Obyek Wisata

Danau Toba Comeback, Dari Yellow Card ke Green Card UNESCO

foto : kemenpar.go.id

JIKA sepak bola punya kartu kuning dan kartu merah, geopark pun ternyata ada “kartu” dari UNESCO, bedanya, kalau di lapangan bola kartu kuning bikin pemain ngeri-ngeri sedap, di Danau Toba kartu kuning bikin kepala daerah keringetan, badan pengelola pusing tujuh keliling, dan Menteri Pariwisata sampai harus turun gunung, eh…, turun ke kaldera.

Tapi tenang, cerita ini bukan drama sinetron yang episodenya 300, justru ini comeback story ala Danau Toba, dari status yellow card yang sempat bikin dag-dig-dug, akhirnya sekarang balik ke green card UNESCO Global Geopark, dan percayalah, rasanya seperti dapat notifikasi “limit Shopee Paylater sudah naik”, lega, bangga, sekaligus waswas jangan sampai jatuh lagi.

Coba bayangkan, Geopark Danau Toba itu sempat di warning sama UNESCO. “Halo, tolong benahi manajemen, perkuat edukasi, libatkan masyarakat, jangan cuma jual pemandangan indah”.

Nah, itu kayak guru BK yang bilang, “Nilai kamu lumayan, tapi PR banyak yang bolong” dan kalau PR nggak dikerjain, siap-siap turun kelas.

Untungnya, semua pihak dari gubernur, bupati, sampai masyarakat adat sepakat gotong royong, coba pikirkan misalnya rapat-rapat, koordinasi lintas daerah, sampai bikin konferensi Internasional soal geotourism. Ibarat tim sepak bola, semua posisi main ada yang jadi striker, ada yang jadi kiper, ada juga suporter yang cuma teriak “ayo… ayo… ayo…!” Tapi tetap penting.

Geopark Lebih dari Sekadar Wisata InstagramableBanyak orang mikir Danau Toba itu cuma tempat foto OOTD sambil caption “healing tipis-tipis.” Padahal, kata Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, geopark itu wujud harmoni antara alam, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Kaldera Toba ini bukan danau biasa, bro-sis, ini jejak supervolcano raksasa yang meletus 74 ribu tahun lalu. Letusannya konon hampir bikin umat manusia punah. Jadi kalau kamu lagi galau ditinggal doi, ingatlah, bumi aja pernah hampir musnah, tapi toh bisa bangkit lagi.

Geopark itu seperti buku besar alam semesta, di Toba, kita bisa belajar geologi, tradisi Batak, sampai kuliner arsik ikan mas yang legendaris, UNESCO green card itu semacam stempel “buku ini layak dibaca dunia.”

Kalau yellow card hanya perpanjangan dua tahun (kayak SIM C masa percobaan), green card itu perpanjangan empat tahun penuh. Artinya, dunia percaya Indonesia bisa menjaga destinasi kelas Internasional.

Green card ini juga seperti paspor sakti, turis mancanegara jadi lebih yakin, “Oh, kalau UNESCO kasih stempel green card, berarti destinasi ini aman, berkelas, dan terjamin”
Bagi ekonomi lokal?, jelas peluang makin besar, Hotel, homestay, UMKM, pemandu wisata, semua bisa kecipratan rezeki.

Tapi ingat pepatah Batak “Anakkon hi do hamoraon di au” (anak adalah harta bagiku), dalam konteks geopark, anak itu ya alam dan budaya kita. Dijaga baik-baik, jangan sampai hanya jadi “warisan foto” tanpa masa depan.

Kadang lucu juga, ya, kalau ada masalah di rumah, kita sering pura-pura nggak dengar, tapi kalau UNESCO sudah kasih kartu kuning, baru deh semua pihak sadar, “Waduh, jangan sampai diputus kontrak internasional”.

Ini mirip pasangan yang hampir putus, waktu pacar ngambek, kita baru sadar harus rajin mandi, potong kuku, pakai parfum, dan upload story sweet. Begitu juga Danau Toba gara-gara yellow card, semua jadi rajin bebenah.

Kisah green card Danau Toba bukan cuma tentang status geopark, tapi pelajaran manajemen krisis, kadang, sebuah teguran bisa jadi vitamin, yellow card itu alarm agar kita serius menjaga warisan.

Analisisnya sederhana kolaborasi lintas pihak adalah kunci keberhasilan, perpaduan ilmu dan budaya adalah daya tarik geopark dan status global adalah modal branding pariwisata berkelas.

Kalau semua ini dijalankan, green card bukan sekadar kartu, tapi tiket menuju pariwisata berkelanjutan.

Akhirnya, green card Danau Toba adalah kabar gembira, tapi seperti pepatah Jawa “Menang ora obah, kalah ora nyerah”. (Menang jangan terlena, kalah jangan putus asa).

Kita boleh tertawa lega, tapi jangan lupa PR berikutnya, empat tahun itu singkat, kalau sekarang sudah hijau, jangan sampai 2029 balik kuning lagi.

Karena di era digital, reputasi itu seperti rating ojek online, sekali jatuh, susah naik lagi. Jadi mari kita jaga Danau Toba bukan hanya untuk UNESCO, tapi untuk cucu-cicit kita kelak.

Dan siapa tahu, suatu saat nanti, turis asing datang bukan hanya untuk foto, tapi untuk belajar pepatah Batak “Horas, hita do hita sude!” (Salam sejahtera, kita semua satu).[***]

Terpopuler

To Top