi bisa menambal kebocoran itu, dengan manajemen keuangan yang baik, tambahan modal akan benar-benar bekerja sesuai fungsinya: memperbesar usaha, bukan menambah masalah.
UMK di Indonesia punya potensi luar biasa, mereka adalah tulang punggung ekonomi rakyat, menyerap tenaga kerja, dan menopang konsumsi masyarakat, namun, potensi itu sering terhambat oleh mitos modal.
Banyak yang percaya modal adalah segalanya, padahal kunci keberlanjutan justru terletak pada manajemen keuangan. Pencatatan sederhana bisa membuat usaha lebih transparan, memudahkan akses ke pembiayaan, dan meningkatkan daya saing.
Inisiatif seperti yang dilakukan PT Pusri Palembang dan BRI patut diapresiasi, literasi keuangan harus menjadi agenda utama, bukan hanya tambahan, karena tanpa laporan keuangan, UMK akan terus berjalan di jalan gelap penuh risiko.
Akhirnya, mari kita akui bersama, modal itu penting, tapi bukan segala-galanya, modal ibarat bensin, sementara catatan keuangan adalah peta jalan, karena bensin tanpa peta bisa membuat kita berputar-putar tanpa arah.
Bagi UMK, langkah sederhana seperti menulis pemasukan dan pengeluaran setiap hari bisa jadi pintu besar menuju masa depan. Ingat pepatah “Apa yang tidak dicatat, hilang”, jangan sampai usaha kita hilang hanya karena malas mencatat. Jadi, sebelum berteriak minta tambahan modal, mari tanyakan dulu, sudahkah kita benar-benar mengelola uang yang ada?.[***]