ANAK-anak bukan cuma butuh susu dan Wi-Fi, tapi juga kota yang layak buat tumbuh tanpa drama, Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, kemarin tampil bak presenter acara lawas “Jejak Petualang”, ikut langsung Verifikasi Lapangan Evaluasi Kota Layak Anak (KLA). Tapi tenang, ini bukan verifikasi KTP, apalagi verifikasi password Wi-Fi tetangga, ini verifikasi serius setengah offline setengah online, alias hybrid, kayak sandal swallow yang satu putus, tapi masih dipake jalan karena sayang sejarah.
Itulah pentingnya Kota Layak Anak, kota yang bukan cuma bikin anak senang, namun juga aman dari segala macam serangan dari jajanan sembarangan, tontonan jahat, sampe bapak-bapak yang hobi ngebut pakai motor knalpot preng-preng macam roket NASA.
Gelanggang verifikasi hybrid Evaluasi Kota Layak Anak (KLA) Tahun 2025 berlangsung serius, tapi bukan buat ikut lomba makan kerupuk atau joget di TikTok massal ya, diverifikasi dilakukan oleh tim dari Kementerian PPPA, bukan oleh tetangga sebelah rumah, Hybrid katanya, bukan mobil hybrid lho,… melainkan acara setengah daring setengah luring. Bahasa gampangnya, setengah badan di Bappeda, setengah lagi di Zoom.
Acara ini bukan sekadar formalitas macam rapat RT yang berakhir dengan makan pempek, soal evaluasi bagaimana Palembang bisa jadi kota yang bukan cuma layak ditinggali, tapi juga layak dititipi anak-anak generasi rebahan penerus bangsa.
Ratu Dewa bilang, “Pemkot Palembang terus berkomitmen memperkuat sistem perlindungan anak melalui pengembangan regulasi, layanan, dan ruang partisipasi anak”. Wah, kalimat ini kalau dibikin status WhatsApp bisa bikin kagum satu grup arisan.
Jangan salah juga, niat baik tanpa tindakan itu kayak jambu air yang disemprot pewarna merahnya menggoda, bahkan gigitan pertama bisa bikin menyesal. Untungnya, Palembang gak cuma jago di mulut. Ada sinergi lintas sektor dari OPD sampai masyarakat, semua diajak gotong royong, karena membesarkan anak itu kerja bareng, bukan kerja sambilan kayak nonton sinetron sambil masak mi instan.
Bayangkan kota yang gak layak anak itu kayak rumah kontrakan sempit yang listriknya token dan WC-nya jongkok, gak nyaman, gak aman, dan bikin stres. Lihatlah Surabaya, yang udah duluan bikin taman bermain anak di mana-mana, bahkan di kampung-kampung, anak-anak sana sekarang lebih sering main perosotan daripada scroll TikTok.
Atau lihat Oslo di Norwegia kalau mau serius belajar, karena di sana zebra cross gak cuma buat nyebrang, tapi juga tempat anak-anak dilatih mandiri dari kecil, coba bayangkan, saking hebatnya lagi anak umur lima tahun udah bisa naik bus sendiri, bukan buat kabur, tapi karena sistem keamanannya memang rapi jali.
Palembang bisa kayak gitu asal konsisten, jangan sampe, taman anak dibangun, eh lima bulan kemudian jadi tempat nongkrong bapak-bapak ngudut sambilmain gaple dan catur, anak-anaknya malah diusir.
Ada Pepatah Palembang bikin menarik he..he, ntah siapa yang bikin.”Anak ditimang-timang bukan bae waktu dio dang lucu-lucunyo bae, tapi jugo waktu dio nak mulai betanyo, ‘Ayah, kenapo TikTok itu lebih penting nian dari aku?”. Atau yang satu ini “Bukan bae rumah tu harus ramah anak, jalan raya biso jugo, kareno kalo anak-anak disuruh main ke pinggir jalan, itu namonyo bukan main, itu judi nyawa”.
Palembang ini udah naik kelas dari kota ‘boleh anak tinggal’, jadi ‘kota anak bisa hidup, main, dan tumbuh’. Tapi jangan puas dulu, jangan baru dapat piagam trus semua OPD tebar senyum kayak habis menang lomba nasi tumpeng. Tetaplah berbenah, karena membesarkan anak itu bukan sprint, tapi maraton, kadang pakai gendongan, kadang pakai sabar.
Ayo dong, bikin taman bermain yang bukan cuma ada ayunan berderit kayak pintu horor, lengkapi fasilitas, perbanyak ruang aman, dan tolong dong, larang penjual es mambo yang ngasih hadiah rokok mainan, itu bukan edukasi, itu jebakan batman!.
Terus program Kota Layak anak ini terus didorong serius, jangan sampe anak-anak kita besar di kota yang layak ngeluh, tapi tak layak ditumbuh. Ingat!, anak bukan cuma aset masa depan, tapi juga makhluk hidup kecil yang kalau gak diajak ngobrol bisa tiba-tiba nanya, “Kenapa ibu lebih sayang kucing daripada aku?”
Palembang sudah lumayan ngebut di jalur Kota Layak Anak, dan inget lagi lah… ngebut di awal doang itu kayak pacaran modal nonton bioskop doang, ujung-ujungnya bubar karena lupa bayar cicilan komitmen. Jangan sampe piagam Kota Layak Anak cuma jadi hiasan di dinding ruang tamu, bersanding manis dengan foto wali kota lagi salaman dan lukisan masjid 3 dimensi yang bisa nyala kalau disenterin.
Kalau taman ramah anak udah ada, ya dijaga, kalau sekolah ramah anak udah dibangun, ya diawasi, jangan sampe guru jadi lebih serem dari ibu kost pas tanggal tua. Dan kalau anak-anak udah bisa main dan belajar nyaman, jangan tiba-tiba ada proyek “revitalisasi” yang ngubah taman jadi tempat parkir mobil dinas.
Masukannya satu aja, tapi dalam, begini kalau mau jadi Kota Layak Anak, jangan setengah-setengah kayak martabak telur yang cuma dapet satu butir!. kebut sekalian, biar anak-anak Palembang tumbuh sehat, cerdas, dan gak trauma lihat jalan berlubang tiap lima meter.
Lagi-lagi inget, membangun kota layak anak itu bukan kayak bikin konten TikTok, gak bisa asal joget terus viral. Ini kerja kolektif, harus konsisten, tahan banting, dan siap ditegur emak-emak PKK kalau kebijakan melenceng!
Palembang sudah sepatunya memang terus benahi!, jangan cuma layak anak hari ini, tapi juga layak dikenang di masa depan sebagai kota yang pernah benar-benar sayang anak-anaknya, bukan cuma sayang acara seremoni dan dokumentasi!, terus benahi!, biar Palembang bukan cuma layak anak, tapi juga layak dicontoh daerah lain!. Selamat bekerja walikota…..[***]