Sumselterkini.co.id, – “Kamu kira jadi Ronaldo itu cuma butuh gaya nyisir rambut ke belakang dan buka baju pas selebrasi? Salah, Le! Ronaldo kecil juga pernah ditendang bola sampai meringis, tapi bangkit, bukan baper!” ucap Pak Dul, pelatih SSB “Gawang Roboh FC”, sambil ngelap peluh dan gorengan.
Pagi itu, baru setengah buka mata, tapi di Stadion Gelora Joko Samudro, Gresik, suara sepatu mencium rumput sudah bersahutan. Ada yang teriak “oper sini, Mas!” padahal bolanya masih di langit, ada pula yang ngotot jadi kiper padahal tingginya masih kalah sama tiang gawang. Inilah Freeport Grassroots Tournament 2025, bukan cuma turnamen, tapi juga pentas cita-cita anak-anak Indonesia yang dribelnya lebih mulus dari jalan tol Trans Jawa.
Turnamen ini bukan sembarang ajang. Disokong oleh PSSI lewat PT Garuda Sepak Bola Indonesia dan disponsori penuh cinta PT Freeport Indonesia, lebih dari 300 anak-anak usia U-10 dan U-12 dari 20 Sekolah Sepak Bola (SSB) berebut bola dan harapan. Yang kalah tidak patah, yang menang tidak jumawa. Yang penting sepatu bola dapat, pengalaman dapat, semangat jadi legenda juga terpompa!
Salah satu bocah, sebut saja namanya Parman (bukan nama asli karena dia malu ketahuan masih suka nonton Upin Ipin), ditanya soal target main. Dia menjawab sambil nyemil bekal, “Yang penting dapet sepatu, Pak. Yang kemarin bolong dua, masuk angin terus.”
Di pinggir lapangan, ada diskusi seru antara dua orangtua
Bu Inem : “Itu anak saya yang nomor 7, Bu. Larinya kenceng, mirip kereta api.”
Bu Sulastri: “Wah, kalau anak saya yang nomor 10. Tendangannya keras, kayak tagihan listrik bulan lalu.”
Turnamen semacam ini ibarat menanam pohon, hasilnya tidak langsung bisa dinikmati esok pagi. Tapi kalau disiram terus dengan pembinaan, dilindungi dari hama “politik sepak bola”, dan diberi pupuk berupa pelatih berkualitas, InsyaAllah lima belas tahun lagi kita panen generasi emas. Yang penting jangan cuma semangat pas ada kamera televisi. Pembinaan usia dini itu bukan konten media sosial, tapi investasi masa depan. Jangan sampai tiap turnamen anak-anak sukses, yang dapat jabatannya malah orang-orang dewasa.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dalam gaya khasnya yang serius tapi santai, bilang begini. “Negara-negara maju di sepak bola selalu mengawal anak-anaknya sejak awal. Kita pun harus begitu. Pembinaan dini adalah pondasi.”
Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas, nambahin. “Sepak bola itu bukan sekadar tendang-tendangan, di situ ada karakter, disiplin, dan kerja sama. Kita bangga bisa ikut dalam perjalanan awal mereka.”
Kalau boleh nyomot omongan dari Johan Cruyff, legenda Belanda. “Sepak bola itu sederhana. Sulitnya adalah bermain sederhana.”
Dan pepatah bilang. “Anak-anak adalah seperti bola, jangan dibuang ke luar lapangan sebelum diberi peluang mencetak gol.”
Dari ratusan pemain, muncul nama-nama lokal rasa internasional.
M Liyan dari Wadeng jadi pemain terbaik U-10.Tian dari Sindogres bawa pulang gelar U-12. Kiper terbaik? Amril dan Keanu. Keanu bukan Reeves, tapi reflek dia katanya setara. Tim-tim juga pulang bawa 300 pasang sepatu bola. Ada yang langsung dipakai buat tidur, katanya buat ngimpi jadi Lionel Messi.
