MISALNYA, ada orang Korea lagi stres kerja di kantor 12 jam sehari, pulang larut malam, bangun lagi subuh buat ngantor, tiba-tiba scrolling Instagram, eh nongol video bule lagi yoga di Ubud, ditemani suara jangkrik dan backsound gamelan. Hatinya langsung teriak, “Aku juga pengen healing ke Indonesia!”
Nah, inilah momen emas, dunia sekarang lagi shifting, bro. Orang bukan cuma cari pantai buat selfie, tapi butuh healing package, spa tradisional, jamu, yoga retreat, sampai meditasi ala Nusantara, bahasa kerennya wellness tourism.
Kalau dulu pariwisata itu soal “berapa juta orang yang datang”, sekarang berubah jadi “berapa orang yang datang tapi dompetnya tebal dan hatinya bahagia”, seperti pepatah Jawa bilang “Jer basuki mawa bea” kebahagiaan itu memang ada harganya, tapi jangan salah, kalau di Indonesia harga segelas jamu masih lebih murah daripada kopi latte di Seoul.
Indonesia ini ibarat apotek herbal terbesar di dunia, dari Sabang sampai Merauke, ada ratusan ramuan tradisional kunyit asam, beras kencur, wedang jahe, sampai jamu pegal linu. Bedanya, kalau apotek biasa ada jam buka-tutup, jamu di Indonesia selalu ready. Tinggal panggil mbok jamu lewat suara “ting ting ting” di pagi hari.
Lah, coba bayangkan kalau tren wellness global benar-benar booming, lalu wisatawan asing sadar bahwa Indonesia punya resep rahasia sehat ala nenek moyang. Bisa jadi, suatu hari nanti “wedang jahe” akan masuk menu kafe di Gangnam, Korea. Dan orang Korea bakal bilang, “Oppa, ayo minum wedang dulu biar nggak masuk angin!”
Ubud itu sudah lama jadi markas para pencari kedamaian, bule-bule datang, nyewa vila, ikut yoga, terus bikin konten spiritual journey. Kalau orang lokal? biasanya healing-nya lewat nongkrong di angkringan Jogja, sambil bilang, “kopi jos lebih nikmat daripada meditasi di Himalaya”.
Tapi jangan salah, Yogyakarta juga punya potensi wellness luar biasa, dari pijat tradisional, keraton dengan aura mistis, sampai kuliner sehat berbasis rempah. Kalau dipromosikan dengan gaya kekinian, wellness di Indonesia bisa lebih laku daripada konser K-pop.
Seperti pepatah Sunda “caina herang, laukna beunang”, artinya kalau sesuatu dilakukan dengan niat jernih, hasilnya akan nyata. Nah, kalau pariwisata wellness ini dijalankan serius, hasilnya bukan cuma devisa, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia.
Waktu Menteri Pariwisata Widiyanti promosi di Korea dengan tema Go Beyond Ordinary, itu sebenarnya kode keras “Eh, jangan cuma lihat Indonesia dari pantai Bali, lihat juga dari jamu, spa, dan tradisi healing-nya”
Kenapa Korea jadi target?, karena mereka termasuk bangsa paling sibuk dan penuh tekanan, budaya kerja keras bikin banyak yang butuh tempat kabur sementara. Indonesia bisa jadi jawabannya, bayangin, orang Korea datang ke Labuan Bajo bukan cuma lihat komodo, tapi juga ikut meditasi di tepi laut, ditemani aroma minyak kayu putih khas mama-mama Nusantara.
Tapi ada catatan penting, jangan sampai tren wellness ini cuma jadi jargon, kalau tamu asing datang ke Ubud mau yoga, jangan sampai ketemu sampah plastik di sungai. Kalau mereka datang mau pijat tradisional, jangan kasih versi “kopi paste” ala instan yang kehilangan ruh budaya.
Wellness tourism itu bukan sekadar bisnis, tapi juga soal menjaga warisan, kalau orang datang untuk mencari jiwa, ya jangan malah pulangnya bawa rasa kecewa. Pepatah Bugis bilang “Reso temmangingngi, naletei pammase dewata”. artinya kerja keras yang sungguh-sungguh akan mendatangkan berkah. Nah, kalau kita serius, wellness Indonesia bisa jadi brand global yang menyaingi Thailand atau India.
Dunia boleh bicara eco-living dan spiritual journey, tapi Indonesia sudah punya itu sejak nenek moyang, dari jamu, spa, pijat tradisional, sampai filosofi hidup “alon-alon asal kelakon” yang sekarang jadi semacam mindfulness versi lokal.
Jadi, kalau promosi ke Korea ini berhasil, jangan kaget kalau nanti ada drama Korea baru dengan setting Ubud, judulnya “Oppa, Wedangan Dulu Yuk”.
Pariwisata wellness bukan sekadar soal turis datang lalu uang masuk, lebih dari itu, ini cara Indonesia memperlihatkan bahwa kebahagiaan dan kesehatan bisa lahir dari budaya sendiri, dan, seperti kata pepatah Minang “Alam takambang jadi guru” Indonesia tinggal belajar dari alamnya, lalu membaginya dengan dunia.
Karena pada akhirnya, healing paling hakiki itu bukan di mall, bukan di Netflix, tapi di hati yang damai dan Indonesia punya kunci itu.[***]