SEBUAH ruangan sederhana namun hangat di Balai Kota Palembang, udara bukan hanya berisi oksigen dan debu gedung pemerintahan, tapi juga harapan. Harapan yang dibawa oleh sekelompok orang luar biasa, Komunitas Disabilitas Palembang.
Selasa kemarin, mereka datang bukan untuk meminta belas kasihan, bukan pula mengeluh, tapi untuk menyampaikan bahwa mereka siap tampil, bersuara, dan berkontribusi. Mereka datang dengan senyum dan rencana, bukan tangis dan tuntutan.
Ketika Ketua Pelaksana Komunitas Disabilitas, Kinan, menyampaikan rencana memperingati Hari Anak Nasional 28 Juli mendatang dengan talk show dan pentas seni dari siswa-siswi SLB, udara mendadak penuh semangat.
Seolah setiap kata Kinan adalah angin segar yang meniup debu diskriminasi yang diam-diam masih menempel di sudut-sudut sosial kita.
“Alhamdulillah, sudah ada sekitar 50 anggota yang tergabung dalam komunitas disabilitas, kami ingin terus tumbuh dan solid sebagai keluarga besar yang saling mendukung,” ujar Kinan.
Ia tak meminta jalan dibuka dengan karpet merah. Ia hanya minta agar tak ditutup pakai palang pintu bernama stigma.
Wali Kota Palembang Ratu Dewa merespons dengan hangat, bahkan tegas, “Tidak boleh ada perbedaan, semua warga, termasuk disabilitas, harus diberi kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi positif bagi kota ini”.
Kalimat itu bukan sekadar bumbu pidato, ia adalah pupuk yang ditabur ke tanah keadilan sosial. Jika benar-benar disiram dan dirawat, kelak akan tumbuh pohon besar bernama inklusi. Namun tentu kita tahu, pohon tak bisa tumbuh hanya dengan niat baik. Ia butuh aksi nyata, terukur, dan berkelanjutan.
Karena kesetaraan tak boleh jadi program musiman seperti diskon Lebaran, ia harus jadi bagian dari sistem, dari napas kebijakan, dari cara kita membangun kota dan menghitung anggaran.
Anak-anak difabel bukan anak-anak yang “kurang beruntung”, mereka hanya diberi medan tempur yang berbeda. Kalau yang satu berlari di aspal, mereka mungkin harus melompat di kerikil. Tapi siapa bilang mereka tidak bisa sampai ke garis akhir?
Jika Palembang membangun pusat terapi multifungsi seperti yang dilakukan di Nagoya, Jepang, yang memadukan taman kota dengan ruang sensorik untuk anak-anak disabilitas. Atau contoh dari Bandung, yang mulai menggandeng startup digital untuk membuka pelatihan kerja bagi remaja autistik.
Bahkan di Kopenhagen, Denmark, para difabel diundang langsung menjadi pengelola museum seni interaktif karena mereka punya kepekaan visual dan sensorik yang luar biasa. Anak-anak ini bukan untuk dikasihani, mereka untuk diajak berkolaborasi.
Orang tua kita bilang, “Tak ada rotan, akar pun jadi”, tapi hari ini, anak-anak difabel membuktikan “Tak punya rotan pun kami bisa menari di atas akar, bahkan membuat musik dari batangnya”
Semangat mereka seperti pelita kecil yang tak pernah padam meski ditiup badai. Di balik keterbatasan gerak, tersembunyi kelenturan semangat. Di balik keterbatasan bicara, terdengar bahasa jiwa yang nyaring.
Dalam talk show yang akan mereka adakan nanti, akan hadir para terapis dan tenaga ahli. Tapi percayalah, guru terbesar yang akan kita temui di sana bukanlah mereka yang berseragam atau berlisensi. Guru terbesar adalah anak-anak difabel itu sendiri, yang mengajari kita bahwa makna hidup tak selalu bisa dijelaskan oleh logika, tapi oleh rasa.
Kata bijak
Kata bijak dari para tokoh bisa jadi inspirasi dari mereka yang pernah dikecilkan dunia, dalam semangat memperjuangkan ruang setara, kita bisa menengok teladan dari tiga tokoh dunia yang justru bersinar dari balik keterbatasan.
Seorang perempuan buta dan tuli bernama Helen Keller pernah berkata, “Alone we can do so little; together we can do so much.”
Kalimat ini bukan sekadar kutipan manis tapi testimoni hidup, Helen, yang lulus kuliah di Radcliffe College pada tahun 1904 dan menjadi simbol perjuangan difabel di Amerika, tak pernah menulis kisahnya sebagai drama.
Ia menuliskannya sebagai perjuangan kolektif bahwa kekuatan sejati lahir saat kita saling menggenggam, bukan saat kita berdiri sendiri-sendiri di podium.
Kemudian, di belahan dunia lain, Stephen Hawking, ilmuwan legendaris yang hidup dengan ALS, suatu kondisi yang membuatnya nyaris lumpuh total, mengingatkan kita dalam pidatonya di Oxford Union tahun 2016. “However difficult life may seem, there is always something you can do and succeed at”.
Hawking bukan hanya membuktikan bahwa pikiran tak bisa dikurung oleh tubuh, tapi juga bahwa semangat tak mengenal ruang isolasi.
Kalimat itu layak kita bawa ke setiap ruang kelas SLB, ke setiap taman kota, ke setiap meja perencana anggaran daerah. Sebab anak-anak difabel bukan menunggu dikasihani, tapi diberi kesempatan yang layak untuk sukses apa pun bentuk suksesnya.
Di tanah kita sendiri, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berujar, “Tidak penting apapun agama atau sukumu… kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. (Sumber: Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 2006)
Kita bisa tambahkan, barangkali Gus Dur tak keberatan, bahwa tak penting juga apakah seseorang berjalan dengan kaki atau dengan kursi roda, melihat dengan mata atau dengan hati. Jika mereka bisa membawa cahaya bagi lingkungannya, mereka layak jadi pemimpin, seniman, guru, dan warga utama di kota ini.
Agar ini bukan sekadar seremoni, ada beberapa hal yang bisa dilakukan bangun ruang aktivitas bersama di taman kota yang ramah disabilitas, bukan hanya akses kursi roda, tapi juga tempat ekspresi, libatkan komunitas difabel dalam perencanaan kota bukan hanya jadi objek, tapi subjek.
Serta anggarkan dana tahunan tetap untuk kegiatan kesetaraan, jangan tergantung pada proposal hibah atau belas kasihan CSR. Mereka bukan ingin jadi sorotan kamera, mereka hanya ingin tak ditinggal lampu. Ingin menyanyi dengan suara sendiri, bukan suara sumbangan orang lain. Mereka tak menuntut langit di tangan, hanya ingin bumi tak menolaknya berdiri.
Jangan biarkan Hari Anak Nasional jadi sekadar agenda kalender yang lewat begitu saja seperti obral baju musim panas. Biarkan hari itu menjadi panggung nyata, bukan hanya literal tapi spiritual, di mana semua anak, tanpa kecuali, boleh berdiri, bernyanyi, dan menari.
Karena setiap anak adalah bintang, dan tidak semua bintang bersinar dengan cara yang sama.[***]