Sumselterkini.co.di, -Mari kita akui satu hal penting dulu internet itu seperti laut. Luas, dalam, penuh kejutan, kadang indah, tapi juga bisa menyeret kita ke palung Mariana kalau main nyemplung sembarangan. Coba bayangkan anak-anak kita yang baru bisa berenang gaya batu dibiarkan nyebur ke laut digital, tanpa ban pelampung, tanpa pelatih, apalagi peluit pengawas pantai.
Syukurlah, pemerintah akhirnya sadar dan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. Atau yang lebih gampangnya kita sebut saja PP Tunas, karena isinya memang buat melindungi tunas-tunas bangsa dari kepanasan server jahat dan tsunami konten dewasa.
Tapi jangan salah kaprah, PP ini bukan larangan main internet. Bukan juga ajakan balik ke zaman pager dan burung merpati. Ini lebih ke ajakan buat ngajarin anak-anak naik sepeda digital dengan pakai roda bantu dulu. Jangan langsung disuruh downhill di Tanjakan Cinta, bisa-bisa malah nyasar ke jurang konten dewasa atau terseret arus judi online.
Zaman sekarang, anak umur 9 tahun lebih akrab sama TikTok daripada buku IPA. Dan kita gak bisa nyalahin mereka sepenuhnya. Dunia berubah, teknologi makin canggih, dan kalau kita gak ikut menyesuaikan, ya siap-siap aja ditikung sama anak sendiri yang lebih ngerti cara pasang VPN dibanding cara nyetrika baju.
PP Tunas ini hadir buat jadi peta jalan, bukan palang pintu. Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) yang sekarang digawangi Meutya Hafid lagi mencoba ngajarin kita semua bahwa membimbing anak di dunia digital bukan soal memblokir, tapi mengarahkan.
Dalam rilis komdigi.go.id, Meutya bahkan ngasih perumpamaan yang ciamik belajar naik sepeda pakai roda bantu dulu. Nah, internet juga gitu. Anak-anak butuh alat bantu, pengawasan, dan bimbingan sebelum dilepas sendirian mengarungi algoritma YouTube dan umpan TikTok yang bisa nyeret mereka dari video slime ke konspirasi bumi datar dalam 5 menit.
Menurut data dari NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children), Indonesia masuk peringkat ke-4 dunia dalam kasus pornografi anak dengan total 5.566.015 laporan dalam 4 tahun terakhir. Itu bukan cuma angka. Itu suara jeritan dalam diam dari jutaan anak yang jadi korban digital.
Dan gak berhenti di situ. 48 persen anak-anak Indonesia mengalami perundungan online, dan 80 ribu anak di bawah umur 10 tahun pernah terpapar konten judi online. Bayangin, belum genap hafal perkalian 6×7, tapi udah tau cara deposit ke slot online.
Masih ngerasa ini lebay? Yuk kita lihat contoh nyata. Di Inggris, kasus tragis Molly Russell, remaja 14 tahun, bikin dunia terguncang. Molly meninggal karena bunuh diri setelah berbulan-bulan dijejali algoritma media sosial yang menyodorkan konten gelap, depresif, dan self-harm.
Akunnya seperti dilatih untuk tenggelam dalam keputusasaan. Setelah kematiannya, orang tuanya kampanye besar-besaran agar media sosial bertanggung jawab. Tapi ya, nasi sudah jadi bubur. Buburnya tumpah pula.
Selain itu di Korea Selatan, ada kasus keji bernama “Nth Room”, di mana ribuan anak terutama perempuan dijebak dan dieksploitasi secara digital. Video mereka dijual, disebarkan di aplikasi chat, dan para pelakunya bersembunyi di balik layar. Dunia maya berubah jadi ruang penyiksaan tak kasat mata.
Di Indonesia sendiri? Pernah ada bocah SD yang ketahuan habiskan tabungan buat top-up game dan judi online. Ibunya nangis-nangis, anaknya polos bilang, “Aku kira itu beli diamond, Bu.” Lain waktu, kita dengar berita remaja dirundung habis-habisan di media sosial hanya karena tidak mengikuti tren, sampai akhirnya menarik diri dari sekolah dan harus ditangani psikolog.
Internet itu memang tak berwujud, tapi dampaknya bisa nyata dan membekas. Kalau tak dijinakkan, ia bisa berubah dari taman bermain menjadi taman pemakaman.
Kalau internet adalah hutan belantara, maka anak-anak itu backpacker pemula. Masa iya kita biarin mereka masuk tanpa peta, kompas, atau setidaknya botol air minum? Tugas orang tua, guru, pemerintah, dan penyelenggara platform digital adalah jadi guide tour yang bukan cuma nyeritain pohon-pohon, tapi juga ngingetin mana rawa-rawa dan jebakan harimau.
PP Tunas mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) mulai dari media sosial, game online, sampai layanan keuangan digital untuk aktif melindungi anak. Bukan cuma dengan bikin syarat umur formalitas, tapi juga melakukan literasi digital dan menghentikan profiling anak untuk keperluan iklan. Iya, anak-anak kita bukan target iklan popok yang sekarang diganti iklan kripto dan judi berkedok game.
Dan yang lebih keren, anak-anak juga diajak ngomong dalam penyusunan PP ini. Ada 350 anak dilibatkan langsung. Ini baru keren. Karena ngomongin masa depan anak ya memang harus dengar suara mereka. Bukan sekadar debat para dewasa yang kadang terlalu sibuk mikir politik sampai lupa anaknya diam-diam follow akun misterius.
Sosialisasi PP Tunas dimulai dari Bali. Katanya karena budaya kekeluargaan di sana masih kental. Mungkin karena di Bali, anak-anak masih dianggap milik bersama. Kalau ada yang salah jalan, semua ikut menasihati. Semacam banjar digital, tempat semua orang jadi satpam moral tanpa harus jadi nyinyir.
Universitas Udayana jadi tuan rumah pertama, dan responsnya positif. Para dosen hukum, sosiologi, dan psikologi ikut nimbrung. Ada yang bilang pasalnya perlu lebih tegas, ada yang minta ada aturan soal kesiapan mental. Semua itu tanda bahwa masyarakat siap ikut urun rembuk, bukan cuma jadi penonton.
Jadi, mari kita sepakat anak-anak harus diajak bersahabat dengan teknologi, tapi dengan perlindungan. Kita gak bisa biarkan mereka main internet seperti main layangan di tengah badai. Harus ada aturan main, pengawasan, dan edukasi.
PP Tunas adalah langkah awal. Tapi tanpa peran aktif kita semua orang tua, guru, masyarakat, sampai pembuat aplikasi semuanya akan sia-sia. Jangan sampai nanti, ketika anak-anak kita sudah tumbuh dan rusak oleh digital, kita baru sadar “Lho, kok bisa begini?”
Makanya, ayo bareng-bareng kita jadi ban pelampung buat anak-anak yang lagi belajar berenang di laut internet. Jangan sampai mereka tenggelam gara-gara kita terlalu sibuk scrolling cari diskon atau asyik nonton konten prank sambil ketawa-tawa, lupa bahwa di ruangan sebelah, anak kita sedang belajar membuka pintu dunia tanpa kunci, tanpa gembok, dan tanpa pengawasan.[***]
