Olahraga & Otomotif

“Kalau Liga Putri Jalan, Salon Bisa Buka Cabang di Stadion”

foto :pssi

SEANDAINYA memang Liga Putri beneran jalan, jangan kaget kalau nanti di pinggir lapangan ada booth salon buka cabang nawarin cat kuku sambil nyisir rambut pemain cadangan. Jangan salah, bola dan bulu mata itu bisa bersahabat asal jadwal pertandingan nggak bentrok sama jadwal facial.

Sepakbola cewek bukan lagi soal iseng-iseng Hari Kartini, terus bubar gegara wasitnya disuruh jaga parkir, sekarang, PSSI di bawah Erick Thohir sudah mulai waras dalam memikirkan masa depan sepakbola perempuan. Tahun 2026 akan digelar kompetisi pra-musim Liga Putri, bukan sayembara joget TikTok, lho, tapi turnamen bola beneran pakai sepatu, jersey, dan, insyaallah, kontrak kerja.

Pak Erick bilang ini embrio, embrio itu artinya belum jadi bayi, tapi sudah punya harapan hidup, mulai dari empat klub dulu, kayak tempe setengah mateng, namun jangan salah, dari situ bisa tumbuh jadi Liga Putri profesional di tahun 2027, dan kalau udah profesional? Ya itu tadi ekonomi bisa muter, salon bisa buka cabang, endorse-an bisa masuk, dan cewek-cewek nendang bola bisa mulai nabung buat DP rumah, bukan cuma DP martabak.

Masalahnya selama ini, perempuan jago bola sering dianggap cuma cocok jadi penonton atau lebih sedih lagi, jadi “tim hore” di tribun, padahal, kaki mereka juga bisa ngoper, nyundul, bahkan bikin gol salto kalau dikasih lapangan.

Liat negara Amerika Serikat, pemain kayak Alex Morgan dan Megan Rapinoe digaji puluhan ribu dolar per bulan, bukan per pertandingan, di Inggris, FA Women’s Super League disiarkan nasional, pemainnya jadi bintang iklan minuman isotonik, bukan cuma tutorial make-up. Spanyol, FC Barcelona Femeni bisa narik 90 ribu penonton ke stadion. Jerman, Bundesliga perempuan dijalankan dengan sistem profesional sejak dini dan Australia, Liga ceweknya masuk kalender utama, gaji minimumnya disamain dengan gaji laki-laki, setara bukan karena quota, tapi karena prestasi.

Kalau negara lain udah lari, kita jangan malah masih sibuk nyari pinjam bola, kata orang bijak, “Rezeki itu nggak kenal jenis kelamin, yang penting usaha dan niat”. Nah, Liga Putri ini bukan cuma soal bola, tapi soal industri, kalau kompetisi jalan rutin, akan ada siaran TV, sponsor, merchandise, dan ya, booth salon itu tadi, bahkan pemain bisa hidup dari bola, mereka nggak harus kerja sambilan jadi admin online shop atau ngajar les privat demi beli sepatu bola baru.

Format tanpa degradasi yang diusulkan juga pas, ibarat taman kanak-kanak, jangan langsung dikasih ujian nasional, biar klub-klub baru belajar dulu, tumbuh pelan-pelan, dan siapa tahu, dari situ muncul bintang baru cewek Palembang, Bandung, atau Sorong, dan sejumlah daerah yang bisa gocek lawan dan gocek netizen.

Banyak orang masih nyinyir “Ntar kalo Liga Putri jalan, jangan-jangan isinya gaya doang”. Wah, jangan gitu, gaya emang perlu, tapi gaji lebih penting, dan gaya plus gaji?. Nah itu ideal, seperti kata Alexia Putellas, pemain terbaik dunia asal Spanyol “We are not here to decorate football. We are here to define it.”
-Alexia Putellas, dalam kampanye UEFA Women’s Football, 2022 atau kalau di-Indonesiakan “Kami bukan pemanis di lapangan, kami bagian dari resep utama”.

Jadi, kalau ada yang bilang Liga Putri nggak penting, kasih tahu aja “Di dunia sepakbola modern, peluang itu netral gender. Gawang nggak pernah nanya kamu cewek atau cowok, asal bolanya masuk, ya gol”.

Dan kalau Liga Putri jalan beneran, jangan heran kalau di stadion nanti bukan cuma ada tukang baso dan kaos suporter, tapi juga promo cat rambut dan diskon lash-lift, sebab di era  sekarang, yang penting bukan siapa yang main bola, tapi siapa yang bisa bikin bola jalan dan bikin hidup ikut muter.[***]

Terpopuler

To Top