Sumselterkini.co.id, – Kalau budaya itu ibarat api unggun di tengah hutan belantara zaman modern, maka butuh penjaga yang bukan cuma bisa meniup arang, tapi juga sanggup menari sambil memegang obor. Dan tampaknya Palembang tak kehabisan penjaga unggun itu.
Lewat sosok Badia Inayah Sazrade, finalis Putri Indonesia 2025 dari Sumatera Selatan 2, kota pempek ini kembali menyalakan bara semangat untuk memperkenalkan kekayaan budaya lokal ke panggung nasional dengan gaya yang bukan kaleng-kaleng, tapi kelas festival!
Bukan hal baru memang kalau Palembang kerap melahirkan putri-putri daerah yang tak hanya cantik paras, tapi juga cetar budaya. Namun kehadiran Badia ini lain ceritanya. Seperti sambal tempoyak yang makin terasa nendang kalau dimakan dengan ikan patin, aura Badia makin terasa spesial karena dibungkus dengan dedikasi dan pengalaman internasional.
Bukan hanya tampil anggun dengan songket dan jumputan, tapi juga membawa kredensial sebagai penerima beasiswa LPDP dan alumni program IISMA ke Inggris. Ini bukan sekadar putri mahkota, tapi juga diplomat budaya dengan bekal kopor penuh prestasi.
Sambutan hangat dari Sekretaris Daerah Kota Palembang, Aprizal Hasyim, bukanlah sambutan basa-basi macam teh tawar pagi hari. Beliau datang langsung menyambut, menyatakan dukungan total, dan bahkan siap membantu segala sarana prasarana untuk memastikan perjalanan Badia menuju malam final tak seperti kereta lambat dari Kertapati melainkan seperti LRT Palembang cepat, rapi, dan penuh semangat kota.
Ini sinyal kuat bahwa pemerintah kota tak ingin hanya jadi penonton di pinggir panggung, tapi ingin jadi backing vocal yang kompak, bahkan kalau perlu, ikut menabuh gendang!
Kita tahu, promosi budaya itu bukan pekerjaan semalam. Ia bukan seperti mi instan yang tinggal diseduh lalu siap disantap. Ini pekerjaan yang mirip menenun songket butuh waktu, ketelatenan, dan tentu saja benang-benang cinta terhadap warisan leluhur. Dalam konteks ini, pemerintah Palembang telah memberi contoh baik.
Mendukung anak muda seperti Badia bukan hanya soal ikut ajang kecantikan, tapi juga soal memperjuangkan identitas, menjaga akar, dan memperluas cabang pohon budaya hingga bisa berteduh sampai ke luar negeri.
Tak bisa dipungkiri, dalam era digital ini, budaya sering kalah saing dengan tren TikTok dan K-Pop. Maka, kehadiran Badia sebagai representasi budaya lokal di panggung nasional lengkap dengan busana adat, pengalaman internasional, dan tekad baja adalah seperti menyaksikan Sriwijaya FC menang telak di kandang membanggakan sekaligus menyegarkan harapan!
Kini, tugas kita bersama bukan sekadar mengirimkan dukungan lewat emoji di Instagram, tetapi juga dengan doa, perhatian, dan tentu saja langkah konkret dalam menjaga budaya. Karena kalau budaya dibiarkan berjalan sendiri seperti pejalan kaki di jalan protokol tanpa trotoar, cepat atau lambat ia akan tersingkir oleh derasnya arus modernisasi.
Maka mari kita kawal perjuangan Badia, dan siapa pun yang membawa nama daerah dengan semangat budaya. Jadikan Palembang bukan hanya terkenal karena pempek dan jembatan Ampera, tapi juga karena mampu merawat dan mempromosikan budaya seperti merawat kebun bunga disiram dengan perhatian, dipupuk dengan kebijakan, dan disinari dukungan dari berbagai arah.
Oleh karena itu, kalau bukan kita yang menjaga budaya sendiri, nanti malah orang luar yang lebih dulu datang membungkusnya, menamainya ulang, lalu menjualnya kembali ke kita dengan harga premium lengkap dengan label “inspirasi tropis”.
Ironisnya, kita malah antre beli, sambil lupa bahwa semua itu aslinya berasal dari tanah sendiri. Maka, inilah saatnya pemerintah, masyarakat, dan generasi muda duduk semeja, bukan cuma untuk foto bersama, tapi juga untuk menyusun strategi nyata bagaimana budaya tak sekadar jadi ornamen seremoni, melainkan napas keseharian yang dibanggakan di mana pun kaki berpijak.[***]
