PAGI minggu yang biasanya cuma ramai sama mamang-mamang jualan odading dan bocah main lato-lato, Bundaran HI mendadak kayak taman bermain raksasa!. Anak-anak lari-larian, main otok-otok, dan para menteri pun ikut lari, walau sebagian lebih lari dari kenyataan. Tapi tenang, bukan lari dari tanggung jawab.
Hari Anak Nasional 2025 kali ini bukan sekadar seremoni tepuk tangan dan potong tumpeng. Ini kayak campuran antara acara 17-an, cosplay Pahlawan Nasional, dan peluncuran startup kreatif. Pokoknya meriah, tapi tetap edukatif. Ibarat nasi goreng kampung: sederhana, tapi bumbunya lengkap!
Salah satu bumbunya? Datangnya Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, yang bilang bahwa kreativitas itu bukan cuma soal gambar-gambar lucu, tapi juga soal membentuk karakter dan daya saing. “Ekraf bisa jadi ruang belajar anak yang menyenangkan sekaligus membangun daya saing bangsa” ucapnya. Jleb! kayak main uno stacko, kelihatannya main-main, eh.. ternyata melatih strategi dan konsentrasi.
Pepatah Sunda bilang, “Budak leutik dikanyah-kanyah, nu gede dikanyah rasa”. Anak kecil harus dibina, bukan dibinasakan daya imajinasinya. Maka itu, perayaan HAN 2025 kali ini nggak cuma ajang bagi anak-anak buat main congklak, tapi juga ajang bagi para pejabat untuk adu komitmen bukan adu caption medsos.
Dari Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi sampai istri Wapres RI Selvi Ananda Putri, semua hadir. Kayak acara reuni, tapi yang dibahas bukan mantan, melainkan masa depan anak-anak. Arifatul bilang, “Anak harus tumbuh sehat, bahagia, dan kreatif.” Nah loh, sehat udah, bahagia iya, tinggal kreatifnya jangan ditahan-tahan.
Di tengah jalan sehat, ada juga booth gim lokal, jangan salah, ini bukan game asal-asalan. Ini gim bikinan anak bangsa yang mengusung nilai kebangsaan, keberagaman, dan kolaborasi. Ibarat sambal terasi meski lokal, pedasnya bisa Go International!.
Bayangin, anak-anak main gim yang ngajarin kerja sama, bukan cuma rebutan skin legendaris. Ini baru namanya belajar sambil ketawa, bukan belajar sambil ngantuk. “Setiap anak adalah seniman,” kata Pablo Picasso, “masalahnya adalah bagaimana tetap menjadi seniman saat mereka dewasa”.
Acara ini juga jadi panggung buat pemerintah nunjukin kalau dukungan ke anak-anak itu serius. Serius tapi asik, kayak main monopoli sambil minum es kelapa muda.
Kementerian Ekraf pun ikut menyumbang ruang kreatif, dari pelatihan pembuatan gim sampai ajang unjuk karya anak-anak di usia dini.
Dulu ada pernyataan “Beri aku 10 pemuda, niscaya kuguncangkan dunia”. sekarang mungkin bisa di-update jadi “Beri aku 10 anak kreatif, niscaya ku-launching Indonesia Emas 2045 versi beta!”.
Orang bijak bilang, “Anak muda adalah lilin harapan di tengah gulita masa depan”
Kutipan motivasi pun mengalir, seperti dari tokoh anak dunia Malala Yousafzai yang pernah bilang, “Satu anak, satu guru, satu buku, dan satu pena bisa mengubah dunia”. Nah, bayangkan kalau anak itu juga dikasih satu ide kreatif dan satu akses internet yang kenceng?. Boom! Dunia bisa berubah, bukan cuma oleh unicorn startup, tapi juga oleh anak SD yang bisa bikin coding sambil ngemil ciki.
Indonesia Emas 2045 itu bukan sulap, apalagi hasil giveaway. Ia lahir dari anak-anak yang sekarang masih main gundu di lapangan, yang masih suka nyanyi “Naik-naik ke Puncak Gunung” pakai nada yang nggak pas, tapi semangatnya luar biasa. Mereka lah yang akan jadi arsitek negeri ini dengan atau tanpa seragam PNS.
Jadi, kalau hari ini anak-anak main otok-otok sambil tertawa, jangan buru-buru suruh diam. Siapa tahu, dari suara itulah lahir ide-ide besar yang mengubah negeri. Tugas kita? Bukan cuma mendampingi, tapi juga menyediakan panggung dan perlengkapan panggungnya.
Karena anak Indonesia bukan cuma pewaris negeri, tapi juga penulis babak baru Indonesia. Dan dari Bundaran HI sampai ke pelosok negeri, mereka berhak bersuara, berkarya, dan bercita-cita setinggi langit—asal jangan lupa pulang pas Maghrib.[***]