KATA pepatah, “Tak kenal maka tak sayang, sudah kenal malah jadi souvenir”. Nah, begitulah kira-kira nasib Kantor Wali Kota Palembang yang kini tak hanya dipelototi camat-camat dalam apel pagi, tapi juga ditelusuri kisahnya dalam buku sejarah yang baru saja launching. Judulnya panjang, isinya dalam “Kantor Wali Kota Palembang dari Masa ke Masa”.
Bukan kaleng-kaleng, buku ini digarap tiga tokoh lintas genre, dua doktor akademisi dan satu wartawan yang sudah kenyang makan nasi kotak saat peliputan. Mereka adalah Dr. Dedi Irwanto MA, Dr. Kemas A. Rachman Panji MSi, dan Dudy Oskandar, yang ibarat trio macan di dunia literasi lokal.
Disusun dari Oktober 2024 hingga Februari 2025 atau dalam hitungan emak-emak dari musim durian sampai musim cari THR, buku ini resmi dilempar ke publik di Gedung Kesenian Palembang, akhir pekan lalu.
Momen peluncurannya pun nggak tanggung-tanggung, sekalian numpang tumpeng dalam rangka HUT Kota Palembang dan menyambut Tahun Baru Islam. Jadi ya, suasananya campur aduk ada nuansa sejarah, ada zikir, ada juga yang ngiler lihat snack meja depan.
Kantor Wali Kota Palembang ini ternyata bukan gedung biasa, selain jadi tempat orang ngurus izin usaha dan minta tanda tangan rekomendasi studi banding ke Bali, bangunan ini juga punya sejarah yang bisa bikin novelis cemburu.
“Kita ingin membuka mata masyarakat bahwa Kantor Wali Kota ini bukan sekadar tempat ngasih surat tugas atau tempat ngopi ASN, tapi simbol sejarah kota” kata Kemas, salah satu penulis, dengan gaya yang kalau ditranskrip bisa masuk TEDx Palembang.
Benar saja, di buku ini bukan cuma lantai dan temboknya yang dibahas, tapi juga orang-orang yang pernah duduk di kursi empuk wali kota, dari zaman Pak Wali pertama yang gaya rambutnya masih model pomade asli, sampai wali kota zaman now yang sudah lihai main TikTok untuk kampanye edukasi.
Yang paling bikin buku ini seperti novel fantasi adalah fakta bahwa Kantor Wali Kota Palembang satu-satunya Kantor Pemkot di Indonesia, atau bahkan mungkin di belahan galaksi sebelah yang punya fungsi ganda. Iya, selain sebagai kantor administrasi, ternyata gedung ini dulunya juga menara air!.
Bayangin aja, itu kayak kantor camat yang juga jadi tempat cuci motor, atau kantor DPRD yang bisa berubah jadi warung pecel lele di malam hari. Multifungsi, hemat lahan, dan cocok untuk dijadikan role model desain smart city ramah air.
Para penulis berharap agar buku ini bisa dicetak ulang oleh Pemkot Palembang dan dijadikan souvenir edukatif bagi tamu-tamu penting.
Jadi kalau ada tamu dari Malaysia, Jepang, atau Pagaralam mampir, tak usah dikasih kain songket atau kopi bubuk lagi, langsung sodorin buku sejarah ini. Biar tamu tahu, Palembang tak hanya pempek dan jembatan, tapi juga punya kantor wali kota rasa legenda.
Kalau selama ini kita mengira gedung kantor itu cuma tempat stempel dan rapat, buku ini bisa mengubah cara pandang itu. Ia mengajak kita melihat bahwa gedung juga punya hati, punya sejarah, dan punya cerita yang lebih menarik dari sekadar “Ruang kerja walikota + toilet tamu”.
Kata pepatah Palembang yang barusan saya karang, “Gedung bisa lapuk, tapi sejarahnya jangan sampai putus” Oleh sebab itu, lewat buku ini, sejarah tak hanya diawetkan, tapi juga dibumbui narasi yang membuatnya tak cuma enak dibaca, tapi juga gurih untuk dikenang.
Jadi kalau anda masih bingung mau kasih kado apa buat pejabat yang ulang tahun atau buat mertua yang hobi baca koran, buku ini jawabannya. Isinya sejarah, bentuknya souvenir, manfaatnya? bisa bikin kita lebih cinta pada kota sendiri.[***]