PASAR modal Indonesia sudah 48 tahun usianya, inilah ironinya, hampir setengah abad seharusnya udah masuk fase mapan, punya rumah, anak kuliah, dan tabungan aman di bank. Tapi kenyataannya? Masih banyak masyarakat bingung cara beli saham, salah paham bedain reksa dana sama dana darurat, bahkan ada yang lebih paham harga skin Mobile Legends ketimbang harga saham BRI.
Nah, kira-kira begitu kondisi pasar modal Indonesia, “Diaktifkan kembali” sejak 1977, tapi sampai 2025 ini, literasi keuangan masyarakat kita masih bisa dibilang payah.
Ibarat ikut arisan RT, masih banyak yang bingung, “Ini arisan buat tabungan apa buat modal belanja?”. Apalagi kalau udah ngomongin saham, reksa dana, atau kripto, jangan-jangan yang kita beli bukan saham, tapi malah token parkir Indomaret.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sadar banget masalah ini, makanya mereka bareng Bursa Efek Indonesia (BEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) bikin acara Sosialisasi dan Edukasi Pasar Modal Terpadu (SEPMT) 2025 di Samarinda. Tujuannya? Ya biar anak muda, santri, sampai pengusaha lokal di Kalimantan Timur nggak bingung lagi bedain antara trading sama trending.
Mari kita jujur, setelah 48 tahun, jumlah investor Indonesia memang naik drastis, dari yang dulu cuma ribuan, sekarang sudah belasan juta. Tapi, coba cek data, mayoritas masih investor pemula yang baru buka rekening tapi nggak tahu mau ngapain.
Ibarat punya treadmill di rumah, tapi dipake cuma buat jemuran, semangat di awal, tapi nggak ngerti cara manfaatinnya.
Inilah PR besar pasar modal kita literasi finansial nggak secepat pertumbuhan jumlah investor. Banyak yang buka akun saham gara-gara ikut tren, bukan karena paham risiko. Bahasa kerennya Fear of Public Opinion (FOPO) alias, kalau teman kos bilang saham A lagi naik, ya ikut beli. Hasilnya? bukannya cuan, malah ambyar.
Di Universitas Mulawarman, Kepala Eksekutif OJK, Hasan Fawzi, langsung kasih wejangan ke ratusan mahasiswa. katanya, literasi itu modal utama sebelum berinvestasi.
“Kalau mau beli saham jangan cuma ikut-ikutan. Kenali dulu produknya, pahami risikonya, dan jangan terjebak FOPO,” ujarnya dalam rilis resmi dilaman data.ojk.go.id, kamis (11/9/2025).
Pesan ini sederhana, tapi dalem, sama kayak pesan ibu waktu kita mau nikah, “Jangan cuma lihat cantiknya, nak. Kenali juga keluarganya.” Nah, dalam investasi pun gitu. Jangan cuma lihat grafiknya hijau, tapi cek dulu perusahaan di baliknya.
Hasan juga ngasih contoh kalau sudah paham saham, jangan langsung loncat ke kripto tanpa belajar. Ibaratnya, baru bisa naik sepeda ontel, langsung mau balapan MotoGP.
Banyak anak muda yang kejebak karena mikir kripto itu jalan pintas jadi sultan, padahal kenyataannya, lebih banyak yang jadi “korban chart merah” ketimbang “crazy rich dadakan”.
Di sinilah literasi penting, bukan berarti dilarang investasi, tapi jangan nyemplung ke kolam dalam kalau baru bisa berenang gaya batu.
Menariknya, SEPMT ini nggak cuma nyasar mahasiswa, ada juga sosialisasi pasar modal syariah buat ratusan santri. Edukasi tentang saham syariah, reksa dana syariah, sampai perlindungan aset sesuai prinsip halal.
Lucunya, bayangin santri yang biasanya ngaji kitab kuning, sekarang ikut coaching clinic IPO, dari “jual kitab” bisa jadi “jual saham”. Keren kan?
Ini menunjukkan bahwa pasar modal bukan lagi milik “orang kota” atau “orang kaya”, tapi bisa diakses siapa saja. Termasuk anak pesantren di Samarinda.
Selain mahasiswa dan santri, OJK juga ngajak perusahaan lokal di Kaltim buat go public. Pesannya jelas IPO itu bukan cuma cari modal, tapi juga reputasi dan keberlanjutan bisnis.
Ibarat nikah resmi di KUA, bukan cuma legalitas, tapi juga bentuk komitmen jangka panjang. Jadi, kalau perusahaan lokal mau lebih besar, pasar modal bisa jadi jalan tol buat ekspansi.
Apalagi, Kalimantan Timur sekarang jadi spotlight karena ada proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Bayangin kalau perusahaan lokal bisa IPO, reputasi mereka bisa melesat, bukan cuma di Samarinda, tapi se-Indonesia.
Nah, balik lagi ke pertanyaan utama, kenapa sudah 48 tahun, literasi pasar modal masih rendah? jawabnya mungkin mindset masyarakat masih konsumtif, banyak orang lebih suka beli iPhone kredit daripada investasi di saham, kurangnya edukasi sejak dini.
Mata pelajaran keuangan di sekolah masih sebatas “cara hitung bunga tabungan”, belum sampai “cara pilih saham bluechip”, citra pasar modal masih elit.Banyak yang mikir main saham itu buat orang kaya, padahal sekarang modal Rp100 ribu pun bisa beli. Fenomena FOMO dan FOPO, banyak investor pemula yang lebih percaya grup WhatsApp daripada riset resmi.
Dari Samarinda, ada satu pesan moral penting, investasi itu bukan sprint, tapi marathon. Nggak ada jalan pintas jadi kaya, semua butuh proses belajar, trial-error, dan kesabaran.
Ibarat masak mie instan, kalau airnya belum mendidih, jangan maksain masukin mie. Ntar malah setengah matang dan rasanya aneh. Begitu juga dengan investasi, kalau belum matang literasi, jangan maksa masuk pasar modal.
Setelah 48 tahun, pasar modal Indonesia memang tumbuh pesat, tapi literasi masih jadi pekerjaan rumah besar. OJK lewat SEPMT di Samarinda sudah ambil langkah serius, dari mahasiswa, santri, sampai pengusaha lokal semua diajak melek investasi.
Tapi, tugas ini nggak bisa ditanggung OJK sendirian, butuh dukungan kampus, pesantren, media, dan tentu saja kita semua, karena di era digital ini, literasi finansial bukan sekadar tahu cara cuan, tapi juga cara melindungi diri dari jebakan tren dan investasi bodong.
Jadi, kalau ditanya lagi “48 Tahun Pasar Modal RI, Literasi Investasi Masih Payah?”. Jawabannya, iya, tapi masih bisa diperbaiki asal kita mau belajar.
Dan ingat, kalau mau investasi, jangan cuma karena kata tetangga atau grup WA, karena, seperti kata pepatah modern “Lebih baik ketinggalan cuan daripada nyemplung rugi berjamaah”.[***]