COBA bayangkan suasana jam istirahat di sebuah madrasah, anak-anak sudah berbaris rapi, perut keroncongan seperti orkes dangdut yang belum dibayar honor. Begitu tukang masak membuka penutup rantang, aroma ikan goreng dan sayur asem langsung menyeruak. Dalam sekejap, kantin madrasah itu berubah jadi konser Coldplay versi lokal, ramai, heboh, tapi tetap kompak. Semua siswa entah yang anak pejabat atau anak pedagang sayur duduk berjejer, makan menu yang sama. Tidak ada yang pamer bekal sosis impor, tidak ada yang minder cuma bawa tempe goreng. Inilah momen makan bersama yang diam-diam menyelipkan pelajaran sosial dan pendidikan karakter lebih tajam daripada selembar LKS.
Di sinilah menariknya program Makan Bergizi Gratis (MBG), awalnya kelihatan cuma soal nasi, lauk, sayur, buah, dan susu. Tapi kalau kita tengok lebih dalam, ia bukan sekadar urusan perut. Ada kurikulum sosial yang sedang dimasak di panci besar itu soal empati, kebersamaan, kesetaraan, hingga pelajaran psikologi sederhana tentang bagaimana makanan bisa jadi alat mengikis rasa minder.
Kalau biasanya anak sekolah suka saling intip bekal, “eh, bekal kamu nugget, aku cuma tempe orek nih”,kini semua sama rata. Anak yang biasanya merasa “kelas dua” jadi bisa duduk sejajar. Anak yang suka pamer jadi sadar di meja makan bersama, status sosial dilipat tipis-tipis seperti daun pisang.
Dalam psikologi sosial, kesetaraan kecil semacam ini bisa menumbuhkan rasa belonging, coba seandainya juga, dari satu piring nasi, anak-anak belajar bahwa perbedaan itu bisa diredam dengan kebersamaan. Mereka tidak lagi membandingkan isi kotak bekal, tapi malah saling bercanda soal siapa yang bisa makan sayur paling cepat.
Lucunya, momen ini juga jadi arena latihan kesabaran. Anak yang biasanya suka nyalip antrian, dipaksa untuk antre rapi. Anak yang sering rewel soal makanan, belajar menerima menu yang ada. Itu lebih efektif daripada ceramah motivator di YouTube.
Kalau boleh jujur, pendidikan karakter sering kali hanya berhenti di poster dinding kelas. Ada slogan “Jangan Buang Sampah Sembarangan” tapi di bawahnya berserakan bungkus ciki. Ada spanduk “Budayakan Antri” tapi di kantin malah rebutan gorengan.
Nah, melalui Makan Bergizi Gratis di Madrasah, pendidikan karakter turun kelas langsung ke meja makan. Anak-anak belajar akhlak bukan dari ceramah, tapi dari sendok dan garpu. Mereka belajar, yakni Disiplin, karena ada jadwal makan dan aturan antre, empati, karena semua makan sama, tak ada yang lebih tinggi atau rendah, syukur karena makanan tersedia gratis, sehat, dan halal dan terakhir anti mubazir, karena kalau buang makanan, temannya langsung nyindir “Laper katanya, kok nggak diabisin?”
Lebih lucu lagi, momen ini juga melatih diplomasi ala menteri luar negeri. Ada anak yang nggak suka sayur, lalu negosiasi barter dengan temannya “Gue kasih ayam, lu kasih wortel”, dari barter wortel-ayam itulah lahir bibit-bibit negosiator ulung masa depan.
Kalau sekolah biasanya jadi tempat hafalan rumus, madrasah dengan MBG ini berubah jadi laboratorium sosial. Di sinilah lahir pelajaran tanpa papan tulis bagaimana makan bisa menyatukan. Bahkan Plato pun dulu sering mengajar muridnya sambil makan bersama, karena meja makan dianggap tempat paling manusiawi untuk berdiskusi.
Dalam konteks Indonesia, makan bersama adalah warisan budaya, dari kenduri kampung sampai acara tahlilan, semua berpusat di meja makan. Kini madrasah menghidupkan kembali tradisi itu dalam bentuk modern. Anak-anak tak sekadar makan, tapi membangun solidaritas, mengikis kesenjangan sosial, dan menanam benih karakter sejak dini.
Psikologi
Psikologi perkembangan anak bilang pengalaman sosial di usia sekolah sangat menentukan kepribadian saat dewasa. Kalau sejak kecil sudah terbiasa duduk sejajar, makan sama, berbagi tawa tanpa minder, besar kemungkinan anak-anak ini akan tumbuh jadi generasi yang lebih inklusif dan rendah hati.
Bandingkan dengan anak yang dari kecil terbiasa membeda-bedakan teman karena isi kotak bekalnya. Nanti dewasa bisa jadi pejabat yang hobi pamer mobil dinas atau artis yang suka flexing saldo rekening.
Artinya, makan bersama di madrasah bukan sekadar program gizi, tapi investasi karakter bangsa.
Program Makan Bergizi Gratis di Madrasah memang terdengar sederhana. Tapi dari nasi sepiring itu, lahir nilai yang mahal, kesetaraan, kebersamaan, dan rasa syukur.
Makan bersama menutup celah kesenjangan sosial di bangku sekolah, anak-anak yang dulu mungkin malu karena bekalnya sederhana, kini bisa duduk sejajar, anak-anak yang biasanya pamer, kini belajar rendah hati.
Pemerintah dan madrasah jangan hanya berhenti di urusan logistik makanan. Jadikan program Makan Bergizi Gratis sebagai pintu masuk untuk kampanye lebih besar Gerakan Pendidikan Karakter Nasional. Guru bisa mengaitkan momen makan bersama dengan nilai-nilai agama, sosial, bahkan sains (misalnya bahas gizi dan nutrisi).
Kalau mau jujur, bangsa ini sudah kenyang dengan teori pendidikan karakter, yang kurang adalah praktik nyata. Dan meja makan madrasah, dengan sepiring nasi dan segelas susu, bisa jadi awal revolusi sosial yang ramah, lucu, tapi berdampak besar.
Pada akhirnya, siapa sangka pendidikan karakter tidak melulu butuh kurikulum tebal, tapi cukup dimulai dari nasi sepiring yang disantap bersama sehingga dari situlah lahir solidaritas, empati, dan generasi yang lebih sehat jasmani dan rohan.[***]