PENGELOLAAN zakat dan wakaf di Indonesia masih seperti warung padang sebelum jam makan siang: semua ada, tapi belum tertata. Menteri Agama Nasaruddin Umar baru-baru ini menantang Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Baznas untuk serius mengelola potensi zakat dan wakaf umat Islam.
Katanya, kalau dana zakat dan wakaf Indonesia dikelola secara sistematis, bukan tak mungkin kita bisa menyusul bahkan melampaui capaian negara-negara Timur Tengah, seperti Kuwait dan Yordania. Sayangnya, meski masyarakat Indonesia terkenal dermawan, pengelolaan zakat dan wakaf nasional masih digarap setengah hati ibarat gorengan tahu bulat dadakan, tidak matang strategi, dan penuh angin.
Bayangin begini kalau Indonesia bisa ngumpulin wakaf dan zakat sebagaimana Kuwait atau Yordania, mungkin kampus kita udah kayak Hogwarts, jalanan pakai aspal empuk anti tambal sulam, dan rakyat nggak perlu rebutan bansos yang isinya mie instan expired.
Di Yordania, katanya zakat bisa ngumpul 20 miliar Dinar, wakaf 600 miliar Dinar. Lah kita? Baru ribut urusan kotak infak yang ilang di masjid. Bahkan, menurut riset dari UIN Jakarta, kalau dana umat di bank diperas (secara syariah, tentu saja), bisa keluar zakat Rp 300 triliun.
Itu belum termasuk infak, hibah, ghanimah, dan kawan-kawan ada 27 jenis dana umat yang bisa dikembangkan. Kalau semuanya dikumpulin, kata Pak Menteri, bisa tembus Rp 500 triliun per tahun. Coba bayangkan, itu bisa buat bangun 5 IKN lengkap sama taman bermain, museum dinosaurus, dan sirkuit MotoGP dalam satu paket!
Tapi sayangnya, kita seringkali lebih fokus ngatur arisan RT daripada mengatur dana umat. Kata pepatah: “Jangankan menyejahterakan umat, laporan keuangan masjid aja kadang kayak kode sandi Perang Dunia II.”
Coba bayangkan si BWI dan Baznas ini kayak duo superhero. Satu pegang kekuatan Wakaf, satunya lagi punya kekuatan Zakat. Tapi dua-duanya masih sibuk debat milih nama grup: WakZak Squad atau Dana Avenger. Padahal musuhnya udah jelas kemiskinan, ketimpangan, dan harga cabai yang sering naik tanpa alasan.
Andai kata dana umat itu dikelola serius, bisa jadi setiap desa punya ambulan gratis, internet cepat, bahkan sekolah gratis dengan kurikulum “ngaji, ngoding, dan ngopi.” Tapi ya itu tadi, banyak yang lebih takut dikritik ketimbang gagal mengelola amanah.
“Jangan takut dikritik,” kata Menag. “Kritikan itu bikin orang naik.” Iya Pak, bener. Tapi jangan lupa, naiknya bisa ke atas atau ke pengadilan, tergantung cara ngelolanya.
Saatnya kita serius tapi tetap santai dalam mengelola dana umat. Jangan cuma disuruh nyumbang pas bencana aja, tapi pas ada program memberdayakan mustahik malah pada hilang sinyal. Potensi kita besar, tinggal kemauan dan sistemnya aja yang kadang suka “ngaret kayak pengajian yang jam 7 tapi baru mulai jam 9.”
Pepatah hari ini “Harta umat itu kayak nasi padang: kalau bisa dikelola rapi, semua orang bisa kenyang sampai pulang”
Rakernas BWI ini semoga bukan cuma tempat bagi-bagi totebag dan makan siang, tapi titik awal revolusi pengelolaan zakat dan wakaf. Jangan sampai kita kalah dari Yordania atau Kuwait hanya karena terlalu sibuk ngatur seminar daripada implementasi. Mari kita doakan BWI dan Baznas beneran naik kelas, bukan cuma naik podium.
Dan buat umat? Yuk, mulai melek zakat dan wakaf. Jangan cuma melek pas lihat saldo ShopeePay. Karena kalau dana umat dikelola bener, Indonesia bisa jadi kiblat peradaban, bukan cuma kiblat diskon!.[***]