Kalau sepak bola adalah panggung impian, maka FGT di Gresik adalah gubuk pertamanya tempat mimpi dipoles, semangat dipupuk, dan keberanian diuji. Turnamen ini bukan cuma tentang siapa yang juara, tapi siapa yang berani menendang ragu dan menggiring semangat hingga ujung lapangan masa depan.
Buat anak-anak Gresik dan sekitarnya, sepatu baru dari Freeport itu bukan cuma alas kaki, tapi kendaraan menuju cita-cita. Seperti kata Pak Dul,“. Sepatu boleh baru, tapi semangat jangan sampai loyo. Ingat, Ronaldo aja dulu pasti juga pernah kalah main tarkam!”. he..he!.
Festival harapan
Turnamen Freeport Grassroots Tournament di Gresik ini sejatinya bukan cuma agenda dua hari di kalender sepak bola. Ia adalah semacam festival harapan, pesta kecil anak-anak yang sedang belajar menggiring bukan hanya bola, tapi juga masa depan. Lapangan hijau itu berubah menjadi panggung tempat para bocah mencoba peran entah jadi striker andalan, bek tangguh, atau kiper yang bertekad tak mau kebobolan walau matahari menyengat seperti lampu setrika.
Melihat mereka berlari sambil celingukan, salah oper bola ke temannya sendiri, hingga nyeker karena sepatu terlalu baru buat dipakai latihan, semua itu adalah pertunjukan kejujuran dan semangat yang tak bisa dibeli di toko perlengkapan olahraga mana pun. Di tengah keterbatasan, anak-anak ini membuktikan bahwa semangat bisa lebih penting dari sepatu mahal, dan keberanian jauh lebih bermakna ketimbang punya skill olahan TikTok.
Sepak bola usia dini memang bukan ajang cari piala, tapi ajang cari jati diri. Ajang buat para bocah paham bahwa kalah itu bukan aib, dan menang itu bukan takdir mutlak. Di sinilah mereka mulai mengenal makna sportivitas, kerja sama tim, dan bahwa dalam hidup, kadang bola memang tidak selalu memantul ke arah yang kita mau, tapi tetap harus kita kejar, bukan ditinggal sambil manyun.
Seperti kata pepatah Jawa.“Wani ngalah, luhur wekasane”. (Berani mengalah, mulia pada akhirnya) atau kata nenek si Bowo, “Urip kuwi koyo dolanan bal, kadang kenceng, kadang ngalor-ngidul, sing penting ojo dadi penonton wae,”. (Hidup itu seperti main bola, kadang cepat, kadang ke sana-ke mari, yang penting jangan cuma jadi penonton.)
Turnamen ini juga membuktikan bahwa impian itu seperti bola akan terus bergerak, jika tidak dibiarkan diam. Oleh sebab itu, tugas orang dewasa bukan cuma menonton dari pinggir sambil jajan cilok, tapi juga memastikan anak-anak punya ruang untuk berlari, punya pelatih yang menginspirasi, dan punya turnamen yang bisa membuat mereka percaya, bahwa mimpi mereka, sekonyol apa pun kelihatannya, tetap pantas diperjuangkan.
Jika hari ini mereka hanya bermain di bawah terik matahari dan sorak-sorai ibu-ibu, maka besok mereka bisa bermain di stadion besar dengan teriakan penuh haru dari seluruh bangsa. Asal tidak berhenti. Asal terus mencoba.
Jadi, biarlah kaki-kaki mungil ini terus menendang. Biarlah peluh mereka menguap bersama impian yang mereka bisikkan diam-diam, karena dari lapangan sederhana inilah, Indonesia bisa menyimpan asa bahwa suatu hari nanti, akan ada nama yang kita kenal dari halaman depan koran atau skor akhir Piala Asia dan semua itu dimulai dari sini, dari Gresik, dari anak-anak yang hanya ingin satu hal, bermain bola dan tidak disuruh pulang sebelum selesai main.[***]