GIMANA rasanya kalau ada anak kampung di Muba yang biasanya cuma main layangan di kebun sawit, eh tiba-tiba bisa makan sushi langsung di Tokyo? Dari ngopi di warung kopi dekat simpang tiga, sekarang ngopi latte di Shinjuku. Nah, inilah kira-kira inti dari program magang ke Jepang yang lagi digencarkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Musi Banyuasin (Disnakertrans Muba).
Karena program ini bukan sekadar pasang baliho biar keliatan keren di pinggir jalan, tapi betulan jalan. Anak muda Muba, yang selama ini identik dengan karet, sawit, dan minyak, sekarang dikasih peluang buat nyicipin kerja, belajar, dan hidup di Negeri Sakura, bahasa kerennya level up karier.
Brosur yang dibagikan Disnakertrans Muba menyebut jelas syarat-syarat buat ikut program ini, mulai dari umur minimal 18 tahun, maksimal 25 tahun, tinggi badan mesti standar, gigi jangan ompong (apalagi kalau gigi palsu harus permanen), sampai syarat kesehatan kayak mata nggak boleh minus.
Kalau baca daftar syaratnya, seolah-olah Jepang itu lagi milih pemain untuk tim robot Gundam. Tapi logis juga, wong mereka nyari tenaga kerja yang siap tempur, sehat jasmani rohani, biar nggak pingsan pas disuruh kerja presisi.
Lucunya, ada syarat foto keluarga dengan latar rumah, bukan cuma depan rumah, tapi juga serong kanan, serong kiri, sampai dalam ruang tamu. Kayak audisi lomba home tour saja. Tapi maknanya dalam, yakni Jepang pengen lihat latar belakang peserta, bukan sekadar ijazah. Mereka percaya rumah adalah cermin karakter, jadi, kalau rumahmu penuh kalender arisan RT, ya siap-siap aja jadi bahan cerita.
Satu hal penting yang selalu ditekankan Disnakertrans Muba tidak pernah memungut biaya sepeser pun, artinya, kalau ada calo yang tiba-tiba datang bilang, “Mau cepat berangkat ke Jepang? Transfer dulu lima juta,” langsung kasih tanda silang besar-besar. Jangan sampai semangat ke Jepang berubah jadi semangat nyicil utang pinjol gara-gara ditipu.
Pemerintah Kabupaten Muba sadar betul, peluang emas kayak gini rawan dimanfaatkan oknum, oleh sebab itu, brosurnya menegaskan awas modus penipuan, gratis ya gratis, yang keluar cuma keringat waktu belajar bahasa Jepang dan latihan fisik.
Peserta yang lolos nanti bakal dibekali bukan cuma bahasa Jepang, tapi juga mentalitas kerja ala Jepang, orang Jepang terkenal dengan budaya disiplin, tepat waktu, dan kerja keras, jadi, kalau biasanya di Muba jam karet itu biasa, di Jepang jam karet bisa jadi musibah. Bayangkan kalau disuruh masuk jam 08.00, kita datang jam 08.15 sambil bilang, “Santai, pak, masih seger”. Wah…, bisa langsung pulang kampung.
Disiplin ala Jepang itu memang keras, tapi di situlah nilai tambahnya, karena anak-anak Muba yang terbiasa dengan budaya gotong royong, ditambah disiplin Jepang, bisa jadi SDM kelas dunia. Perpaduan yang mantap, ramah khas orang Sekayu, plus disiplin khas samurai.
Menurut Herryandi Sinulingga, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Muba, program ini ibarat “menanam padi di dua lahan sekaligus”. Beliau bilang kalau kita menanam padi di sawah, rumput ikut tumbuh, tapi kalau kita menanam rumput, jangan harap padi ikut tumbuh.
Begitu pula katanya, dengan program magang ini anak-anak kita ditanam di lahan ilmu, pengalaman, dan budaya disiplin Jepang, maka hasilnya bukan cuma keterampilan, tapi juga mental tangguh.
Jangan sampai kita hanya sibuk mengejar uang tanpa bekal kemampuan, karena ibarat air di tempayanhabis sekali seruput. Yang penting adalah bekal ilmu dan karakter, itu yang akan jadi sumur tak pernah kering”
Kalimat itu bukan sekadar jargon, yang jelas ada pesan moral yang dalam kerja ke Jepang bukan cuma soal gaji, tapi soal investasi masa depan.
Oleh sebab itu, buat anak muda Muba, setidaknya program ini bisa jadi batu loncatan, coba pikir pulang kampung setelah tiga tahun di Jepang, bahasanya Jepang lancar, keterampilan teknik meningkat, mental baja, dan tabungan menggunung, setidaknya ke depan jadi bekal hidup, misalnya bisa buka bengkel modern, bisa jadi pengusaha, atau minimal jadi kebanggaan keluarga.
Coba bayangkan, waktu reuni SMP, teman-temanmu cerita kerja di kota, kamu bisa bilang, “Aku baru balik dari Osaka”. Wah…pasti semua langsung terdiam kagum.
Tapi ingat juga dan jangan salah, kerja di Jepang juga nggak segampang drama Korea, capeknya luar biasa, dinginnya musim salju bikin kedinginan sampai tulang, kangen rumah bisa bikin nangis di kamar. Tapi di situlah mental diuji. Kalau berhasil melewati itu, hidup di kampung nanti terasa lebih ringan.
Ada pepatah bilang “Siapa yang bersakit-sakit dahulu, akan bersenang-senang kemudian”. Program magang Jepang ini membuktikan pepatah itu masih berlaku. Daripada nongkrong tiap sore sambil main gim online, lebih baik berkeringat dulu, berjuang di negeri orang, pulang bawa ilmu dan pengalaman.
Kalau Muba punya anak-anak muda yang pulang dari Jepang dengan keterampilan baru, ini bukan cuma kebanggaan keluarga, tapi juga daerah. Bayangkan kalau puluhan anak Muba nanti jadi instruktur, pengusaha, atau inovator. Muba bisa jadi pusat SDM unggul yang nggak kalah dengan kota besar.
Akhir kata, program magang ke Jepang ini bukan sekadar ajang cari kerja, tapi ajang pembuktian, bahwa anak muda dari desa, dari pelosok Muba, juga bisa jadi pemain global.
Pemerintah Muba sudah membuka jalan, tinggal anak-anak muda yang harus berani melangkah, pepatah mengingatkan “Takkan lari gunung dikejar, takkan hilang ilmu dipelajari”. selama ada tekad, doa orang tua, dan semangat, Jepang bukan sekadar mimpi, tapi tujuan yang bisa diraih.
Jadi, wahai anak-anak muda Muba, jangan cuma jadi penonton di pinggir sawah. Saatnya melangkah ke negeri Sakura. Dari sawah ke sakura, dari karet ke karier, dari dusun ke dunia.
Program magang Jepang ala Muba ini adalah strategi jitu, sebab bukan hanya mencetak pekerja, tapi membentuk generasi muda yang tahan banting, punya wawasan global, dan siap bersaing. Kalau Muba serius menjaga program ini tetap bersih dari calo, transparan, dan konsisten, maka tak berlebihan kalau suatu hari kita bilang “SDM unggul itu lahir dari Muba, tapi berguna untuk dunia”.[***]