Sumselterkini.co.id, – Di zaman sekarang, cari guru yang betulan niat ngajarnya itu ibarat cari jodoh di arisan RT ada sih, tapi seringnya udah diambil orang. Maka, ketika Palembang dapat penghargaan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) karena sukses menyerap lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) lewat jalur ASN PPPK, kita patut tepuk tangan, kibas sarung, dan nyanyi “Naik-naik ke puncak gunung” sambil mengacung-acungkan sertifikat.
Ini bukan sekadar piagam buat dipigura dan dipajang di pojokan ruang tamu kantor walikota. Ini pengakuan bahwa Palembang, di bawah kepemimpinan Pak Wali Ratu Dewa dan sang Sekda Aprizal Hasyim, nggak cuma jago bikin taman dan selfie spot, tapi juga serius bikin ‘Palembang Cerdas’ bukan cuma slogan di stiker mobil dinas.
Bayangin aja, lulusan PPG itu ibarat bibit unggul yang baru disemai. Kalau nggak diserap ke dalam sistem, mereka bisa layu sebelum berkembang, kayak tanaman hidroponik yang lupa dikasih air. Untungnya, Palembang sadar bahwa pendidikan itu investasi jangka panjang. Nggak bisa dipetik minggu depan, tapi bisa bikin generasi mendatang nggak salah bedain antara debit dan kredit, antara segitiga sama kaki dan sandal jepit.
Pepatah bilang, “Guru kencing berdiri, murid jangan ikut-ikutan.” Tapi guru sekarang nggak cuma dituntut berdiri, mereka harus bisa jungkir balik demi ngajar anak-anak yang konsentrasinya cuma setipis sinyal Wi-Fi di dapur. Maka, guru profesional hasil PPG ini adalah harapan baru. Mereka bukan hanya bisa menjawab soal HOTS, tapi juga tahan banting ngadepin murid yang nyari jawaban di TikTok.
Contohlah Finlandia, yang sejak dulu paham betapa pentingnya kualitas guru. Di sana, jadi guru itu prestisius, bukan pelarian dari jurusan yang kelebihan kuota. Di dalam negeri, kita bisa lirik Surabaya yang udah duluan ngebut dengan program “Guru Hebat”, yang seleksinya kayak audisi Indonesia Idol, ketat dan penuh drama. Hasilnya? Ya gurunya naik level, muridnya nggak nyasar lagi kalau disuruh baca peta.
Nah, Palembang udah ikut dalam barisan itu. Meski kadang masih repot mikirin jalanan macet dan angkot yang nggak pakai rute, tapi di sisi pendidikan, langkah ini patut diacungi dua jempol dan satu cangku karena membangun pendidikan itu kayak bertani, harus sabar, telaten, dan siap berpeluh.
Menteri Abdul Mu’ti sendiri dalam malam tasyakuran Hardiknas bilang bahwa penghargaan ini adalah “sumbangan sederhana”. Tapi hei, dari sumbangan kecil bisa lahir perubahan besar. Lha wong dari sebutir biji kopi aja bisa lahir warkop penuh inspirasi dan wifi gratis.
Kalau Palembang bisa, daerah lain juga mestinya bisa. Asal niatnya jangan setengah-setengah kayak nonton sinetron yang diskip endingnya. Pendidikan itu bukan proyek satu malam, tapi perjuangan panjang seperti masak rendang kalau buru-buru, dagingnya alot. Tapi kalau sabar dan fokus, hasilnya bikin nagih dan bikin bangga.
Jadi, mari kita dukung terus daerah yang serius membina guru dan dunia pendidikan. Karena kalau anak-anak sekarang pintar, siapa tahu 20 tahun lagi mereka jadi menteri, presiden, atau minimal tukang servis AC yang bisa kasih nota rapi dan nggak tipu-tipu. Kan lumayan.
Selamat buat Palembang. Teruskan nggguru-ngguru demi masa depan. Karena anak-anak kita butuh guru sejati, bukan guru yang datang cuma buat absen dan jajan bakso di kantin.[***]